Friday, February 06, 2004

Beberapa prosa liris:

Biografi Dari Bunga Matahari

Kuas gemetar menangkap kepedihan di ujung kanvas putih, putih semata. Tube-tube cat yang pucat menelan dirinya di atas palet yang kosong, hampa dari bau terpentin yang memabukkan. Sedang singa menggerogoti tubuh sekerat demi sekerat makin tenggelam oleh tawa yang membuat gila dari para perempuan sundal itu, tawa mereka menyakitkan telinga!

Telinga jadi mengucur darah, mengucur darah! oleh tajamnya sembilu hasrat yang resah mengotori tangan dengan rasa pedih, menggores, menusuk, mengerat. Lebih nyeri di jantung sendiri yang rindukan angan, rindu warna, rindu jiwa. Pikiran jadi tambah gila, hilang bentuk, hilang rupa, hilang pegangan.

Pedihnya sepi membelenggu hati menikam-nikam kanvas tanpa daya, tak lagi mampu guratkan garis dan warna bergelut dan terus bergelut dalam jiwa yang rindu dendam, dan kehampaan diri makin membuat lupa berhenti pada pencapaian puncak kesia-siaan. Mengapa tak seorang pun mengerti? mengapa?

Van Gogh membunuh dirinya sendiri dalam hutan yang terbakar, terbakar oleh pikiran yang kalut. Bunga matahari luruh kelopaknya satu-satu memenuhi liang lahat yang dingin, tapi ia belum mati, belum lagi. Masih tersisa pistol berasap dan potongan telinga untuk kekasih yang rindu dimakan sepi.

Van Gogh tak mati, sekali pun seseorang telah menyusun pusara dari pangkuannya dalam keranjang penuh kentang dan malam penuh bintang memenuhi mimpi yang tak sampai. Anggur demi anggur di café penuh pelacur bersama Theo, Dr. Gachet, Gauguin serta semua nama dari almanak yang menyimpan ingatannya, menyimpan kenangannya.

Ia tak mati - belum lagi, sekali pun kanvas terkoyak sepi sepanjang Borinage, Antwerpen lalu Paris yang penuh duri-duri. Ia tak mati, ia tak mati sampai Arles memanggilnya dengan penuh kecintaan; rumah kuning itu, taman bunga Irish, pohon-pohon Cypres dan rumah sakit Saint Remy yang menunda kegagalan demi kegagalan, tapi ia tak mati.

Ia, lelaki malang itu mencintai kepedihan, tetapi ia lebih mencintai cahaya lebih daripada jiwanya yang lelah mencari.

Mei 2003

Topeng-Topeng Membuat Kita Tenggelam

Berdiri di tubir waktu, penuh hasrat menanggalkan topeng yang mulai usang, wajah jadi potret resah menyimpan hati yang gelisah seperti merasa asing dari diri sendiri. Betapa sulitnya berterus terang juga kepada batin yang terlanjur sepi jauh dari makna cinta dan kasih. Bukankah tak ada yang perlu disembunyikan dari guratan tangan sang nasib, hidup sudah tertulis dan perjalanan telah menerakan jejak kita di pasir waktu. Tak ada jalan untuk kembali, tak ada yang bisa kita ingkari tak ada yang mungkin dipungkiri lagi, tapi kita masih saja sembunyi dari realitas di luar diri kita sendiri.

Topeng-topeng itu tidak sempurna sembunyikan luka-luka wajah kita, carut marutnya hati dan goresan-goresan tangan yang menggambarkan kekecewaan, tak ada yang sempurna, tak ada yang sempurna, seperti mimpi yang kabur, angan-angan yang lepas harap berusaha terus mencari jalannya pulang tapi jalan itu tak pernah ada, memang sesungguhnya tak pernah ada, karena mata kita buta tak mampu melihatnya, sedang kita masih saja berdiri di tubir waktu dengan kepala berpaling menatap masa lalu.

Topeng-topeng hanya membawa derita, pengingkaran, ketidak pedulian, dan juga kepahitan yang mungkin akan selamanya membelenggu diri, hidup yang penuh kesia-siaan rangkaian kepedihan demi kepedihan yang membuat kita tenggelam makin jauh tenggelam kedalam sumur tanpa dasar bersama topeng-topeng kepalsuan yang telah melekat abadi di wajah kita.

Hasrat Dalam Kaleng Coca-Cola

Mulut sudah jadi tawar dari keinginan menyetubuhi milik sendiri, karena pikiran begitu banyak disibukkan oleh setrika, penggorengan, sikat sepatu, botol susu, kain pel dan sabun cuci. Hari-hari merajam sepi dari pagi ke pagi, sedang badan tak lagi punya tempat buat angan-angan. Hasrat terlampau lelah buat berbagi dari diri yang asing dan sekaleng coca-cola. Pikiran mendengung oleh lemari es yang membeku dan kemarahan gemetar mengusir mimpi dari pompa air yang mengalir lewat pipa-pipa yang kosong, menyumbat penis, menyumbat hidung, menyumbat tenggorokan, menyumbat wastafel dan jamban juga. Hati jadi begitu rapuh, begitu mudah menyakiti diri sendiri. Dan mulut pun semakin tawar oleh hasrat yang kering, angan-angan pergi ke luar rumah mencari kesenangannya sendiri dalam kerlap-kerlip lampu kota, dalam tumpukan tabloid, dalam remang-remang kalutnya pikiran, kemana saja asal bukan rumah yang ingin dilupa dari waktu 30 menit saja. Rumah sudah bukan lagi milik sendiri, segala sesuatu telah berubah jadi milik orang lain dan hasrat jadi tandas dalam kaleng coca-cola berkarat.

2003

Suara Pengemis Dalam Diriku

Seorang pengemis datang menyapaku dengan sungai rembulan dalam matanya mengharap kebijaksanaan 500 perak. Aku menggeleng saat itu melepas berkat tasbih pada otot lenganku yang kaku, 'Mengapa engkau membenci diriku wahai anak Adam?' Ia bertanya dengan sungai rembulan dalam matanya. Doa terdiam dalam mulutku, tiba-tiba kata-kata jadi bisu sendiri. Suara cicak memengkis diriku, malam jadi begitu asing kedalamannya, waktu jadi begitu arif kedukaannya.

Kupejam mata merenungi jiwa yang kosong mencoba mendengar kembali suara pengemis itu, tapi ia pergi begitu saja dalam desau angin. Doa-doa jadi bisu sendiri dalam malam sungai rembulan yang simpan 500 perak di matanya, dalam suara cicak yang begitu arif dukanya, dalam suara waktu yang begitu asing kedalamannya.

Rembulan menetes jadi hujan menggigilkan hatiku yang kering, rindukan suara pengemis dalam diriku, benarkah aku demikian miskin oleh ketidakhadiran 500 perak dalam diriku? Ataukah pengemis itu yang terlampau kaya dibanding batinku yang papa?

Sepanjang malam itu aku berlari-lari kesetanan mencari doaku yang hilang.

Mei 2003

Pulo Gadung Siang Itu

Siang itu, orang-orang makan dan minum di warung itu sambil menyimpan harapan dan penantian pada bangku-bangku bus yang kosong, AC yang sejuk dan sesaknya tas penuh bawaan. Anak-anak masih berebut segelas es jeruk yang akhirnya tumpah ke atas meja bersama toples-toples, botol penuh kecap dan sambal jadi setumpuk kejengkelan yang bercokol di kepala.

Orang-orang masih sibuk membuat percakapan agar diri tak sepi diantara bangku-bangku dan mata-mata penuh rasa curiga akan cederakan hari-hari, juga kepulan asap rokok yang membusuk di dada makin pekat saja. Wajah-wajah gelisah, wajah-wajah lelah, menjauhkan diri dari teriakan penjual koran yang makin parau. Pulo Gadung jadi selembar cucian yang telah lama kering di atas jemuran.

Terminal telah terkepung oleh orang-orang lalu-lalang, datang dan pergi, semut-semut antri mencari sekepal nasi dan preman-preman dengan lengan penuh tatto berkeliaran mencari mangsa, dan teriakan:'Copet! copet!' buyarkan lamunan siang itu yang mulai membakar Pulo Gadung dengan garangnya.

Cempaka Putih, 1993

Sepanjang Siang di Pulo Gadung

Siang membayang seperti asap, harapan yang begitu kering pada tumpukan koran yang tak laku semenjak pagi. Lama juga rasanya ingin segera terjaga dari lamunan sejuknya segelas coca-cola dan bau sate kambing yang mengelitik perut laparku.

Aku ingin mandi lagi dan menciptakan telaga di tengah-tengah terminal ini, biar semua orang bisa menghirup nafasnya kembali dan tak ku lihat lagi wajah-wajah kumal berpeluh itu. Benar, benar tak ada sedikit pun kecintaan di hatiku yang tawar, pada hiruk-pikuknya terminal ini yang telah begitu lama tertelan oleh deru debu dan asap bus kota.

Kepapaan telah memaksaku terdampar di sini, bukan atas kemauanku sendiri mengais sisa-sisa lamunan yang terbaring lesu di kampungku. Tak kukira kota begitu penuh asap dan kekotoran, membuatku tak percaya lagi manusia saat segerombolan preman merampas dompet dan harga diriku di jembatan penyeberangan.

Aku tahu barangkali aku masih harus menunggu lebih lama sebelum dapat berkirim kabar kepadamu - hasrat yang belum lagi sampai - dan sepanjang siang ini wajahmu membayang seperti asap, memacu jantungku, memacu darahku, untuk mengalahkan preman-preman terminal ini, kota ini, dan diriku sendiri.

Cempaka Putih, 1993

Pulo Gadung Adalah Monumen

Pulo Gadung adalah rawa-rawa tandus, tempat orang-orang memacu diri sambil memasang cermin agar mereka yang datang dan pergi dapat mematut diri, mengambil dan juga memberi apa yang mereka ingini. Sering-sering ada berita di situ tentang orang-orang yang bertemu dengan orang lain dari tempat yang jauh, mereka bergandengan tangan membuat tenda, kedai-kedai dan ambulan juga.

Bus kota adalah tempat peristirahatan paling nyaman dari kejaran preman yang lapar. Seperti kita juga yang belum minum semenjak pagi dan tukang koran lupa menawarkan berita tentang peperangan dan runtuhnya peradaban. Akhirnya kita sama-sama melubangi tembok terminal dengan cangkul dan linggis, kemudian kita menyusunnya lagi dengan gelas-gelas dan pecahan kaca yang kita ambil dari warung-warung terdekat. Banyak orang menangis saat tembok itu runtuh dan orang-orang ramai berebut kepingan batu-bata buat dijadikan panorama di dalam gubuk-gubuk mereka.

Pulo Gadung sudah lama tenggelam jadi rawa-rawa bersama tenda-tenda, kedai dan teriakan massa, dan hati kita makin tandus oleh kerinduan hiruk-pikuknya zaman yang lalu lalang bersama metromini dan bus antar kota. Di situ seseorang telah mendirikan monumen megah sekali untuk mengingat kembali peradaban kita yang telah mati.

Cempaka Putih, 1993


titon @ Friday, February 06, 2004

Malam Kian Kelam
(cerpen Titon Rahmawan)

Kipas angin tergantung lesu di langit-langit, terperangkap sarang laba-laba berputar lambat jelmakan bayangan muram merayapi dinding abu-abu kusam bangsal rumah sakit itu. Kulihat ada bercak-bercak merah di sekujur tubuh lelaki itu, sesekali mulutnya menyeringai menahan nyeri yang menyangkut di tenggorokan. Kucium bau busuk nafasnya hingga ke tempatku berdiri. Noda-noda kuning bekas air seni telah meninggalkan noda karat di atas sprei, dan laki-laki itu tak lagi sangup mengerahkan seluruh persendiannya.seolah terbaca pada wajahnya bahwa usia adalah angka-angka yang tak lagi punya makna.

Pikiranku terasa penuh seperti genangan air kemih dalam tempolong yang minta segera di buang ke kakus, setelah lewat jaga jam pertama. Infus telah diganti beberapa kali dan laki-laki itu bahkan tak mampu membuka kelopak matanya sendiri. Dari ruang sebelah masih terdengar erangan dan sengal nafas, juga keluh para perawat yang harus menghabiskan sisa malamnya, menyesali waktu yang tak juga kunjung usai. Sementara malam merambat demikian perlahan dalam pekatnya cangkir kopi di atas meja. Rutinitas bergulir dari detik ke detik merangkaki malam yang kian lengang, lorong-lorong makin terasa suram di bawah temaram cahaya lampu 10 watt.

Dalam gelisahku aku berjalan dari satu ranjang ke ranjang yang lain di bangsal ini, penuh dengan wajah-wajah kelabu yang kusam menyedihkan, sedang di luar bulan menitik pada malam yang kian pudar menembusi lubang-lubang di dinding, tetesannya jatuh ke atas wajah lelaki yang aku tungui, membuat wajah itu semakin pucat tenggelam dalam matanya yang cekung. Malam kian kelam dan mulut lelaki itu menganga membentuk rongga, tenggelam begitu dalam seperti lobang sumur gelap mengantar senyap. Ada goresan batu di atas keningnya mengalirkan manik-manaik cahaya menghiasi dahinya dengan keheningan. Laki-laki itu telentang dalam kesenyapan seperti sebuah arca yang beku. Tali hidupnya hanya sebetas desah nafas perlahan yang nyaris tak terbaca. kedamaian seolah terlupa dari pembaringan itu seperti ada yang ingin segera pergi bersama daun-daun yang luruh di pekarangan rumah sakit ini.

Aku berasa bosan menunggu sendiri dan semut-semut merah serasa menjalari kaki, menggerumuti tubuhku sedikit demi sedikit dan tanganku bergetar setiap kali menangkap isyarat dari detak-detak jam di dinding di atas pembaringan lelaki itu. Pukul 11 lewat 15 menit masih beberapa puluh menit lagi sebelum waktuku habis. Jemu menunggu, aku jadi demikian tak sabar, padahal pekerjaan ini telah aku jalani berjuta-juta kali, tetapi setiap moment penantian selalu saja membuatku gelisah dan aku tak sanggup menafsirkannya mengapa. Dingin malam terasa menggigit lebih dari biasanya, menusuk merembes lewat pori-pori dinding langsung menembus jubah malamku. Segera perasaanku tergoda untuk meminjam selimut lelaki itu karena kutahu ia tak akan memerlukannya sebentar lagi.
Aku dapat membaca pikiran dan kegelisahannya, sekali pun kabur seperti titik-titik embun dalam cadar kabut. Dunia laki-laki itu terperosok jauh ke dalam rumah-rumah gubuk di pinggir kali, gubuk-gubuk dari kertas karton dan papan kotak bekas, ada seorang bocah di sana, kulit dekil penuh koreng dengan mata kelereng yang bening barangkali itu satu-satunya mutiara yang dapat ditemukan di tempat busuk itu, dan juga seorang wanita dengan rambut acak-acakan sibuk oleh tumpukan kertas koran, kardus-kardus dan sampah. Kehidupan yang penuh dengan warna lumpur dan karat, sedang laki-laki itu berdiri saja di bendul pintu termangu untuk waktu yang sulit untuk di duga.

Terlihat pandangan pasrah wanita itu, mungkin saja ia istri lelaki itu dan juga tangan penuh koreng tengadah milik bocah lelaki yang mungkin saja anaknya mata mereka seperti mengharap sesuatu entah apa, namun yang pasti hanyalah sebuah tamparan di pipi dan tendangan di kaki yang mereka terima. Kabut yang suram seperti genangan keruh air kali tempat orang-orang membuang hajat, mandi dan gosok gigi. Dan bau busuk itu semakin keras tercium, di sini di atas pembaringan rumah sakit kelas kambing tempat laki-laki sekarat itu menahan pedihnya batu-batu yang merajam tubuhnya setelah sebuah usaha pencopetan yang gagal.

Aku jadi ingin bercakap dengan angin, 'maafkan aku, sesungguhnya tak ada yang dapat kuperbuat, karena engkau sendiri yang mencuri hidupmu.'

Kulihat air mata mengalir dari ujung mata lelaki itu, dan aku tahu ia tidak saja menyimpan kepedihan dalam bibirnya yang kelu, aku sadari dalam tiap moment seperti ini selalu saja ada hal lewat yang harus di sesali. Laki-laki itu bukan saja telah kehilangan mimpi tapi ia juga telah kehilangan kesempatan. Tubuhnya jadi begitu dingin menyimpan luka-lukanya barangkali juga kepedihan dan kekecewaan hatinya, aku dapat merasakannya sampai jauh ke ulu hati, sedang di luar kudengar jeritan kelelawar dalam desah dingin malam.

Sesungguhnya aku tak begitu peduli, apakah dulunya lelaki itu cuma seorang gali, atau seorang pencopet kelas teri yang akhirnya menemui naasnya, ia tak lebih busuk dari orang-orang lain juga. Dunia yang asing bagiku, karena aku lebih suka wangi kelopak-kelopak mawar dan kamboja yang luruh di terpa angin yang selalu membawaku kembali ke tempat roh-roh orang mati, dunia yang begitu tenang, jauh dari riuhnya peradaban, kebobrokan, dan kemunafikan. Yang ada cuma jasad-jasad yang terbaring tenang dalam genangan waktu menunggu saat penghakiman tiba.

Dan laki-laki di atas pembaringan itu pun barangkali tak akan pernah menyadari bahwa aku sudah begitu dekat dengan dirinya hanya sebatas degupan jantung, hingga waktu itu pun tiba, pukul 11 lewat 55 tepat saatnya bagiku mengucapkan salam, mengecup keningnya dan membawa arwahnya pergi.

Jakarta. Februari 2004


titon @ Friday, February 06, 2004

Kitsch, Karya Sastra Tanpa Nilai Sastra
Oleh Titon Rahmawan

Dalam lanjutan diskusi tentang penilaian atas karya sastra seorang rekan mengajukan tema berikut ini: Apakah yang sesungguhnya membedakan sebuah karya sastra dengan karya yang tidak bernilai sastra tentu saja tema itu kembali mengundang perdebatan seru. Mengenai pertentangan dalam menilai sebuah karya sastra pernah saya sampaikan dalam tulisan saya sebelumnya (lihat: Pertentangan Dalam Memahami Dan Menilai Karya Sastra). Dalam kesempatan ini saya ingin lebih banyak mengulas tentang karya yang tidak bernilai tersebut.

Batasan mengenai sastra (kesusasteraan) dapat di pakai sebagi langkah pertama kita berpijak, kesusasteraan adalah karya tulis yang memenuhi ketentuan orisinalitas, artistik atau keindahan, baik dalam isinya maupun pengungkapannya sehingga mampu menggerakkan jiwa penikmatnya. Sebagaimana saya ungkapkan dalam tulisan saya terdahulu masih ada beberapa konvensi yang harus dipahami dalam memberikan sebuah penilaian dan tentu saja karya yang tidak bernilai adalah karya yang mengingkari konvensi-konvensi tersebut dan sekaligus juga bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran universal yang diemban oleh sebuah karya sastra yang baik.

Karya sastra tanpa nilai sastra itu biasa disebut juga dengan kitsch. Menurut Sapardi Djoko Damono, kitsch adalah merupakan karya tiruan yang mengambil bahan dari kebudayaan yang sejati di mana karya tersebut hanya menuruti selera masyarakat luas namun tidak peka lagi terhadap inti kebudayaan tersebut, dengan kata lain kitsch adalah semuah imitasi dari hasil kebudayaan-kesenian-kesusasteraan sejati dan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri penulisnya. Kalau saya boleh mengutip kembali pernyataan Aristoteles bahwa semua karya yang baik harus mengandung kebenaran universal Disini jelas bahwa kitsch sebagai sebuah tiruan (imitate) telah mengingkari kebenaran universal itu karena imitasi berarti pula palsu (fake) yang tidak memiliki nilai orisinalitas.

Umumnya karya-karya kitsch muncul dari dorongan budaya instant tanpa motif dan kalau pun ada motif pastilah motif yang dangkal semata-mata untuk kepentingan tertentu dari penulisnya. Kitsch muncul sebagi slogan atau jargon sebagai corong kepentingan, di mana muatan estetis dan budaya diabaikan oleh karena muatan slogan itu menjadi yang lebih penting. Karya muncul sebagai sebuah ungkapan klise yang terlampau umum atau bahkan terlampau verbal di mana realitas tampil naïf apa adanya dan tidak kita temui benih-benih kreativitas di dalamnya. Sajak di bawah ini bisa kita pakai sebagai contoh:

Sebuah Buku Catatan
Karya Agnes Veronica

Ada sebuah buku catatan
yang menyimpan apa yang kubutuhkan
Kata orang aku harus mencatatnya
sebelum matahari terbenam
sebelum semuanya menghilang

Ada sebuah buku catatan
yang ketika kuisi dengan semua harapan
dengan semua pikiran terbaikku
harus kuhapus begitu selesai kutulis
Sebab katanya lagi,
matahari akan terbenam
bila tulisan itu tidak segera kuhapus

Ada sebuah buku catatan
yang tetap kosong
walau tersentuh dan terbuka suatu ketika
Sebab pemiliknya tidak tahu
Apakah harus terisi atau kosong
Apakah matahari harus tenggelam
atau tetap berada ditempatnya
Apakah orang-orang tidak marah
jika gelap melanda?

Sesungguhnya
Aku butuh sebutir aspirin
bukan sebuah buku catatan kosong
Sebab
Matahari akan tetap terbenam juga

Banyak hal-hal yang tidak konsisten dalam karya di atas dan ungkapan-ungkapan yang bagi pembaca menjadi tidak jelas maksudnya karena si penulis pun tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya. Pertama-tama sajak ini bertumpu pada sebuah realitas, karena sulit bagi kita untuk mengandaikan bahwa catatan itu dan terbenamnya matahari itu adalah sebuah style sebuah ungkapan puitis yang mengandung metafora atau simile tertentu akan tetapi realitas itu sendiri bertolak belakang dengan penalaran sebagaimana dalam bait pertama bahwa kata orang: aku lirik harus menulis catatannya sebelum matahari tenggelam sebelum catatan itu hilang tapi dipertentangkan dengan bait ke dua di mana katanya (orang) lagi matahari akan terbenam bila tulisan itu tidak segera dihapus oleh si aku lirik. Dari sini sajak itu seolah mengajak pembaca ke arah mistis: siapa yang dapat menentukan terbenamnya matahari? Namun pada bait ke tiga justru si aku lirik tidak tahu apa yang harus diperbuatnya pada ungkapan sebab pemiliknya tidak tahu, dan dalam bait terakhir sajak ini semakin terlihat seberapa bobot sajak ini di mana si aku lirik ternyata cuma membutuhkan aspirin dan bukan sebuah catatan karena toh matahari akan terbenam juga. Sebuah karya yang berawal dari miskinnya gagasan dan berakhir dengan nonsen. Inilah contoh kitsch yang saya maksud di mana karya ini tidak mencerminkan kebenaran universal dan penulis gagap dalam menyampaikan gagasannya bahkan kita tidak menemukan adanya sebuah lentik gagasan pun di situ.

Sajak yang baik tidak pernah berawal dari kekosongan, selalu ada lentik pemikiran, ada selubung misteri yang melingkupinya dan misteri itu menimbulkan multi penafsiran sehingga cita rasa keindahan itu mampu menggerakkan jiwa pembaca dari yang imanen hinga mampu bergerak ke arah yang transenden. Karya yang tidak mampu menggerakkan kesadaran dan hanya berhenti sebagai sebuah teks yang verbal tanpa bobot atau nilai sastra tidak akan mampu menciptakan riak dalam diri pembaca.

Dalam kitsch tidak kita temukan adanya visi, motif, dan olah kreatif yang mampu menunjukkan karakter penulisnya, karena itu kitsch sering muncul dalam sajak-sajak untuk kepentingan agitasi, slogan corong kepentingan kelompok tertentu, juga dalam puisi-puisi gagu yang tidak mampu merefleksikan pemikiran penyairnya, miskin kata-kata dan miskin gagasan, puisi berhenti sebagai bunyi tanpa adanya koherensi ke arah pemaknaan, juga dalam sajak yang tampil terlampau lugu tanpa adanya suatu ‘style’ sebagaimana karya puisi di atas sehingga tidak kita temukan adanya suatu kiasan, metafora yang meningkatkan apresiasi atas karya itu.
Juga karya-karya eksperimental yang tidak di dukung oleh struktur budaya dan penalaran yang jelas. Dalam kecenderungan puisi modern yang lebih mengarah ke prosa kita juga temui kitsch dalam karya-karya padat kata tapi tak mendukung makna dimana kata-kata ditumpuk sedemikian rupa tapi tidak jelas hubungannya antara satu dengan yang lain tanpa adanya upaya meneguhkan makna sajak secara keseluruhan. Juga sajak yang tidak menunjukkan totalitas yang sublim, utuh, intens, dan mampu mendorong hasrat penulis menuju pathos sebagai cerminan puncak kreativitas berkarya

Dalam genre lain kita temui cerpen atau novel yang semata-mata mengejar popularitas dan aspek ekonomisnya semata, karya demikian begitu mudah jatuh menjadi kitsch apabila terlampau mengedepankan melodrama, romantisme semu dan hanya menjanjikan mimpi-mimpi, karena karya semacam ini pun mengingkari hakekat kebenaran universal itu. Begitu pula dengan karya-karya yang tidak menampilkan orisinalitas gagasan atau pengungkapan dan tidak ditemui jejak-jejak kreatif di dalamnya. Dalam cerpen atau novel kita bisa temukan karya tanpa plot yang jelas, tanpa penokohan yang berkarakter, kejadian-kejadian yang serba kebetulan, komedi yang tidak lucu, parody yang tidak mengesankan serta tidak adanya konflik dan penjiwaan, semuanya berakhir dengan serba gampang, permasalahan terselesaikan begitu saja, alur cerita serba mudah di tebak, stereotype, tidak imaginatif, realitas yang diungkapkan terlampau lugu dan melodaramatis yang berakhir dengan murahan. Terlebih lagi karya-karya yang jelas-jelas merendahkan atau bahkan melecehkan derajat kemanusiaan, menghindari kebenaran serta tidak mengajak pembaca untuk belajar menjadi arif tapi justru menjerumuskan kepada kebebalan dan kedunguan adalah karya-karya dalam kategori ini.

Akan tetapi apakah karya-karya demikian sepenuhnya salah, tak bernilai, dan dapat kita cap sebagai sampah? Barangkali itu akan menjadi topik perdebatan berikutnya mengingat dalam derasnya arus budaya pop sekarang ini selalu terbuka berbagai macam kemungkinan, semuanya berpulang kepada pembaca, karya macam apa yang ingin dibacanya. Dan seperti yang disinyalir oleh Seno Gumira Ajidarma, dalam masyarakat yang nyaris tidak memiliki budaya membaca tulisan macam apa pula yang bisa dianggap bernilai? Setidaknya masih ada yang dapat kita perdebatkan lebih lanjut.

Jakarta, Februari 2004

titon @ Friday, February 06, 2004

Thursday, February 05, 2004

Ziarah Panjang Seorang Penyair
Untuk Menemui Kekasihnya

(oleh titon rahmawan)

Dalam upaya untuk memahami sajak-sajak Agus Manaji telah memaksa saya untuk mengikuti sebuah perjalanan ziarah yang panjang dan dalam menelusuri lorong-lorong bahasa yang kaya dengan metafora, ke lorong kalbu yang penuh perenungan, ke lorong benak yang sarat dengan pemikiran.

Agus Manaji adalah seorang yang kompleks dan rumit, liris, berperasaan halus, santun dan berpikiran mendalam, itulah sepintas kesan yang berhasil yang saya tangkap dari beberapa sajaknya yang berhasil saya peroleh dari beberapa situs internet. barangkali kesan tersebut belum berhasil mewakili sosok penyair Agus Manaji yang sebenarnya karena terbatasnya informasi yang dapat saya peroleh.

Semenjak awal mula kemunculannya di situs ini, sajak-sajak Agus telah memukau perhatian saya terutama atas impresi dan ekspresinya yang kuat dan kemampuannya membungkus sajak-sajaknya dalam gagasan metafora yang sedemikian halus memikat. Benang merah utama karya-karya Agus adalah perenungan, pemikiran, pencarian, dan kerinduannya kepada Sang Kekasih yaitu Sang Khalik, dan sebagian besar sajak-sajaknya memang mengisyaratkan sebuah nafas yang sama. Ungkapan mengenai Kekasih ini muncul dalam sajaknya surat yang tak selesai.

Dalam sajak doa kehilangan airmata, kita rasakan sebuah perenungan yang dalam oleh sebuah perasaan kehilangan, karam, tersengal, terpenggal, terjungkal sebagai sebuah ironi atas ulah manusia yang malas menerjemahkan gelap. Sajak ini sarat dengan metafora yang merupakan kekuatan utama sajak ini. Agus dengan piawi berhasil membangkitkan imaji pendengaran, penglihatan dan perabaan kita untuk menghayati sajak ini. Agus seolah mengajak kita untuk mengikuti sebuah perjalanan metafisis menyaksikan dinding-dinding cahaya, padang-padang terbakar, dan sudut-sudut kota yang hilang.

Dalam perjalanan selanjutnya Agus membawa kita melihat sebuah pemandangan hutan mungil dalam dada kota dalam sajak lanskap, di situ kita di ajak merenung tentang hakekat puisi yang telah dikerdilkan oleh denyut kota sementara diri sang penyair berdiri di tepian diam-diam mencatat peristiwa yang mengguratkan makna. Dalam sajak ini sungguh terasa kemahiran Agus mengolah diksi memainkan rima dan irama sehingga lahir sajak yang merdu mengalun, tengok kutipan berikut:
Kucatat diam-diam rengkuhan paling getah
Dari pepohonan entah yang membayang pasrah
Di sungai darah

Sajak rambut merupakan sajak pendek yang ekspresif menyuarakan perasaan penyair lewat personifikasi, dan metafora sajak ini berbicara tentang kerinduan, pengorbanan, dan keimanan namun terbungkus dalam selubung sutra yang sedemikian halus, lembut dan indah sehingga memaksa kita untuk mengurai selubung itu dengan sangat hati-hati sebelum mencapai keseluruhan keindahannya secara utuh. Tema yang hampir sama mengilhami dan menjiwai sajak dan Kau membidikku serta sajak surat yang tak juga selesai.

Tema yang sedikit berbeda kita temui dalam sajak impresi perempuan berkerudung biru yang merupakan sajak naratif yang mengkisahkan sebuah perjuangan seorang perempuan untuk mencari identitasnya, untuk menemukan kembali Cahayanya lewat sujud kepasrahan, lewat dzikir dan doa sekali pun orang–orang terus menghujat.

Sementara dalam sajak improvisasi untuk sisa hujan salah satu sajak terbaik menurut penilaian saya kembali Agus mengajak kita menziarahi kesetiaan, kepedihan, harapan dan doa di dalam taman hati yang penuh misteri. Metafora yang membungkus sajak ini begitu pekat, begitu liris, begitu syahdu, coba simak kutipan berikut:

Pada bait pertama:

Kau simak nadi kayu berdenyut, dan kambium
memecah kerut, menempuh larut

Pada bait ketiga:
dan airmata.Biarkan saja, kini, segala duka dan huruf
huruf tak bergugus kata, terbaca getar seribu nama;
berkelebatan menampar pagi hari kita

Agus telah mencapai pathos dalam ekstase penyatuan dirinya dengan Sang Kekasih. Sebuah ritual ziarah yang mengharukan, menyentuh dan membebaskan. Sebuah catatan perjalanan yang akan terus dikenang karena ziarah itu bukan saja memberi arti atas sebuah perenungan dan mengguratkan makna atas sebuah pemikiran yang dalam tapi sekaligus juga mampu memperkaya orang lain. Dalam hal ini saya pribadi merasa sangat berterimakasih atas berkas-berkas kemilau mutiara yang sekali pun bukan milik saya dan telah membuat saya cemburu tapi telah pula memperkaya batin saya, dan kepada Agus Manaji saya menunggu ziarah-ziarahmu berikutnya.

Jakarta, Desember 2003

titon @ Thursday, February 05, 2004

Muatan Filosofis Dan Beban Moral Sebuah Sajak
(analisis atas sajak Demikianlah Sabda Zarathustra karya Rini Fardhiah)

Setiap kali disodori sebuah teks yang berbau filsafat maka yang pertama kali kita bayangkan adalah hal-hal yang rumit, abstrak dan pemikiran tentang keberadaan Tuhan. Ada anggapan bahwa filsafat seperti juga agama adalah identik dengan moral, dimana filsafat dan agama dipandang sebagai sarana untuk menumbuhkan nilai-nilai humanisme yaitu nilai keluhuran budi manusia yang halus dan berbudaya. Dalam tataran lain sastra sering dianggap memiliki visi yang sama, sastra yang baik selalu dikaitkan dengan kemampuannya mengemban nilai-nilai kemanusian. Namun pada kenyataan praktiknya tidaklah demikian, beban moral justru merupakan sebuah stigma yang mempersulit kedudukan sastra itu sendiri karena kenyataan yang ada sastra sering tampil untuk mengungkap kebobrokan jiwa manusia. Dalam konteks inilah saya ingin mengkaji sajak Rini Fardhiah yang berjudul Demikianlah Sabda Zarathustra

Bagi orang awam sajak ini bukanlah sajak yang gampang dimengerti karena saratnya muatan filosofis dan karena sajak ini banyak berbicara mengenai Nietzsche tentu saja kita mesti paham siapa sebenarnya Nietzsche. Muatan filosofis dalam sajak ini memang sepenuhnya tidak terlepas dari diri penyairnya, bagaimana pun sebuah sajak adalah perwujudan obsesi sang penyair. Dalam hal ini saya melihat Rini sebagai penyair memiliki kegairahan menulis karena ia banyak berpikir dan mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek moralitas, kebenaran, eksistensi dan esensi manusia, kehidupan dan juga kematian dalam prosesnya mengejar cakrawala tertinggi yaitu Sang Entitas Maha Sempurna. Dalam beberapa tulisannya apakah itu sajak atau esei Rini selalu muncul dengan tema yang kurang lebih sama dan saya yakin tema itulah yang menjadi curahan obsesi pribadinya, dan oleh karena itulah Rini mencintai filsafat, sebuah perasaan cinta yang sangat mendalam karena dalam mewujudkan perasaan cintanya ia banyak melakukan penggalian nilai-nilai di mana ia mencoba menemukan mutiara dalam lentik-lentik pikiran Nietzsche, Leibnitz, Descartes, Spinoza dan beberapa nama filsuf lain yang banyak ia singgung dalam diskusi sastra. Saya melihat kegelisahan Rini bukan semata-mata kegelisahan filosofis tapi juga merupakan gairah puitik di mana ia banyak mengekspresikan pemikirannya dalam bentuk sajak. Tentu saja melihat latar belakangnya yang sedemikian rupa bisa kita katakan bahwa sajak ini tidak lahir dari kekosongan, sekali pun secara berkelakar ia menyampaikan bahwa sajak ini lahir dari sebuah ketidak sengajaan sebagai komentar atas tulisan seorang member di milis bunga matahari.

Dilihat dari strukturnya sajak ini cenderung sebagai sajak ekspresif di mana sang penyair menggunakan pilihan kata atau diksi yang lugas dengan gaya penceritaan naratif tanpa terikat rima irama untuk memperkuat kesan ekspresinya. Secara keseluruhan sebenarnya sajak ini merupakan sebuah ironi yang memunculkan efek ekstrem atas tingkah laku manusia dan di dominasi oleh beberapa pertanyan retoris yang dimaksudkan untuk menyindir perilaku manusia. Hampir setiap ungkapan bernada sinis sehingga efek ironis benar-benar menohok perasaan pembaca. Bahkan Rini yang notabene seorang perempuan dengan berani mempergunakan ungkapan yang bagi sebagian orang akan dianggap cukup vulgar yaitu pada ungkapan Aku minta maaf kerena telah menjilati puting adik tiriku dan Sebab kau sibuk menyedot susu sapi betina itu sekali lagi bagi orang awam yang menafsirkan ungkapan tersebut berdasar makna denotatifnya akan terjebak pada belantara kata-kata yang menyesatkan padahal sesungguhnya ungkapan tersebut merupakan ungkapan bermajas pars pro toto yang merujuk pada hubungan incest (hubungan sexual antar saudara) dan bestiality (hubungan sexual dengan hewan) sebagai wujud kemuakan Rini atas standard moralitas manusia yang menurut Nietzsche telah mengalami dekadensi dan barangkali benang merah itulah yang menjadi alasan mengapa Rini memilih Nietzsche dalam sajaknya ini dan bukan Spinoza misalnya, karena seluruh sendi pemikiran Nietzsche adalah ingin merombak seluruh tatanan kebenaran dan moralitas yang menurutnya telah mengalami dekadensi dan salah satu ungkapan Nietzsche yang paling terkenal adalah Gott Ist Tot bahwa tuhan sudah mati dan manusialah yang telah membunuhnya. Ini sejalan dengan tema sentral sajak ini tapi sebagai ungkapan yang ironis bahwa pada kenyataannya ungkapan itu masih tetap merupakan pernyataan yang kontroversial hingga sekarang.

Banyak unsur bunyi cacophony yang tidak merdu dalam sajak ini seperti pada kata kelelawar, memaki, iseng, sarang, menjilati, mati, gila, menyedot yang semuanya memberi kesan menjijikkan dan pilihan kata itu sepenuhnya mendukung pemaknaan yang ingin di capai si penyair. Selain muatan filosofis yang paling menonjol dari sajak ini adalah muatan ekspresifnya karena itu pilihan kata-kata yang lugas dan berani menjadi sangat sugestif di dukung oleh efek pencitraan secara visual dan audio yang dominan. Dari segi membangun imaji ini sajak Rini telah berhasil mencapai sasarannya, sekali pun ungkapan ekpresifnya terasa terlampau dominan sehingga mengurangi aspek liris sajaknya namun tentu saja hal ini tak terlepas dari beratnya tema yang ia angkat yang terus terang membebani dirinya dalam upayanya memadukan dengan aspek keindahan bahasa. Praktis kita hanya merasakan aspek puitik itu justru pada baris pertama kepada siapa ia menunjukan sajak ini.

Saya menilai sebagai buah pemikiran sajak ini betul-betul telah merefleksikan aspirasi dan inspirasi sang penyair, tapi manakala ia telah dipublikasikan dan dihadapkan kepada sidang pembaca sebagai sebuah teks yang terbuka pada beragamnya interpretasi, teks itu muncul sebagai sebuah beban penafsiran dalam hal ini atas muatan moral dan kebenarannya di mana sajak ini bisa menjadi sebuah pisau bermata dua karena sangat dimungkinkan untuk ditafsirkan lewat dua macam makna apakah itu denotatif atau konotatif dan oleh karena pilihan-pilihan kata yang sangat terbuka pada adanya penafsiran yang sedemikain rupa bisa menggiring imajinasi ke arah yang sesat. Bagaimana pun Rini telah berusaha melukiskan sebuah realitas yang tidak semata-mata harafiah, sebagaimana yang telah ia nyatakan demikian pula dengan realitas manusia bahwa sampai detik ini masih banyak orang meragukan eksistensi tuhan, dan dengan sajak ini Rini telah lantang bersuara menyampaikan sikapnya. Dalam upayanya mencapai katarsis ia telah sampai pada suatu titik di mana bila saja ia mau mengasah kepekaan puitiknya lebih jauh dengan lebih banyak berkarya maka ia bisa meraih tataran yang lebih tinggi.

Sudahkah aku dimengerti? adalah pertanyaan terakhir Nietzsche dalam Dionysos melawan yang tersalib, dalam konteks ini pertanyan itu saya rasa juga berlaku bagi Rini.

Oktober 2003

Glossary:
Demikianlah Sabda Zarathustra adalah juga judul salah satu karya filsuf Friedrich Wilhelm Nieztsche yang lahir 15 Oktober 1844 di Rocken Prussian Saxony (Jerman) ia dikenal sebagai salah seorang filsuf paling kontroversial hingga saat ini seperti juga Darwin di bidang illmu pengetahuan, karya-karyanya antara lain: The Birth Of Tragedy, Untimely Meditations, Human All Too Human, The Dawn, Thus Spoke Zarathustra, Twilight Of The Idols, The Anti Christ, Ecce Homo, dan Nietzsche Contra Wagner. Tahun 1889 ia sakit parah, lumpuh mental dan dinyatakan tidak waras sampai meninggalnya tahun 1900.
Catatan penuls: Esei ini di muat di situs Bumimanusia.or.id tanggal 30 Oktober 2003

titon @ Thursday, February 05, 2004

Pertentangan Dalam Memahami Dan Menilai
Sebuah Karya Sastra (Sajak)

Oleh Titon Rahmawan

Dalam sebuah forum diskusi seorang rekan menyatakan bahwa baik buruknya sebuah sajak tak dapat dilepaskan dari selera subyektif pembaca, demikian pula kecurigaan dimuat tidaknya sebuah karya di media tertentu juga tidak terlepas dari subyektifitas para redaksinya. Bahkan seorang rekan malah mempertanyakan; Apakah perlunya memberi makna pada sebuah sajak? Biarkan saja sajak itu mengalir apa adanya.

Menurut saya pernyataan dan pertanyaan di atas mengandung paradoks dan mengingkari hakekat proses penulisan dan pembacaan atas karya itu sendiri. Saya menyangsikan apakah mungkin kita bisa sampai pada nilai keindahan atau keburukan sebuah karya tanpa melalui sebuah pemahaman? Penghayatan atas nilai keindahan atau keburukan sebuah karya adalah sebuah proses yang melibatkan nilai rasa, di mana kepekaan seseorang diuji untuk sampai pada nilai-nilai yang obyektif, sementara itu semua bentuk penilaian tidak mungkin terlepas dari konvensi-konvensi yang berkembang dalam tatanan di mana karya tersebut lahir.

Kita mengenal adanya beberapa konvensi yang secara tidak langsung telah membentuk dunia sastra kita. Konvensi yang pertama tentunya adalah bahasa sebagi media ekspresi dan komunikasi sekaligus sebagai prasyarat utama sebuah karya sampai pada penikmatnya. Sebuah teks puisi dalam bahasa Inggris tentunya tidak dapat kita pahami tanpa kemampuan berbahasa Inggris pula, akan tetapi pemahaman atas kode bahasa itu saja tentunya belum cukup untuk memahami atau menilai sebuah karya. Kita masih memerlukan kode-kode lain yang tak kalah penting seperti pemahaman latar belakang. Setiap karya lahir dengan latar yang berbeda, karya yang baik selalu dipicu oleh sebuah gagasan, atau faktor eksternal lain yang mendasari kelahirannya, latar itu bisa berupa kondisi sosio budaya, pengalaman tertentu, bisa pula perenungan filosofis dan pemahaman atas latar ini menjadi salah satu pintu bagi pembaca untuk menuju pada pemahaman atas karya tersebut.

Ada kode lain yang tak kalah penting yaitu kode sastra itu sendiri, di mana batasan atas nilai-nilai estetika sebuah karya sastra telah memiliki patokan lewat teori-teori yang baku dan juga lewat konvensi-konvensi yang terus menerus berkembang. Eksistensi dan pengakuan atas diri seorang sastrawan dan karyanya pastilah tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya untuk melewati ujian konvensi sastra yang telah diakui. Segala bentuk pendobrakan dan penyimpangan atas kode-kode yang konvensional bagaimana pun akan menghasilkan kode-kode baru yang lebih up to date untuk kemudian akan duji kembali dalam perjalanannya seiring perjalanan waktu.

Bagaimana pun sebuah sajak jelas-jelas berbeda dengan sebuah laporan ilmiah maupun laporan jurnalistik demikian pula dengan karya sastra lainnya. Sajak memiliki dunia (realitas) nya sendiri di mana susunan diksi, baris-baris dan bait menciptakan makna yang lepas dari realitas dunia nyata, sajak bisa menciptakan realitas yang berbeda bahkan asing sama sekali dari pemahaman umum. Dalam pembacaan dan pemahaman sajak dituntut energi lebih yaitu pembacaan secara kreatif yang keluar dari kungkungan idiom bahasa sehari-hari, tanpa kemampuan pembacaan sesuai konvensi sastra ini mustahil seseorang sampai pada hakekat makna. Namun demikian tidak berarti seorang awam tidak bisa meraih pemaknaan tersebut. Sajak bukanlah kenisbian yang anti tafsir, justru kelebihan sajak adalah pada multi interpretasi.

Sesungguhnya manusia telah dikaruniai kemampuan membedakan berbagai macam persepsi dan memberikan beragam penafsiran atas fenomena alam, perilaku di luar dirinya dan juga dalam kemampuannya berbahasa. Dalam hal ini manusia terlahir sebagai Homo Significans (makhluk pemberi makna) dan juga Homo Fabulans (makhluk pencerita) Jadi pada hakekatnya tanpa disadari, di sangkal atau pun diyakini sebelumnya proses mencipta (kreatif) menulis, membaca sajak adalah suatu proses untuk meraih pemahaman atas makna.

Saya cenderung setuju pada pandangan bahwa segala bentuk upaya untuk melepaskan diri dari makna adalah sebuah upaya yang mengingkari kodratnya, sajak bagai mana pun bertumpu pada kata dan bukan bunyi, gonggongan anjing, eongan kucing, kokok ayam pun bisa diberi makna sebagai sebuah pertanda musim kawin, sebuah pertengkaran atau pertanda perubahan waktu misalnya, jadi segala bentuk upaya menisbikan makna itu akan menjadi sia-sia manakala kita kembalikan nilai pada nilai, hakekat pada hakekat dan toh pada kenyataannya kecenderungan puisi mutakhir justru kembali kepada lirik sementara puisi-puisi gelap dan puisi yang mengagungkan bunyi semata hampir-hampir tidak ada penerusnya. Penisbian makna bolehlah dianggap sebagai sebuah upaya untuk melepaskan diri dari keterkungkungan budaya dan tradisi tapi bagaimana pun kode utama sastra dan terutama sajak adalah: memberikan makna pada sesuatu yang tidak bermakna, kata-kata biasa sehari-hari digubah menjadi bernilai, indah dan berseni.
Tetapi konvensi-konvensi itu tidaklah seharusnya membelenggu kreativitas, karena kreativitas harus senantiasa bebas dari pembatasan-pembatasan. Konvensi harus dikembalikan kepada fungsi yang sebenarnya yaitu sebagai sarana yang mengantarkan sebuah karya kepada pembacanya agar dapat memberikan penilaian yang obyektif, agar pembaca dapat meraih makna yang diharapkan dari sebuah karya. Sajak dan karya sastra apa pun selayaknya bebas, mandiri dan tidak terikat oleh fakta realitas, karena ia memiliki realitasnya sendiri dan mematuhi kode aturannya sendiri yang bisa saja berbeda dengan dunia diluar karya itu dan menurut saya itulah hakekat sebuah fiksi.

Jadi apa yang pernah dinyatakan oleh Aristoteles bahwa sastra harus menggambarkan sebuah kebenaran universal sulit untuk kita pungkiri kebenarannya. Kita boleh menulis apa saja dan tentang apa saja akan tetapi ia baru bisa disebut sastra apabila ia tidak menyangkal kebenaran universal itu. Sekali pun pendekatan kita atas kebenaran universal itu berbeda dengan pendekatan atas moralitas, theologi, filsafat atau pun ilmu pengetahuan, karena sastra memiliki pendekatan yang sangat khas. Disinilah nilai-nilai subyektif dan obyektif bertemu, pendekatan individu dan bukti empiris berpadu. Sajak-sajak yang individualistis dan gelap sekali pun masih memiliki ruang untuk ditafsirkan kembali untuk diberi makna dalam proses berpikir yang terus berkembang, konvensi-konvensi baru yang terus lahir, sepanjang karya itu bisa hadir dan relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Disinilah perlunya kehadiran seorang kritikus yang baik, yang mampu menjadi pemandu dan bukannya seorang calo bagi para pembaca awam untuk menggali nilai-nilai universal sebuah karya terutama dalam arus karya modern kontemporer yang semakin rumit dan multi tafsir.

Perubahan dan pendobrakan kode-kode sastra justru merupakan bentuk sebuah dinamika yang merupakan ciri khas dalam sejarah sastra di mana pun. Munculnya paradoks-paradoks nilai-nilai antara sastra lama vs sastra baru, tradisi vs modern, estetika pertentangan vs estetika persamaan, adalah bukti kuatnya polemik yang berkembang sekaligus sebagai tolok ukur maraknya dunia sastra kita. Demikian pula pertentangan yang muncul seputar sastra gender, ungkapan verbal seks dalam sastra adalah bagian dari dinamika yang tetap dapat kita lihat dari perspektif yang obyektif, karena dalam sastra tidak ada yang mutlak, tak ada kebenaran sejati. Sastra adalah media ekspresi manusia untuk mencapai makna eksistensinya, dan dalam perjalanannya bisa saja mencapai tataran paling luhur akan tetapi tidak menutup kemungkinan berakhir pada kesia-siaan, setidaknya dari situ manusia bisa belajar untuk mencapai kebenaran universal dengan menyadari keterbatasannya.

Jakarta, Januari 2004

titon @ Thursday, February 05, 2004