Friday, May 14, 2004

Nilai Kebenaran Universal Dalam Sajak

Apa unsur terpenting dalam penulisan sebuah sajak? Jawabnya adalah kata, mengenai masalah ini pernah saya tulis dalam esai saya, 'Kata sebagai unsur paling esensial dalam sebuah sajak.' Kata menjadi penting dalam sajak karena esensi sajak itu ada dalam pilihan katanya (diksi), tetapi di luar unsur itu kita tidak boleh melupakan unsur-unsur pembentuk puisi yang lainnya, begitupula hakekat yang menjadi latar belakang keberadaan ditulisnya sebuah sajak, mengenai intensi penulisan ini saya pernah mengulasnya pula dalam tulisan saya yang lain.

Dalam kesempatan ini saya ingin lebih banyak membahas mengenai bobot sebuah sajak, didorong oleh berbagai ragam tanggapan yang saya terima atas tulisan saya terdahulu antara lain dalam tulisan yang telah saya sebut di atas yang mempertanyakan makna perlunya pengungkapan nilai kebenaran universal itu di dalam sebuah sajak. Sekali lagi saya harus mengutip Immanuel Kant, seorang filsuf yang menyatakan bahwa bobot sebuah sajak dan juga karya sastra lainnya adalah terletak dalam kapasitas dan kemampuannya untuk mengungkapkan kebenaran universal. Pembahasan mengenai apakah yang dimaksud dengan kebenaran universal itu dapat kita lihat pada sajak di bawah ini, yang saya harap akan membantu kita memahami permasalahan bobot dalam sajak ini dengan lebih baik, saya ambil sajak Harmita Desmerry sebagai contoh berikut ini:

Cukuplah saja dimatamu kutemukan indah

Debar tak biasa
jiwa yang gelora
dan dihati bertahta puisi
diam dalam semadi
mencari arah kembara

Cukuplah saja dimatamu
kutemukan indah.

Lamnyong, April 1, 2004

Sajak di atas adalah sebuah sajak yang pendek bernas merepresentasikan sebuah perasaan akan keindahan cinta dan puisi, sajak itu cukup tertib menyusun pencitraan dan emosi, tidak ada upaya untuk tampil bermuluk-muluk atau mencari pencitraan yang rumit. Asosiasi mental yang dipakai untuk membangun imaji memang terasa sangat sederhana namun cukup mampu mewakili perasaan sang penyair. Kesederhanaan itulah yang justru menjadi kekuatan utama sajak ini, impresi yang kita peroleh adalah perasaan yang tenang, teratur, tertib, namun cukup menyentuh. Kita merasakan sebuah kesadaran yang besar dalam diri si penyair atas keberadaan kata sebagai unsur yang paling esensial dalam penulisan sajaknya yang membantu diri si penyair dalam mengungkapkan perasaaaan kalbunya yang paling dalam. Kata-kata dipilih agar mampu menyampaikan gagasan, tetapi sekaligus juga mampu menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri pembacanya.

Sajak di atas berbicara tentang cinta sebagai tema ‘mental’ yang ingin diungkapkan sang penyair, dalam tema semacam ini seringkali banyak penyair terjebak pada suatu bentuk pengungkapan yang melodrama sentimental yang akhirnya menggiring mereka pada sajak yang kurang bernilai, di mana melodrama tercipta bila secara sadar atau tanpa sadar sang penyair memakai ungkapan yang terlalu berlebihan, tidak konsisten atau kontradiktif, dalam hal ini pilihan diksi sangat penting untuk menghindari jebakan-jebakan tersebut.

Intuisi penyair yang tertuang dalam sajak di atas merupakan bentuk upaya sang penyair untuk menyampaikan kebenaran perasaaannya mengacu pada kebenaran yang universal yang dapat di terima oleh wawasan umum, bukan sekedar masalah rasionalitas atau spiritual tapi lebih merujuk kepada nilai-nilai yang dapat diterima sesuai harkat kemanusiaaan atau “humanitas” dan teruji seturut rentang waktu. Oleh karena itu cinta adalah merupakan tema yang universal yang paling sering di garap oleh para penyair karena cinta memenuhi syarat atas tuntutan nilai kebenaran universal tersebut.

'Kewajaran' adalah hal yang sangat diperhatikan oleh si penyair. Sajak di atas memilih ungkapan yang justru terasa sangat wajar bahkan apa adanya tanpa balutan metafora yang rumit sekalipun sepertinya menampakkan paradoks antara ‘jiwa yang gelora’ dan ‘diam dalam semadi’ tapi dua ungkapan itu muncul secara beriringan secara wajar, tanpa perlu menimbulkan penolakan dalam diri kita sebagai pembaca. Di situlah sebenarnya terletak konflik dalam sajak ini. namun berhasil diselesaikan dengan baik oleh sang penyair dalam bait berikutnya dengan ‘cukuplah saja dimatamu, kutemukan indah’ di mana kependekan sajak ini tidak berarti sajak ini menjadi dangkal dalam wawasan ataupun gagal dalam pengungkapan, karena sajak ini mampu menciptakan impresi ke dalam diri kita sebagai pembaca bahwa sebuah gejolak perasaan bisa menghasilkan puisi, dan puisi bisa jadi begitu indah menyentuh manakala ada perasaan yang menyublim dalam diri pengarang yang hadir utuh dalam sajaknya.

Sebagai pembanding mari kita lihat sebuah sajak lagi dari penyair yang sama sebagai berikut:

Baru kumengerti

Baru kumengerti apa arti kebebasan, Tuhan
saat temui sepi pantai dambaku
tanpa badan-badan tak bertuan
sekarang kubisa berjalan, lepas berangan

Pasir tenang seolah lupa bahwa disini pernah dicampakkan
tubuh-tubuh tanpa tetanda
mereka menyebutnya OTK
gelombang telah menyapu bersih sisa darah, bahkan sisa benak
akankah ombak menghapus juga luka didada yang mendamba damai
dan tak hanya ada di negeri andai?

Sekalipun sajak di atas terasa lebih rumit karena mengambil tema (terinspirasi) oleh berbagai peristiwa kekejian yang sering muncul di koran atau televisi, di mana konflik batin sangat kentara namun penyair tetap mempergunakan gaya bahasa yang tertib dan pilihan diksi yang sederhana, asosiasi yang tidak terlalu rumit, pengimajian yang sangat wajar namun telah berhasil menampilkan sebuah potret kekejian secara utuh sebagai sebuah sintesa. Sentuhan kepedihan dalam sajak ini justru tampil menyayat saat kita dibawa sang penyair melihat sebuah lanskap bisu ‘pasir tenang…, gelombang yang telah menyapu bersih sisa darah dan sisa benak’ sebuah gambaran yang ‘seharusnya’ membuat kita bergidik ngeri namun sang penyair tak hendak membuat kita mual dengan menggiring imajinasi kita ke arah itu. Sang penyair justru mengajak kita melihat jauh dibalik peristiwa sebenarnya, ke dalam sebuah perenungan kontemplatif bahkan spiritual, yang membawa kita pada sebuah kesadaran arti kemanusiaan, mencari makna sebuah kebenaran yang paling hakiki.

Sekali lagi kesederhanaan menjadi kekuatan utama sajak ini, bagaimana sebuah situasi diangkat menjadi sebuah sajak, mengajak kita menghayati arti kebebasan, pengharapan, derita dan kekejian dengan cara yang sama sekali berbeda bila kita membaca berita penganiayaan di koran atau mendengarkan berita pembantaian di televisi. Di sinilah kekuatan sajak di atas yang sanggup meninggalkan impresi yang berbeda dalam diri kita, sang penyair sanggup melepaskan diri dari beban muatan slogan atau moralisme yang terlalu bombastis yang senantiasa membayangi sajak-sajak jenis ini. Dimana seringkali penyair merasa sangat perlu untuk menyampaikan protes sehingga melupakan esensi sajak itu sendiri. Harus kita pahami bahwa sajak yang bagus akan terus meninggalkan gemanya merasuk ke dalam diri pembaca, sementara berita di koran akan segera terhapus dan kehilangan daya pukaunya setelah peristiwa itu berlalu.

Nilai-nilai kebenaran universal adalah merupakan nilai-nilai yang dipercaya sanggup mewakili zamannya, dimana nilai-nilai itu tidak harus kita anut sebagai manusia yang asal ikut-ikutan arus melainkan kita dituntut untuk bisa tampil secara kreatif melihat permasalahan kehidupan disekitar kita secara peka melalui intuisi sudut pandang kita pribadi. Intuisi yang mungkin akan menimbulkan konflik dan keresahan dalam diri seorang penyair sehingga terpacu untuk berbicara lebih lantang lewat sajaknya. Adapun nilai-nilai universal itu tentunya haruslah sejalan dengan kodrat manusia untuk menghayati nilai-nilai yang baik, yang halus, manusiawi dan berbudaya. Memiliki hasrat untuk memperbaiki diri dan masyarakatnya agar lebih berbudaya, tidak menjadi vulgar atau bahkan barbar seperti yang dinyatakan oleh Budi Darma dalam ‘Harmonium’.



titon @ Friday, May 14, 2004