Wednesday, June 09, 2004

Gita Menulis Puisi, Gita Bernyanyi Lagukan Bunyi

Ada yang sangat menarik dari seorang Gita Romadhona, semerdu namanya semerdu itulah lirik-lirik sajaknya. Saya telah mencoba merunut karya-karyanya yang bertebaran di dalam situs Cybersastra dan saya menangkap sebuah intensitas yang kuat dari Gita untuk membuat sajak-sajaknya merdu di dengar. Bukan cuma sebatas itu saja, Gita tidak sekedar bernyanyi dengan larik-larik puisinya lewat padu padan rima dan irama dalam sajaknya, dibalik itu Gita juga mengguratkan pemaknaan yang dalam melalui simbol perlambangan yang sederhana namun apik. Ia tak ingin berumit-rumit dengan gaya pengungkapannya, justru melalui kesederhanaan pilihan diksi sajaknya menjadi lebih menonjol. Tampak sekali bahwa Gita pun tak hendak bermuluk-muluk dengan bahasa kias atau membungkus sajaknya dengan metafora yang rumit, semua pilihan diksinya terasa begitu akrab dengan pendengaran kita. Mari kita simak beberapa kutipan dari sajak “Di Jakarta Hujan Merindu” berikut ini:

orang-orang yang kehilangan bosan
aku yang kehilangan kenangan

hidup terbingkai, kota seperti bangkai
di ujung gang, setiap kenangan tak juga melerai

pada nama-nama kecil yang sudah terlalu lelah
tunjuk-tunjuk yang patah. warna-warna pun salah
pada akhirnya pada kau juga semua kalah


Juga pada sajak “Pada W.S” berikut ini akan kita rasakan intensitas bunyi yang kuat ditunjukkan oleh sang penyair dalam membangun imaji sajaknya dan membawa impresi kita sebagai pembaca pada pemahaman makna puisi yang lebih mendalam.


secepat riuh mencari sepi
tinggal menunggu daun-daun berkemas pergi
secepat itu juga ranting menyisih diri

Dari segi tema tampak sekali kekuatan Gita menangkap keindahan dari hal-hal yang rutin, peristiwa yang ia jumpai setiap hari, pengalaman, kenangan, cinta, mimpi, kesedihan, kerinduan. Dalam hal ini Gita adalah seorang ekspresionis, dan itu mungkin yang menyebabkan saya merasakan adanya jejak Chairil Anwar dalam karya-karyanya, tapi berbeda dengan Chairil, Gita tidaklah meledak-ledak dalam mengekspresikan sajak-sajaknya Gita cenderung lebih tenang, lebih terkontrol, terasa sekali kelembutan perasaan kewanitaannya. Dalam mengungkapan rasa rindu atau cinta Gita memilih ungkapan yang lugas dia tidak memakai ungkapan melankolis atau mendayu-dayu dan itu justru membuat sajak cintanya tidak terjebak dalam melodrama, semua ungkapannya terasa wajar, ia tidak mengejar romantisme semata karena itu sajaknya tidak jatuh pada yang picisan. Mari kita simak pula ekpresi diri sang penyair yang penuh tenaga namun menghanyutkan pada sajak “Sampai” berikut:


segala sesal mengental
segala tapi menepi
segala lupa terbuka
dan detak itu sampai
pada batu bermantra di sunyi yang bersinar

Saya merasakan ada kekuatan ekspresi yang mendalam ala Chairil dalam sajak di atas ada teknik pengungkapan pikiran dan perasaan dengan mengeksplorasi sisi-sisi psikologis. Pada dasarnya cara berpikir, cara bersikap, dan cara sang penyair mengungkapkan perasaanya pastilah tidak terlepas dari apa yang bergerak dalam alam bawah sadarnya, juga perenungan, atau bahkan mimpi dan lamunan yang berpengaruh pada kehadiran karya-karyanya. Mengenai masalah ini memang membutuhkan kajian yang lebih spesifik dan mendalam karena masih merupakan sebuah hipotesa yang sangat terbuka terhadap begitu banyak kemungkinan.

Namun tak pelak lagi gaya pengungkapan Gita jelas menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengolah realita dari pengalaman empiris ke dalam penghayatannya lewat perenungan psikologis, tampak sekali bahwa sajak-sajaknya bukan semata-mata mimesis atau tiruan dari alam sekitar atau lingkungan tempat ia bertumbuh. Ia memberikan muatan lebih atas proses pengamatannya pada lingkungan, Juga atas kesadaran dan keberadaanya sebagai manusia yang senantiasa gelisah mencari. Dapat kita amati dari sajak-sajaknya berikut:


hutan kapuk yang itu-itu juga
menatapku seolah tak pernah percaya
“apa yang kau bawa, masa lalu di ranselmu
dan setumpuk kenangan di sakumu
sampai kapan akan sengaja kau biarkan terbuka?”
embun tak lagi mampu dinginkan pagi

Pada sajak “Kur Yang Tak Pernah Selesai” di atas Gita menggunakan pengungkapan pendek namun bernas untuk menggambarkan pengingkaran atas kenangan, permasalahan seturut perjalanan waktu dalam hidupnya namun tak kunjung juga berhasil ia tuntaskan. Ada semangat untuk menggugat diri sendiri di sini namun Gita sengaja memakai pengimajian yang sangat unik, ia memakai simbol hutan kapuk yang itu-itu juga, sebuah upaya membungkus sajak dengan gambaran realitas yang sering kita lihat dalam perjalanan. Juga pilihan pada diksi tukang ojek, langkah kaki, peluit mimpi adalah sebuah ungkapan yang sangat khas. Daya dorong itulah yang mendominasi karya-karya Gita dan menjadikannya seorang ekspresionis, tampak sekali dalam pengimajian sajak berikut:



kemarin
ketika langit sedang jadi miliknya, ia bicara pada rumput pada tanah pada angin pada jalan-jalan di sepanjang hutan kapuk itu
ia tertawa, bertanya bahkan ia juga bernyanyi
ini mimpi, katanya yang aku cari
dan kujahit di keliman baju sendiri
ini mimpi, katanya bukan segaris
huruf yang bisa diubah, dibentuk, dimiliki
siapa saja cuma karena pulpennya milik bersama
ini mimpi, katanya yang kutemui setelah aku habis melalui nyenyak tanpa tepi
ini mimpi, katanya: milik tidurku sendiri


Pada sajak “Seorang Laki-Laki Jalan Sendiri” tampak pengimajian yang liris dengan daya ekspresi yang kuat merepresentasikan perasaan sang penyair tentang kesendirian, persahabatan, kesetiaan dan juga mimpi. Sekali lagi ia memilih diksi yang sederhana yang mudah kita kenali karena akrab dengan kehidupan kita namun dengan kekuatan ekspresinya sang penyair membuat sajaknya lebih berisi terasa sekali kepuitisannya, dan mampu meninggalkan kesan yang cukup mendalam dalam diri kita.

Demikianlah Gita telah membawa kita menyelami sajak bukan sekedar sebagai tumpukan kata-kata, ia mengajak kita beryanyi, merenung, dan menghayati keindahan untuk meraih kebenaran sejati. Dalam karya-karya Gita kita menemukan bahwa sajak menjadi terasa utuh sebagai perwujudan intuisi, imajinasi dan sintesis yang akan memperkaya batin kita.

Kuningan, Juni 2004

titon @ Wednesday, June 09, 2004