Friday, April 02, 2004

Intensi Dalam Penulisan Dan Pembacaan Sajak
(oleh titon rahmawan)

:Teriring ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Hasan Aspahani

Dalam proses penulisan hingga pembacaan sebuah sajak sesungguhnya dapat kita telusuri lewat beberapa pendekatan, harus dipahami bahwa sajak dapat kita lihat sebagai sebuah obyek penafsiran dan tidak bergantung sepenuhnya pada teori pendekatan, akan tetapi justru sebaliknya keberadaan sebuah teori atau metode pendekatan sepenuhnya bergantung pada keberadaan sajak itu sendiri, dengan kata lain tidak sembarang metode dapat kita pakai untuk membedah sebuah karya karena keberadaaan (eksistensi) sebuah sajak memiliki arah dan visinya sendiri yang tidak dapat sembarang kita analisis dengan sebuah metode pendekatan tertentu.

Salah satu pendekatan yang kita kenal adalah melalui pendekatan intensi atau niatan, yaitu sebuah proses pendekatan yang mengkaji proses yang melatarbelakangi kelahiran sebuah sajak, proses ini bermula dari intensi penulisan sang penyair, apa yang ia rasakan dan ingin tuangkan dalam sajak adalah bagian yang terpenting oleh karena intensi penyair seringkali digali lewat proses pengendapan dalam diri si penyair dalam rentang waktu tertentu. Seyogyanyalah kelahiran sebuah sajak lahir lewat suatu pengendapan yang sublim, namun tidaklah tertutup kemungkinan bahwa gaya pengungkapan sajak seseorang yang lahir secara spontan tak menghasilkan hasil akhir yang bagus.

Yang terutama sekali dalam proses penulisan itu si penyair mampu mencapai kondisi yang sublim yang membius pikiran dan perasaannya sebagai sebuah perwujudan intensi yang kuat, gelora perasaan, gelombang hasrat yang menyentuh intuisi dan kepekaan puitik dalam diri seorang penyair, sebuah kegelisahan yang menerbitkan api kreativitas. Proses ini bisa terjadi secara spontan manakala penyair dihadapkan pada suatu realitas yang memicu sebuah pengalaman puitik dalam dirinya, tetapi dalam karya-karya kontemplatif seringkali membutuhkan selang waktu beberapa lama untuk mencapai pengendapan yang sublim. Dalam kondisi ini di tuntut seorang penyair yang secara intens mau mengasah bakat dan kepekaannya, bagaimana hatinya dapat tergerak oleh sentuhan peristiwa-peristiwa kecil sederhana, seperti, gugur dedaunan, bocah bermain, rintik hujan, gonggong anjing. Demikian pula proses yang melalui lentik pemikiran seperti perenungan atas kehidupan, kematian, keimanan juga gugahan rasa atas peristiwa tertentu yang melanda si penyair semacam kesedihan, kemarahan, kegembiraan, adalah segala bentuk pikiran dan perasaan yang sanggup menyentil hasrat kepenyairan dalam diri seorang manusia. Demikian pula dengan percobaan penulisan yang secara terus menerus diasah dan efek penulisan yang berusaha dicapai oleh seorang penyair untuk menghasilkan sebuah gaya pengucapan yang baru atau sama sekali berbeda dari konvensi berbahasa yang umum.

Tapi intensi sajak tidak cuma berhenti sampai di situ, intensi penyair masih harus dituangkan dalam kata-kata. Di mana intensi kata-kata harus dipahami lebih lanjut sebagai sebuah proses yang menuntut seorang penyair untuk lebih jauh merasuk ke dalam struktur pengucapan, ke lorong-lorong bahasa, menggali kemerduan bunyi, menyiasati pengimajian, mengolah simbol dan perlambangan. Dalam tahap ini penyair bisa saja berhasil tapi mungkin pula ia menjadi tersesat ke dalam labirin kata-kata, atau terbata-bata dalam pengungkapan bahasa puitiknya, karena sublimitas yang dialami seorang penyair adalah sebuah kondisi yang abstrak yang sulit diterjemahkan atau dijabarkan dalam sebuah perwujudan sajak yang bagus dan berhasil.

Dalam tahap ini seorang penyair harus waspada dalam pemilihan unsur-unsur pembentuk sajaknya, tidak sembarang pilihan diksi dapat mewakili karena intensi penyair bisa saja hilang tertelan kata-kata yang dipilihnya, manakala kata-kata tersebut tampil terlampau naïf, terlampau klise atau justru terlampau mubazir berlebihan, sehingga intensi kata-kata itu jadi tak sampai, gagap menerjemahkan intensi penyair, atau gagal menimbulkan impresi yang ingin di wujudkan si penyair. Sajak menjadi gelap karena intensi kata terasa usang, atau sajak berubah menjadi kitsch karena dangkal wawasan dan pengendapan, tidak ada sublimitas atau greget, tidak ada nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalam sajak itu. Sublimitas diri penyair tidak berhasil di cairkan ke dalam pilihan kata-kata yang tepat sehingga terjadilah antiklimaks, sajak mati sebelum intuisi penyair sampai.

Memang sajak yang baik tidak selalu harus komunikatif, justru seringkali sajak tampil terbalut oleh misteri yang rumit namun mengasyikkan, terbungkus oleh metafora yang halus berlapis-lapis yang semakin kuat menimbulkan citra atau pengimajian yang lebih kaya. Banyak sajak yang tetap bernilai tanpa sepenuhnya dapat dipahami karena intensi kata yang multi tafsir yang dapat lahir dari negasinya, bahkan intensi kata bisa tampil di luar arti leksikon atau arti harafiah kata itu sendiri, intensi muncul dari kekayaan interpretasi, dalam hal ini kita masuk ke dalam proses selanjutnya yaitu penelusuran atas intensi pembaca dalam mengapresiasi sebuah sajak.

Begitu sebuah sajak di publikasikan maka pembaca memegang otoritas untuk memberikan penafsiran dalam proses ini dan terbukalah begitu banyak kemungkinan pembacaan, setiap kemungkinan itu tidak secara mutlak menjadi cermin bagi keberhasilan atau kegagalan sebuah pembacaan karena proses pembacaan tidak pernah mencapai hasil yang final. Setiap pembaca boleh dan sah-sah saja memberikan penilaian bagus tidaknya sebuah sajak, sekali pun demikian banyak orang yang menilai bahwa sajak adalah termasuk dalam karya tulis kreatif yang sulit dipahami. Mengapa demikian, adalah merupakan sebuah gejala yang sangat unik sebab yang paling utama adalah karena banyak orang yang tidak akrab dengan kata-kata, banyak orang yang tidak memiliki kemampuan menafsir, bahkan di kalangan yang menyebut diri mereka penyair sekali pun. Di satu sisi banyak penyair yang mampu melahirkan sajak-sajak yang bagus dan berhasil namun di sisi lain mereka tak mampu membuat penafsiran atas sajak orang lain, terlepas dari berhasil tidaknya penafsiran itu. Pada kenyataanya banyak penyair yang tidak memiliki nyali membuat penafsiran atas karya orang lain bahkan mungkin juga alergi menafsirkan karya sendiri, sebuah kenyataan yang barangkali aneh namun nyata. Kegagapan itu sebenarnya adalah sedikit bukti bahwa disamping rendahnya minat membaca dan menulis di kalangan masyarakat kita juga sangat rendahnya kemampuan membuat sebuah penafsiran.

Banyak penyair lupa bahwa intensi kata-kata terletak pada penafsirannya. Kita membaca Arthur Rimbaud, Ernest Hemingway, Jean Paul Sartre, Kahlil Gibran, Jacques Derrida, Octavio Paz, Pablo Neruda, dan sederet tokoh lain tapi kita tak memperoleh penghayatan apapun, pikiran bebal, jiwa kosong melompong. Adalah sebuah kenyataan yang ironis bila seorang penyair tak mengakrabi kata-kata sebagi dunianya, dan masih juga marah-marah bila dikritik dan dianggap menulis karya-karya yang tak bernilai sastra. Pada kenyataannya masih begitu banyak penyair mentah yang tidak belajar menafsir dan tidak mau menerima kritik yang justru sanggup memberi kesadaran baru.

Dalam proses kritik kreatif sesunguhnya kritikus melemparkan sebuah kemungkinan pembacaan yang terbuka, yang aspiratif dan mengundang pembaca untuk lebih dalam mengali karya itu sendiri. Kritikus tidak harus mendasarkan diri semata-mata pada suatu metode, justru seharusnya mereka menciptakan metode sendiri yang tepat dalam pendekatannya, segala metode hanyalah sebuah alat untuk membongkar sajak. Pendekatan yang paling tepat adalah kearifan dan keakaraban pembaca dengan obyeknya, oleh karena itu pembaca yang baik pasti mampu berperan sebagai seorang kritikus yang baik pula. Apa pun hasil yang ia peroleh sepanjang sanggup menyuarakan kebenaran yang mengangkat harkat dan martabat sastra maka intensi pembaca telah menemukan titik temunya dengan intensi penyair.

Sesungguhnya intensi pembaca cukup penting untuk dipahami sebagai sebuah proses integral yang berkesinambungan mulai semenjak proses pengendapan sublimitas diri seorang penyair yang lahir secara spontan berdasar realitas kehidupan maupun lewat perenungan yang mendalam, hingga merasuk ke dalam intensi kata di mana diharapkan pilihan kata-kata itu mampu mewakili atau merepresentasikan kejujuran yang universal (universal truth) sebagai cermin dari realitas kehidupan manusia itu sendiri. Kata dalam sajak harus mewujudkan kearifan dan keluasan pandang, menciptakan keindahan yang hakiki, mampu menyentuh, menggerakkan, membuai, menyemangati, mengetarkan, dan bergema ke dalam relung hati pembaca. Intensi pembaca menjadi penting karena pembaca membutuhkan karya yang baik, yang berbobot, yang sugestif, inspiratif merangsang kepekaan dan mendorong kreativitas dalam diri mereka juga.

Oleh karena itu sajak yang gagal merepresantasikan keterkaitan tiga proses tersebut umumnya adalah sajak yang lahir tanpa niatan penyair yang sublim, ditulis asal jadi atau dengan niat asal menulis, dimana penyair tidak menyadari niatannya sendiri yang hakiki, penyair tidak menyadari intensi kata-kata yang dipilihnya, malas menafsir dan memberikan penafsiran, kata yang dipilih asal bunyi, asal berirama, asal merdu namun dangkal dalam pemikiran, gagap dalam pengucapan, dan hampa dalam makna.

Sebuah sajak karya Hasan Aspahani di bawah ini barangkali dapat membantu kita memahami seluruh proses penelusuran intensi sebagaimana saya ungkapkan di atas:

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal J
jeramah: serupa inikah rasa enggan itu? telapak tanganmu
di punggungku. aku menduga cinta itu merasuk
lewat jemarimu. dua dada telanjang. dua mulut
bercengkeraman. ada kata yang belum tuntas
dibicarakan. "Sudah malam, sudah malam,"
aku masih ragu, engkau pun tak kunjung faham.

jerabak: ada pelabuhan, dua berjauhan. aku di tepi danau
ini, kau di seberang sana. tak ada yang ingin
jadi perahu. lalu waktu melapukkan tiang-tiang.
kita terbengkalai, dalam penungguan yang lalai.

jerau: bulan merah tua. warna yang dikirim api dan asap,
padang yang terbakar di sana: hati lapang kita.
jangan berharap pada hujan. ini kemarau bukan?
jangan menunggu malam berubah warna, sayang,
(merah ini kelak semakin menua).

jerah: lalu kita saling mengembara, saling menghindari.
aku menemukan dia di mana-mana. (engkau jugakah?)
tapi dia tak menunjukkan jalanku menemukanmu.
aku menemukannya di setiap singgah. (engkau jugakah?)
dia menawarkan lelah, dan merayuku agar menyerah.

April 2004

Ada catatan pelengkap puisi ini di www.sejuta-puisi.blogspot.com

Tanpa melihat catatan pelengkap yang melatarbelakangi proses penulisan yang mengiringi kelahiran sajak itu barangkali kita akan merasa sangat kesulitan untuk dapat memberikan penafsiran atas karya ini, justru lewat penelusuran proses itulah kita memperoleh gambaran bahwa intensi penyair yang kuat telah menjadi latar belakang lahirnya sajak eksperimental ini sesuai dengan pernyataan si penyair dalam catatannya. Menggangu atau tidaknya kehadiran catatan yang mengiringi lahirnya proses penulisan karya tersebut, Hasan telah memberikan contoh yang sangat bermakna bagaimana seharusnya seorang penyair bersikap, manakala ia merasa terpanggil untuk memberikan sedikit interpretasi atas pembacaaan karyanya, manakala ada keraguan bahwa orang lain bisa saja gagal memberikan penafsiran atau tak mampu sama sekali memberikan penafsiran. Dalam kondisi ini sebetulnya dibutuhkan peran seorang kritikus yang baik yang diharapkan mampu menjembatani intensi penyair dengan intensi pembaca, namun seorang kritikus bukanlah seorang paranormal yang serba tahu. Kritikus bukan dewa yang selalu benar, mereka bisa saja salah dan itu adalah sebuah kondisi yang sangat wajar, karena peran kritikus adalah sekedar memberikan sebuah alternatif dan alternatif itu bukanlah sebuah penilaian yang mutlak.

Membaca sajak Hasan di atas dapat coba kita pahami dari intensinya, dari kegelisahannya, sebagaimana yang ia ungkapkan bukan dengan maksud menyombong untuk memperoleh sebuah 'gaya pengucapan' yang berbeda namun sekedar sebuah proses eksperimental kecil. Dan kalau kegelisahan itu menemukan pintu puitik untuk menyuarakannya atau untuk menampung segala emosi yang sedemikian lama mengendap adalah bagian integral dari keseluruhan proses itu sendiri, sekalipun dalam proses pencariannya si penyair diiringi sedikit perasaaan bersalah karena belum menemukan 'rasa puisi' yang pas. Proses ini adalah merupakan sebuah bukti bahwa perasaan sublim tidak selalu memperoleh jalan pengucapan yang tepat. Kata-kata sudah lama diketemukan tapi 'rasa puisi' belum juga datang. keseluruhan proses inilah yang bisa kita telusuri untuk memperoleh pemaknaan hakiki dari eksistensi sebuah sajak. Apa pun kesan kita sebagai pembaca, apa pun penilaian kita, bagus tidaknya sajak ini sepenuhnya berpulang kepada kita sebagai pembaca, setidaknya kita bisa mencapai suatu tataran bahwa ternyata sebuah sajak dapat menghasilkan sebuah perenungan yang sedemikian mendalam kalau kita mau bersungguh-sungguh menggali intensitas itu jauh ke dalam sanubari sang penyair.

Jakarta, 2004


titon @ Friday, April 02, 2004

Sajak Tak Perlu Pembuktian Dirimu
: eksistensialis

Lakukan apa yang kau mau dan mampu
Bukan lantaran demi suatu pengakuan
Tak perlu kau buktikan dirimu siapa
Sebab dirimu sudah ada sejak semula

Tuhan tahu kau siapa dan bisa apa
Tuhan bangga padamu seperti apaadanya
Kemuliaanmu ada karena pantulan-Nya
Tapi dunia mana tahu siapa kau bisa apa

Kalau kau tahu sebenarnya asalmu
Dan kelak akan kembali pada asalmu
Maka mataegomu akan terbelalak
Bahwa pengakuan dunia siasia belaka

: selamat berkreasi!

***
babarsariyogya, 1 april 2004

note: sajak diatas adalah karya Agustinus 'Onoy" Wahyono yang saya ambil dari milis Sastra Pembebasan

titon @ Friday, April 02, 2004

Dunia Paradoks Seorang Penulis Eksistensialis
(Sebuah persembahan untuk sahabatku Agustinus 'Onoy' Wahyono)

Telah menjadi kodrat manusia untuk menetapkan pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Pilihan-pilihan itu merupakan wujud dari kehendak bebas. Sebuah konsep pemikiran yang menyandarkan diri pada filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre yang diungkapkan dalam novelnya 'La Nausee'. Bagi sebagian penyair atau penulis gagasan kebebasan bukan semata-mata tema yang mereka olah untuk mengukuhkan identitasnya tapi merupakan sebuah akar pemikiran yang mutlak sifatnya. Seperti dinyatakan Sartre, 'eksistensi tanpa kebebasan adalah suatu penjelmaan yang absurd'. Oleh karena itu kebebasan mereka jalani sebagai sebuah proses sadar diri, yaitu sadar akan keberadaan dan eksistensi dirinya sebagai seorang penyair atau penulis.

Bagi kebanyakan penyair atau penulis eksistensialis, tema kebebasan merupakan sebuah obsesi yang mendasari lahirnya karya-karya mereka. Secara intens mereka terus menerus mengunyah gagasan ini bahkan terbawa hingga kedalam sikap dan tindakannya sehari-hari, diwujudkan dalam upaya menyuarakan kebebasan berkarya, kebebasan menuangkan aspirasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan memunculkan identitas. Kondisi tersebut sejalan dengan pernyataan Sartre bahwa dalam diri manusia ada dua macam keberadaan, yaitu 'ada dalam diri' (l'entre-en-soi) dan 'ada untuk diri' (l'entre-pour-soi). Ada dalam diri adalah ada di dalam dirinya sendiri, sekedar mentaati prinsip identitas dalam arti tidak berhubungan dengan keberadaannya, sebuah kondisi yang memunculkan perasaan muak (la nausea) yaitu suatu situasi penolakan atas entitas dirinya sebagai seorang aku dengan ego pribadi yang menonjol, sementara ada untuk diri tidak mentaati prinsip identitas yang berhubungan dengan eksistensinya sebagai suatu hubungan yang ditentukan oleh kesadaran yaitu kesadaran sebagai manusia yang bukan sekedar obyek tapi juga sekaligus berperan sebagai subyek. Di mana manusia secara sadar untuk membuat pilihan-pilihan secara bebas atas segala tindakan dalam hidupnya dan mau mempertanggung-jawabkannya sebagai sebuah konsekuensi atas pilihan-pilihan hidupnya.

Hal inilah yang saya lihat pada seorang Agustinus 'Onoy' Wahyono, seorang penyair, cerpenis, esais, kartunis, yang secara 'sadar' menyatakan dirinya sebagai 'bukan pesajak, bukan penyair, bukan cerpenis, bukan siapa-siapa' sebuah sikap yag bukannya tanpa dasar. Sebagai seorang yang banyak berkecimpung dalam dunia seni dan sastra dan telah membuktikan diri tidak saja secara produktif berkarya namun juga telah menghasilkan karya-karya yang berbobot dalam berbagai genre apakah itu cerpen, esai, sajak, dan seabreg karya lain dalam bentuk ilustrasi, sketsa, grafis, desain arsitektur, desain kaos, yang seluruhnya ditekuni secara cermat dan tidak semata-mata dikerjakan dengan semangat 'tukang' tapi secara piawai telah menunjukkan bobot dan wawasan berkesenian yang tidak sembarang orang mampu mencapai tataran tersebut.

Namun sikap yang selama ini ia jalani justru seperti memunculkan sebuah paradoks yang mencoba 'mengingkari eksistensi dirinya sendiri' yang terasa kontra produktif. Apakah itu merupakan sebuah bentuk penolakan sebagaimana tergambar pula dalam beberapa karyanya, yang selalu menyelipkan unsur-unsur main-main, dan humor yang satir tapi selalu digarap dengan seluruh kapasitas serius seorang 'Onoy' ataukah sikap tersebut justru merupakan sebentuk dorongan 'ego' yang diungkap dengan gaya paradoks yang berlebihan? Sebagai sebuah keyakinan yang jumawa atas potensi lebih dalam dirinya?

Onoy sebenarnya mengakui bahwa dalam dirinya ada potensi yang selalu membutuhkan wadah untuk menampung luapan intuisinya, sebuah daya dorong bagi kreativitas yang luar biasa, meluber ke mana-mana bahkan hampir setiap hari dapat kita temui karya-karya postingannya di berbagai milis sastra, tetapi di lain pihak hasrat atas pengakuan itu ia tolak mentah-mentah dengan statement-statement yang seringkali keras dan pedas tanpa tedeng aling-aling. Oleh karena itu ia terus saja bergelut untuk memperlihatkan kebebasannya dalam upaya menundukkan diri sendiri.

Dari beberapa karyanya dapat kita lihat kecenderungan seorang Onoy dalam mengolah gagasan puitiknya maupun ragam dari tema-tema yang selalu menjadi bahan cerita pendeknya adalah merupakan sebuah bukti kegelisahan perwujudan dari pencarian eksistensi dirinya selama ini seperti muncul dalam karya-karyanya. Kebusukan, kepalsuan manusia dan dunia yang semu adalah tema sajak yang cukup sering ia garap seperti dalam sajak 'Sebatang Lilin Putih Membaca Salju Di Kilimanjaro' dan 'Sarapanku' kemudian karya-karya yang bertema kehampaan, kesunyian, kegalauan seperti pada sajak-sajak 'Hampa Hari Ini', 'Kata-kata Pamit Malam Itu', 'Ketika Aku Telah Sendiri' dan 'Telaga Galau Dalam Buaian Abadi'. Di luar itu permasalahan eksistensi diri sangat sering ia garap dalam sajak-sajak seperti 'Aku Ada Maka Karyaku Ada' dan juga 'Aku Ingin Menulis Saja Tanpa Peduli Apakah Sajak Ataukah Bukan' dan 'Waktu Puisiku Pasrah' kemudian tema lain adalah penolakan atas cinta seperti pada sajak 'Jangan Datangi Aku Dengan Asmaramu' dan 'Menjahit Hati Terbelah'

Dan masih banyak lagi karya-karya Onoy yang menggarap tema-tema eksistensialis semacam ini: sikap mandiri dan mementingkan diri sendiri seperti dalam cerpen pendek penuh kejutan 'Kala Gerimis Mengiris Malam'’ kemudian orang-orang yang gagal berhubungan dengan orang lain dan merasa terus menerus di kejar dosa seperti dalam cerpen 'Jadilah Bajingan Yang Sungguh-Sungguh' atau orang yang gagal memahami diri sendiri dalam cerpen 'Rayuan Pedang' juga cerpen-cerpen absurd semacam 'Di Bawah Bayang-Bayang Bulan' di luar itu Onoy banyak menulis karya-karya yang iseng sendiri yang terkumpul dalam sajak-sajak isengnya yang nakal penuh kejutan dan humor dan sajak-sajak protes yang ia sebut sebagai sajak-sajak slogan (pamflet) seperti 'Sajak dari Pinggir Jalan Raya Babarsari' dan 'Peringatan'.

Sekilas gambaran karya-karya di atas adalah sedikit dari lebih 400 sajak, cerpen dan karya-karya lain yang telah ia hasilkan selama ini yang nampak menunjukkan pergumulannya yang intens dengan diri sendiri. Dalam beberapa dialog Onoy sering menyatakan dirinya kecil, tidak berarti, tidak punya kelebihan apa-apa sehingga memaksanya untuk terus menerus mengkaji perjalanan kepengarangannya, sebuah pandangan yang mendorong dirinya untuk terus menerus belajar, karena dorongan tidak pernah puas ini yang menimbulkan perasaan 'sadar diri' yang barangkali tak wajar dalam kapasitasnya yang telah mampu membuktikan diri. Sebuah euphemisme yang sesungguhnya terlalu berlebihan namun menjadi suatu keadaan yang justru membuatnya terus menerus dilanda keresahan, kecemasan, kegelisahan oleh beban kreativitas sebagai konsekuensi pilihan-pilihan yang harus ia pertanggungjawabkan dalam proses pencarian jati dirinya. Kegelisahan yang secara kontradiktif mampu memicu kemampuan kreativitasnya disatu sisi tapi juga membelenggu kebebasannya di sisi yang lain. Sebuah kondisi di mana hasrat untuk melepaskan diri dari kecemasan itu semakin membuatnya menjauh dari kebebasan yang ia idamkan.

Di satu sisi ia mengakui kebebasan tapi dilain pihak juga menyangkalnya, sebuah tindakan yang kontradiktif sebagai sikap menipu diri sendiri yang sebenarnya berakar dari keinginan-keinginan untuk mengurangi kegelisahan, kesulitan dari pemenuhan ego pribadi, kecemasan yang timbul dari hasrat pribadi yang belum tercapai, dan mungkin pula lewat pergumulannya dengan dunia yang ia geluti selama ini belum memberikan kepuasan maksimal atau mungkin juga adanya permasalahan lain yang belum tuntas ia selesaikan.

Dari penelusuran saya atas perjalanan kepengarangan seorang Onoy sesungguhnya bermuara pada konflik dalam dirinya yang tak hentinya mempertentangkan antara kebebasan dan keterbatasan yang justru memicu kemampuan kreatif yang luar biasa dahsyat, sebuah kegelisahan yang menjadi sumber bagi lahirnya karya-karya yang mungkin saja akan menjadi fenomenal suatu ketika nanti bila Onoy tidak sekedar menuruti dorongan kreatif semata tapi mau secara mendalam mendedah ke inti pencariannya dan lebih banyak menulis dengan melibatkan isi hatinya yang terdalam.

Onoy adalah sebuah pribadi yang unik yang dikaruniai begitu banyak talenta yang luar biasa dan sesungguhnya mudah baginya untuk mengukuhkan eksistensinya di dunia tulis menulis yang menawarkan begitu banyak kemungkinan ini asal ia mau tetap jujur pada diri sendiri dan lebih peka merespon lingkungan tempat dia bertumbuh.

Jakarta 2004


titon @ Friday, April 02, 2004

Monday, March 29, 2004

Komentar Sarabunis atas esai 'Masuk peti mati- kegelisahan batin seorang penyair' :

1. Mas titon,
bagi saya, sebuah proses menuju sebuah puisi lebih penting
daripada mencipta puisinya atau puisi itu sendiri. Menuliskan
puisi (mengarang puisi) hanyalah efek dari proses kehidupan
seorang penyair. ketika sebuah puisi diciptakan ada benang
merah yang tersambung pada proses2 kontemplasi yang telah
dilakukan sebelumnya yang entah kapan masanya. disini baik
atau tidaknya sebuah puisi yang diciptakan, tergantung dari
baik dan tidaknya proses kontemplasi yang dilakukan dimasa
yang entah kapan tersebut. bisa hasil perenungan dari masa
yang sangat lama ataupaun dari waktu yang sangat sebentar.

proses sebelum penciptaan puisi ini adalah sejatinya hidup.
semua mesti direnungi dengan baik. apakah perenungan itu
dimaksudkan sebagai alasan menulis puisi atau tidak itu
tidak penting, yang terpenting sungguh2 berkontemplasi dan
sungguh2 dalam proses kontemplasinya.

hasil kontemplasi yang diperoleh akan dipengaruhi oleh
perjalanan waktu, pengalaman, bacaan, pengaruh buruk
dan baik dll. pergulatan itu semua di dalam batin memberi
karakter pada pemikiran2 yang diyakini. pemikiran tersebut
bisa jadi sangat fanatik, bisa juga sangat moderat, atau bahkan
bisa jadi sangat kuno dan naif. tergantung pengaruh mana yang
lebih dominan terhadap proses kontemplasinya.

mencairnya proses2 tsb ke dalam puisi, dipengaruhi oleh
kondisi2 tertentu. bisa jadi pergesekan dengan karya orang lain
sangat berpengaruh. atau bisa juga muncul secara spontan
dan tiba2. atau juga dipengaruhi oleh kondisi jiwa, sedih, gembira
sakit, sehat, cemburu, sesal dsb. pada akhirnya, puisi adalah
tempat penyimpanan hasil2 tersebut. ruh dari proses itu yang
menjadi energinya.

ini proses penciptaan non teknis yang tidak bisa dipelajari
di sekolah2. mungkin ini juga yang menyebabkan lulusan
fakultas2 sastra hanya nol koma sekian persen saja yang
jadi penyair serius. wallahu'alam

2. terima kasih mas Titon atas apresiasinya.
sungguh diluar dugaan, luar biasa mas titon membongkar sajak saya
dengan bahasan yang apik ini, mudah2an pencitraan yang saya bangun
dalam 'memasuki peti mati' tak lagi menjadi sekedar hantu mengerikan bagi
pembaca lainnya sekali lagi terimakasih.

Salam
Sarabunis, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat



titon @ Monday, March 29, 2004