Friday, June 15, 2007

"Cantik Itu Luka" Sebuah Terobosan Literer

Bagi saya, “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan adalah merupakan sebuah terobosan literer di dalam khazanah sastra Indonesia.

Cukup lama saya merasa tak mendapatkan kepuasan optimum setiap kali selesai membaca sejumlah novel-novel karya penulis asli Indonesia, yaitu semenjak terakhir kali saya membaca “Olenka” karya Budi Darma. Dan baru kali ini saya memperoleh kembali kenikmatan itu, setelah saya menyelesaikan pembacaan saya yang kedua kalinya atas “Cantik Itu Luka.”

Menarik untuk dicermati, bahwa “Cantik Itu Luka” adalah sebuah novel yang menawarkan begitu banyak alternatif kemungkinan pembacaan, dan oleh karena itu ia jauh dari kata membosankan. Ia tidak saja menawarkan sebuah fiksi dengan latar sejarah yang digarap dengan pendekatan yang cukup komprehensif, namun juga didukung oleh resensi dan riset penulisan yang cukup lengkap.

Dalam banyak hal, “Cantik Itu Luka” telah berhasil menampilkan persingunggan dengan fakta yang cukup rinci dan sekaligus mendetail. Di sisi lain, karya tersebut memiliki kesadaran yang sangat kuat atas keberadaannya sebagai sebuah karya fiksi, yang dengan bebas melakukan manufer-manufer yang nyaris tak terbatas, bahkan hingga yang paling liar sesuai dengan kekuatan imajinasi sang pengarang.

Dalam novel ini, secara jenial Eka berhasil meramu begitu banyak aspek permasalahan, beragam peristiwa, dan juga berbagai karakter manusia yang multi dimensional, hingga menjadi sebuah adonan yang luar biasa kaya dan mengenyangkan. Bila coba kita urai satu persatu, maka akan kita temukan berbagai hal yang berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, legenda dan juga mitos, kondisi sosio-kultural masyarakat dari berbagai bangsa, sisi-sisi psikologis manusia yang paling wajar hingga kepada yang paling absurd, sampai pada romantika dari hubungan cinta, seksualitas dan kebencian yang demikian rumit dan berbelit sekaligus.

Tapi ia tak berhenti sampai di situ, ia juga menampilkan masalah-masalah pelik yang berhubungan dengan aspek ideologis, politis hingga filsafat. Yang antara lain muncul dalam sosok seorang preman, seorang partisan, seorang syudanco, serta seorang pelacur kelas atas yang sekaligus seorang ibu dari sejumlah anak gadis. Dan Eka juga membawa kita menelusuri sejumlah proses pencarian jati diri dari beberapa orang anak manusia, serta konflik-konflik kejiwaan para tawanan perang dan penderitaan para jugun ianfu, hingga perjuangan manusia dalam upaya menegakkan harkat kemanusiaanya untuk dapat meraih kemerdekaan dan kebebasan.

Di luar itu semua, dengan fasih Eka juga berbicara tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau gaib, supranatural dan juga misteri, serta yang berkaitan dengan masalah kanuragan dan kedigdayaan hingga masalah penyimpangan seksual. Semua itu mampu ia lebur menjadi satu menjadi sebuah karya yang tidak saja apik, namun sanggup mengocok imajinasi pembaca hingga melampaui batas-batas realitas dan juga ilusi, fakta dan fiksi sekaligus.

Inilah sebabnya mengapa saya berani mengatakan, bahwa “Cantik Itu Luka” adalah merupakan sebuah terobosan literer di dalam khasanah sastra Indonesia. Ia telah melampaui semua batas-batas pencapaian yang telah dilakukan oleh para penulis pendahulunya. Ia tidak berhenti sebagai sebuah fenomena realisme absurd sebagaimana “Olenka” dan “Rafilus” karya Budi Darma. Ia juga mampu mengupas problematika seksualitas dan kisah percintaan dengan latar sejarah menjadi sebuah drama dan sekaligus epik yang menggugah sebagaimana trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” nya Ahmad Tohari, dan dwilogi milik Ayu Utami “Saman” dan “Larung.”

Karakter-karakter tokoh dalam “Cantik Itu Luka” terasa begitu komplet dan kaya. Dalam banyak hal, mereka juga terasa begitu hidup. Sekilas mereka memang tampak berkesan main-main, namun di dalam upaya main-main itu mereka juga sekaligus bisa sangat serius. Memang, banyak karakter-karakter di dalam novel ini yang digambarkan oleh sang penulis dengan cara sedemikian rupa, hingga memberi kesan komikal. Namun bukan berarti mereka tidak memiliki kedalaman. Menurut pengamatan saya, sebagian besar karakter bahkan telah berhasil menampilkan sisi yang paling tragis dan paling ironis dari kehidupan manusia yang sesungguhnya.

Sedikit kelemahan barangkali adalah karena Eka terlampau berani menafikan logika justru kepada hal yang menurut saya sangat mendasar. Bahwa ada beberapa hal, yang menurut saya tetap membutuhkan sebuah penjelasan logis. Dan itu yang tidak berhasil saya temukan sampai kisah ini berakhir. Seperti misalnya dalam kasus mayat sang tokoh utama yang hidup lagi setelah puluhan tahun itu. Walaupun bengkoknya logika tersebut tak mengurangi kenikmatan saya dalam membaca. Namun, rasa ingin tahu atas dasar apa Eka membuat “absurditas” itu menjadi suatu hal yang dapat diterima sebagai kewajaran dalam sebuah fiksi dengan latar sejarah, tetap saja menyisakan sebuah ganjalan di dalam diri saya.

Bagaimanapun patut saya katakan, bahwa masa depan sastra Indonesia banyak bergantung kepada orang muda seperti Eka Kurniawan. Ia tidak berhenti sebagai seorang pendongeng yang cerdas dan sekaligus piawai memainkan alur cerita, dan menggambarkan watak serta karakter tokoh-tokohnya dengan cara yang demikian hidup. Namun lebih daripada itu, harus saya akui bahwa ia mempunyai sebuah visi yang jauh melampaui pemikiran penulis-penulis yang sebaya atau bahkan lebih tua dari usianya.

Jakarta, 14 Juni 2007
Titon Rahmawan
titon87@yahoo.com

titon @ Friday, June 15, 2007

Thursday, June 14, 2007

Andaikata Dabir Seorang Penyair*

Satu ketika rekan saya yang bernama Dabir menyatakan hal serupa ini kepada saya, bahwa menulis sajak baginya pertama-tama adalah merupakan sebuah solilokui, yaitu sebentuk percakapan dengan diri sendiri sebagai upaya yang ia lakukan terus menerus untuk memberikan penafsiran atas sekumpulan embun yang perlahan-lahan membatu di dalam dirinya. Embun itu memang bukan sembarang embun yang kita kenal, lebih kurangnya ia adalah merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang kita terima di dalam kehidupan. Dabir teman saya ini memang lain daripada yang lain. Ia dikenal sebagai orang yang selalu berlagak puitis dan mengaku-aku dirinya sebagai seorang penyair, bukan saja karena ia paling getol menulis puisi namun di dalam bentuk percakapan sehari-hari pun ia paling suka mempergunakan kata-kata yang berbau-bau puisi. Sepertinya hal itu merupakan bagian yang sudah terlanjur melekat dengan dirinya. Walau kadang-kadang saya dibuat jengkel oleh gayanya yang norak dan berlebihan, namun dalam banyak hal saya juga belajar dari dirinya. Mungkin ia memang tidak sembarangan ngomong, mungkin juga karena ada saya temukan lentik-lentik kebenaran di dalam kata-katanya itu.
Kembali ke rekan saya Dabir, ia sempat bilang bahwa titik-titik embun itu telah ia himpun sepanjang perjalanan hidupnya setetes demi setetes. Sekalipun sekarang embun itu telah menjelma menjadi batu kristal dengan begitu banyak kilau yang penuh dengan berbagai warna tetapi proses mencari dan mengumpulkan embun itu sendiri masih merupakan sebuah prosesi yang terus ia jalani. Selanjutnya Dabir mengatakan pada saya bahwa menulis sajak adalah merupakan upaya bagi dirinya untuk memahami diri sendiri yaitu lewat ungkapan kata-kata. Karena pemikiran, perenungan dan pengalaman seringkali begitu cepat berlalu bersama angin tanpa pernah sempat ia dokumentasikan. Dengan mimik yang bersungguh-sungguh Dabir bilang pada saya bahwa ia tak ingin mati dengan cara seperti itu, mati sendiri tanpa meninggalkan sebuah jejak pun.
Saya memang tak seketika menangkap apa yang dimaksud oleh Dabir ketika itu, maklum saja karena daya tangkap saya memang seringkali lemah, apalagi kalau harus menafsirkan kata-katanya yang penuh dengan simbol-simbol atau dengan pralambang yang rumit serupa itu. Memang tak gampang bagi saya untuk menangkap makna sebuah sajak seperti yang sering Dabir perlihatkan kepada saya. Butuh waktu lama bagi saya untuk menangkap apa yang tersembunyi di balik setiap pilihan kata-katanya dan saya selalu kesulitan untuk dapat mengupas lapis-lapis makna yang sengaja ia sembunyikan di balik balutan metafora. Jadi saya hanya bisa manggut-manggut ketika Dabir dengan penuh semangat berkata kepada saya dengan gaya yang kocak serupa ini, bahwa ia memakai sajak sebagai tempat untuk bercermin dan seringkali pula ia merasa dirinya telah tenggelam ke dalam sajak, karena sekalipun kilau embun itu sudah ada di dalam dirinya seringkali pula ia masih harus jauh menggali dan menafsirkannya kembali bahkan untuk dirinya sendiri.
Dengan penuh antusiasme dan kepercayaan diri Dabir menegaskan bahwa sajak-sajaknya tidaklah lahir dengan sendirinya, seringkali ia masih harus berlari-lari untuk menangkap makna dari kata-kata itu, yang seolah-olah beterbangan serupa bunga-bunga rumput liar di tengah padang. Kadang-kadang kata-kata itu berhenti dan membiarkan Dabir menarik nafas sejenak untuk merenungkan kembali setiap sisi peristiwa dari setiap kilau embun yang berhasil ia temui, sayang-sayangnya banyak masa terlewat demikian saja tanpa pernah berhasil ia catat. Juga saat bunga rumput itu terbang terbawa angin ke tempat jauh sehingga seringkali pula Dabir merasa telah kehilangan jejak. Oleh sebab itu besar sekali dorongan hasrat dalam dirinya untuk dapat menemukan kembali seluruh jejak-jejak yang terlewat dari seluruh kehidupannya di masa lampau.
Di setiap kelahiran sebuah sajak Dabir merasa perlu untuk memperoleh sebuah penegasan atas keberadaan jejak itu sebagai sebuah keinginan dalam dirinya untuk menggoreskan rajah di atas dedaunan atau dalam upayanya mengguratkan jari ke batang pohon. Saya sekali lagi memang tak tahu persis apa yang sesungguhnya ia maksud dengan segala ungkapan-ungkapannya yang sok puitis itu, namun tak ada hal lain yang dapat saya lakukan selain manggut-manggut sambil menatap ke arah wajah Dabir dengan sorot mata penuh kekaguman. Hal itu membuat Dabir bertambah bersemangat untuk meneruskan wejangan-wejangannya. Sekali lagi Dabir menegaskan bahwa ia tidak ingin karya-karyanya sekedar menjadi sebuah bayang-bayang semu dari realitas. Dabir tak ingin menulis di atas pasir karena ia tahu angin akan segera menghapuskannya, sekali lagi ia tak ingin mati dengan cara demikian, ia tak ingin mati begitu sajak-sajak itu selesai ia tuliskan! begitu kata Dabir dengan mata berapi-api dan dengan ludah yang muncrat kemana-mana.
Saya mungkin dapat sedikit menangkap betapa rekan saya Dabir itu memiliki hasrat yang sangat luar biasa kuat untuk dapat hidup di dalam sajak-sajaknya dan apakah hasrat Dabir itu akan terpenuhi saya tak sepenuhnya tahu karena saya bukan nabi atau malaikat, tapi dengan kesadaran terbatas seorang manusia yang daif saya mungkin dapat mempercayai pandangannya bahwa banyak orang-orang di dunia ini yang akan terus berbicara lewat sajak seperti angan-angan ulat untuk menjelma menjadi kupu-kupu, karena seperti ujaran Dabir sendiri saya merasa yakin bahwa siapa pun sesungguhnya orang-orang yang memiliki hasrat besar seperti Dabir selalu memiliki sayap kupu-kupu dalam dirinya untuk mewujudkan impian-impian itu.
Dabir memang tak bosan berkotbah dan saya memang senang mendengar ujaran-ujarannya yang kocak, seperti ia katakan satu kali di warung Mbok Darmi sambil sibuk mengunyah bakwan dan sesekali menyeruput segelas teh manis. Dabir menyatakan padaku bahwa sajak haruslah merupakan lentik sebuah pemikiran, ia tidak cukup semata-mata indah dan menghibur, ia harus menjadi sebuah kilau kristal embun yang berkilau, yang sanggup memberi makna dan memberi pengharapan untuk bisa menyentuh jauh ke dalam lubuk hati pembacanya. Karena sesungguhnyalah setiap lentik pemikiran, perenungan, dan pengalaman demikian berharga untuk di lewatkan begitu saja. Begitu kata Dabir sambil terus mengunyah bakwan Mbok Darmi yang memang terkenal lezat.
Dabir selalu berpijak pada satu anggapan bahwa hidup seharusnya merupakan serangkaian proses berpikir, sementara dalam proses berpikir itu seringkali kita tak dapat menduga dari mana ia berawal dan kemana ia menuju karena ide atau gagasan seringkali tercetus begitu saja tanpa manusia sadari. Pengalaman puitik seringkali lahir dari kegairahan pada waktu membaca karya orang lain dan kegiatan membaca sangatlah merangsang otak untuk berpikir. Tidak seperti saya yang selalu malas-malasan kalau disuruh membaca, apalagi untuk membaca yang berat-berat. Dabir suka sekali membaca Lorca, Rimbaud, Octavio Paz, Ts. Eliot, Gabriel Garcia Marques dan Nietzsche misalnya dan sekalipun ia berulangkali menyatakan pada saya bahwa ia tidak selalu setuju dengan pandangan-pandangan dari tokoh-tokoh besar itu tapi Dabir merasa senang karena tulisan mereka telah memaksa dirinya untuk berpikir dan dalam proses berpikir itulah Dabir menyatakan bahwa sering timbul gagasan di dalam dirinya untuk menulis apa saja dan terutama sajak.
Jadi begitulah sajak-sajak Dabir lebih banyak hadir karena sebuah pemikiran dan lebih sedikit mungkin oleh karena kejadian yang ia rasakan di dalam kehidupan, dan bilamana sajak itu tidak mencerminkan lentik pemikiran seperti yang ia inginkan maka Dabir akan menganggap sajak itu sebagai sebuah karya yang gagal. Dalam kesempatan lain di sebuah sesi diskusi tentang sastra di sebuah milis saya pernah melihat tulisan Dabir seperti ini, bagi Dabir perjalanannya sejauh ini telah mengajaknya untuk bertualang melalui padang kata-kata dan ia merasa dirinya telah cukup berhasil mengumpulkan sekian tetes embun. Akan tetapi Dabir sesungguhnya tak cukup yakin apakah ia telah cukup jauh berjalan dan berhasil mengumpulkan kilau-kilau embun yang paling murni, tapi setidaknya ia telah berusaha menampung embun-embun itu dari ujung-ujung rumput dan dedaunan yang berhasil ia temui. Dan barangkali pula dari yang sedikit terkumpul dan ia catat itu ada yang cukup berguna untuk dibaca kembali, ditafsirkan sekali lagi dan mungkin juga bermanfaat bagi orang-orang lain juga.
Saya ingat sekali bahwa saya tertawa waktu membaca catatan Dabir kala itu, karena ia toh tak merasa cukup yakin dengan pendapat serta apa yang ia tuliskan sendiri. Jadi bagaimana ia dapat memotivasi orang lain dengan karya-karyanya itu kalau ia tak pernah menghasilkan sebuah bukti yang nyata bahwa karyanya memang layak untuk dihargai? Saya tahu Dabir memang gemar berandai-andai seperti juga yang penah dinyatakannya sendiri bahwa seandainya saja sajak-sajaknya itu sanggup berbicara lebih lantang, lebih dalam, atau lebih jauh dari kemauannya maka itu adalah sebuah keniscayaan agar dirinya dapat terus hidup di dalam sajak-sajaknya. Bagi Dabir sekali lagi karya-karyanya itu adalah merupakan sebentuk upaya untuk meraih keabadian di dalam pikiran-pikiran orang lain. Sekali lagi saya tertawa dalam hati dan berusaha memaafkan kenaifannya. Bagi saya pikiran-pikiran Dabir tetap merupakan cetusan perasaan yang polos dan barangkali juga agak berlebihan, tapi betapapun ia tetap merupakan seorang sahabat yang menyenangkan. Sampai kemudian saya menemukan fakta beberapa karya Dabir mulai bermunculan di media massa dan sebuah sajak karyanya bahkan telah berhasil pula memenangkan sebuah sayembara sebagai karya terbaik. Saya sejenak tersentak dan sekaligus kagum, ternyata Dabir teman saya itu telah mulai menemukan jalan untuk meraih apa yang selama ini ia cita-citakan.

Jakarta, Desember 2003 - Juli 2006
Titon Rahmawan

* Tulisan ini terinspirasi oleh esei Budi Darma yang berjudul “Andaikata Nirdawat Seorang Kritikus Sastra” dari kumpulan esei “Harmonium” (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1995)

titon @ Thursday, June 14, 2007

budi darma - posting 8:
D. KESAN-KESAN PRIBADI ATAS KARYA-KARYA BUDI DARMA

Dalam beberapa kesempatan saya sebagai pembaca pernah berpikir mengapa sosok-sosok karakter dalam novel “Olenka” karya Budi Darma itu seolah merasuk begitu rupa ke dalam benak saya. Saya memang tidak menemukan jawabannya seketika itu juga sampai kemudian saya menemukan buku kumpulan esei Budi Darma yang berjudul ”Solilokui” dan juga “Harmonium” yang kebetulan sekali saya peroleh di sebuah kios tukang loak di Pasar Senen (agak ironis memang). Di dalam kumpulan esei tersebut saya kemudian memperoleh sebuah penjelasan yang lebih masuk akal atas pertanyaan-pertanyaan yang sekilas memenuhi diri saya betapa sesungguhnya “Olenka” memang terlahir dari sebentuk obsesi, dan entah bagaimana obsesi yang menghinggapi Budi Darma pada waktu ia menulis “Olenka” itu agaknya telah berhasil ia tularkan dengan cara sedemikian rupa ke dalam diri saya sebagai pembaca. Sejak saat itu entah mengapa setiap kali saya hendak menulis saya pasti selalu teringat kepada Olenka, dan dorongan itu entah bagaimana pula telah menjelma menjadi sebuah serbuan inspirasi, sesuatu yang mendorong saya untuk menuangkan uneg-uneg ke dalam bentuk sebuah tulisan.
Dalam berbagai peristiwa “Olenka” memang telah menjadi sumber inspirasi bagi diri saya, dapat saya utarakan pula bahwa “Olenka” merupakan buku pertama yang mendorong saya untuk menulis. Harus saya sadari bahwa saya memang telah tergila-gila pada “Olenka” dan tentu saja hal tersebut dalam artian yang positif dimana “Olenka” tidak saja berperan menjadi pendorong motivasi saya dalam menulis, dan di sisi lain ia telah menjadi referensi awal bagaimana seharusnya saya menulis. Dan sejauh ini memang tak ada karya lain yang melampaui “Olenka” sebagai pendorong motivasi kepenulisan saya. Novel pertama saya lahir sedikit banyak karena terinspirasi oleh “Olenka”, walaupun pada waktu menulis novel tersebut saya telah berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari bayang-bayang “Olenka” namun harus saya akui bahwa saya tidak sepenuhnya berhasil, karena dapatlah saya rasakan betapa ‘Olenka’ seolah telah meninggalkan begitu banyak jejak di dalam seluruh batang tubuh novel saya tersebut. Bagi saya karya pertama itu betapapun adalah merupakan suatu hal yang sangat bagus karena sebelumnya saya tak pernah mengira akan berhasil menyelesaikan sebuah novel dan bahkan saya tidak pernah berpikir akan menulis sebuah novel.
Pengaruh “Olenka” telah saya rasakan semenjak awal mula dari proses kepenulisan saya, saya tahu dan sadar bahwa saya tak mungkin hidup di bawah bayang-bayang keberadaannya. Saya harus berusaha keluar dari gaya penulisan serupa ini, dan saya sungguh bersyukur bahwa ternyata kemudian saya mampu. Namun saya tidak akan memungkiri realitas bahwa “Olenka” secara tidak langsung telah membesarkan diri saya, dan mengajarkan banyak hal kepada diri saya. Bahwa untuk menjadi penulis serius kita harus sungguh-sungguh hidup dari pikiran-pikiran kita sendiri yang paling sublim, serta dari pengalaman-pengalaman puitik yang paling menyentuh hati, dan juga dari perasaan-perasaan terdalam yang paling otentik. Dan kesemua gagasan itu harus berdiri di atas sebuah kebenaran yang sifatnya universal. Bahwa dengan segenap bekal berharga serupa itu kita berharap dapat menuangkan gagasan-gagasan yang lebih orisinal, lebih bermakna dan sekaligus lebih berkualitas.
Namun harus pula saya akui bahwa tanpa pernah bersentuhan dengan “Olenka” saya mungkin tak akan pernah menulis sama sekali. Yang jelas Olenka telah memicu hasrat di dalam diri saya untuk terus menulis hingga saat ini. Boleh jadi karya saya yang pertama lahir dari sebentuk obsesi yang kurang lebih sama dengan yang memicu kelahiran Olenka. Disitulah sesungguhnya saya menemukan adanya sebuah ‘chemistri’ dan sekaligus keterikatan psikologis bahwa saya tidak sekedar terkesan oleh keberadaan novel itu, namun lebih jauh lagi saya sudah jatuh cinta padanya. Barangkali realitas serupa itu terdengar absurd dan tak masuk akal, namun demikianlah kenyataan yang sesungguhnya. Benar apa yang dikatakan Budi Darma bahwa karya-karya yang baik tidak berhenti sekedar sebagai sebuah bacaan namun ia sekaligus memberikan inspirasi bagi orang lain. Sebagaimana juga pemikiran atas asal-muasal demokrasi yang tak mungkin lahir tanpa adanya karya-karya besar dari para filsuf mulai dari Plato, Aristoteles, John Locke, hingga Rousseau. Dan adalah sebuah ketidakmungkinan wajah dunia akan menjadi seperti saat ini bila tak ada orang-orang seperti Kristus, Nabi Muhammad, Thomas Aquinas, Machiavelli, Karl Marx dan mungkin juga Hitler.
Saya bahkan dapat menegaskan kepada diri saya sendiri bahwa tanpa membaca Olenka mungkin saya tak akan pernah menemukan katup-katup yang memicu hasrat kepenulisan di dalam diri saya, dengan kata lain pula bahwa saya mungkin tidak akan pernah menulis sama sekali. Saya tak akan pernah membuat puisi, esei, cerpen dan mungkin juga novel tanpa pernah bersentuhan dengan Olenka. Sedemikian dahsyatkah pengaruh novel itu bagi diri saya? Saya rasa demikian, tak syak lagi “Olenka” adalah sebuah novel yang sangat inspiratif, sugestif dan sarat dengan begitu banyak nuansa pemikiran, gejolak-gejolak perasaan dan sekaligus ketegangan psikologis. Tak banyak saya temukan karya-karya serupa itu baik di dalam kazanah kesusasteraan kita maupun dalam literatur-literatur asing. Dalam “Olenka” seakan kita dibawa untuk menjelajahi dan menelisik lebih jauh atas hasrat-hasrat yang terbelenggu di dalam diri seorang manusia serupa Olenka, kegelisahan batin seorang Fanton Drummond, ketidak berdayaan Wayne Danton, serta keresahan Mary Jane. Ada ketegangan dramatik di dalam hubungan tokoh-tokoh di dalam novel itu, ada lesatan-lesatan pikiran yang demikian imajinatif, perbenturan-perbenturan keinginan manusiawi, kejutan-kejutan romantik yang saling berkelit-kelindan di dalam sebuah rangkaian kisah yang sedemikian hidup dan sekaligus memikat.
Budi Darma menuturkan seluruh jalinan kisah “Olenka” itu dengan tehnik penulisan yang telah purna, terasa begitu lancar mengalir (meminjam istilah Satyagraha Hoerip) seperti air mancur yang ngocor dengan derasnya dari pancuran sawah, seakan seluruh jalinan kisah itu merupakan hasil sebuah reportase dari jalannya berbagai peristiwa yang saling kait-berkait. Dengan serta merta pula pembaca akan dibawa dari satu peristiwa kelain peristiwa tanpa merasakan adanya jeda yang membosankan atau sedikit saja lanturan, semua mengalir begitu saja. Inilah kelebihan “Olenka” yang bahkan tidak saya temukan dalam karya-karya Budi Darma yang lain. Tidak di dalam “Rafilus”, dan terlebih bila kita bandingkan dengan novelnya yang lain, “Ny. Talis” (kisah tentang Madras)
Kelebihan “Olenka” di banding “Rafilus” adalah kita merasakan begitu banyak loncatan pikiran, begitu banyak hasil perenungan yang tidak saja dalam namun juga puitis, memang “Olenka” lebih banyak berbicara dalam tataran pemikiran. Ia mengeksplorasi sisi psikologis para tokohnya dengan cara yang demikian luar biasa menawan. Sementara itu di dalam “Rafilus”, kita merasakan pergerakan yang agak lebih lambat, jalan cerita yang lebih berbelit dan lebih banyak bertutur di dalam tataran fisik. Hampir tak ada gejolak-gejolak pemikiran di dalamnya, tokoh-tokoh “Rafilus” lebih banyak bergumul dalam konteks yang lebih bersifat fisikal. Budi Darma bahkan tidak mengijinkan tokoh-tokohnya untuk berpikir, kita tidak menemukan satu penjelasan logis mengapa kepala Rafilus harus terpental sedemikian rupa dan berulang kali terlibas kereta tanpa menderita cedera sedikit pun. Walaupun demikian “Rafilus” tetap memberikan kepuasan tertentu walaupun tidak seoptimum yang saya rasakan seperti pada waktu saya membaca “Olenka” dan dapat saya katakan bahwa “Rafilus” juga jauh lebih menarik dibandingkan dengan “Ny. Talis”. Namun banyak hal lagi yang lebih sulit untuk kita pahami di dalam novel Budi Darma yang satu ini. Absurditas yang banyak muncul di dalam novel “Rafilus” masih menemukan benang merah dengan latar belakang kehidupannya yang cenderung komikal namun di dalam novel “Ny. Talis” tak kita temukan gagasan komikal itu, seolah tokoh-tokoh bergerak di ranah yang lebih tak masuk akal lagi, yaitu sebuah kawasan antah berantah yang sulit kita temukan referensinya dengan realitas kehidupan kita sehari-hari.
Bahkan dari segi pemberian judul pun saya merasakan adanya ketidakkonsistenan tersebut, sub judul “kisah tentang Madras” sepertinya terpaksa ditambahkan kemudian, karena referensi mengenai penulisan “Ny. Talis” ini sebetulnya telah muncul pada waktu Budi Darma masih menggarap “Olenka” sebagaimana kita ketahui “Ny. Talis” memang ditulis lebih awal dari “Olenka”. Keberadaan Ny. Talis itu sendiri terasa tidak fokus lebih menyerupai tempelan dari kisah Madras, yang merupakan tokoh utama dalam kisah tersebut yang sepenuhnya berbeda dengan keberadaan tokoh Olenka yang walaupun bukan representasi dari si tokoh aku namun merupakan subyek utama di dalam kisah itu sendiri.
Kekuatan utama tentang pengolahan bahan-bahan yang akrab dalam novel “Olenka”, seperti setting, karakter tokoh-tokohnya yang sangat unik, hingga jalannya peristiwa tidak ada kita temukan di dalam “Ny. Talis”. Bagi mereka yang telah membaca Olenka sebelumnya mungkin akan beranggapan bahwa novel “Ny. Talis” ini adalah merupakan sebuah anti klimaks. Betapapun memang agak kurang berimbang untuk membandingkan kedua novel tersebut, walaupun kita juga tahu bahwa “Ny. Talis” ditulis dalam kurun waktu yang lebih lama, sempat terhenti selama beberapa waktu justru untuk menuliskan “Olenka” ini. Namun dari sini justru kita dapatkan sebuah pelajaran betapa pentingnya pengaruh ketegangan akibat dari keberadaan “obsesi” itu dalam keberhasilan sebuah tulisan. Apa yang tengah dialami dan dirasakan oleh Budi Darma saat itu sehingga ia mengabaikan naskah yang telah digarapnya selama kurun waktu tertentu demi menyelesaikan naskah yang lain. Pasti ada sebuah dorongan hasrat yang sangat kuat untuk dapat berkarya dengan pendekatan serupa itu. Bukannya tak mungkin bahwa ia telah menyihir saya. Sebagai sebuah catatan saya telah membaca novel “Olenka” ini tidak kurang dari delapan kali, bagi saya hal itu merupakan sebuah rekor tersendiri, tak ada karya lain yang lebih sering saya baca selain daripada novel “Olenka” ini. Entah bagaimana pula saya senantiasa menemukan hal-hal baru setiap kali saya selesai membacanya. Dan lebih dalam lagi saya merasa terpikat, saya merasakan semacam keterikatan yang tiada lain dari sebuah ‘chemistri’. Bagi saya “Olenka” adalah sebuah fenomena, ia tidak saja membawa saya pada sebuah dunia fiktif rekaan yang semata-mata hidup di dalam pikiran seorang penulis, namun lebih jauh lagi ia telah menggiring saya ke dalam sebentuk kehidupan yang sedemikian kaya dengan berbagai nuansa pemikiran. Sebagai pembaca saya tidak pernah merasa jemu saat membacanya bahkan seakan saya dapat merasakan bagaimana sosok-sosok itu berkelebat dan kemudian hidup di dalam pikiran saya dan menghantui segenap proses di dalam penulisan karya-karya saya sendiri

titon @ Thursday, June 14, 2007

budi darma - posting 7:
3. “RAFILUS” POTRET ABSURDITAS DAN SIMBOL KEHIDUPAN MANUSIA

Kata kelam barangkali bukan merupakan satu-satunya kata yang paling tepat untuk menggambarkan dunia yang ingin dinyatakan oleh Budi Darma di dalam novelnya yang berjudul “Rafilus” ini. Karena barangkali ada kata lain yang menurut saya jauh lebih mewakili yaitu absurd. Absurd memang mengandung pengertian mustahil atau tak masuk akal, dan di dalam banyak hal ia tidaklah senantiasa identik dengan kekelaman. Memang kekelaman banyak mewarnai seluruh isi novel ini, namun kekelaman itu bukanlah satu-satunya kesan yang kemudian kita tangkap, kekelaman lebih merupakan gambaran sekilas daripada esensi keseluruhan novel. Absurditas adalah merupakan benang merah dan sekaligus esensi pembentuk karya ini. Yaitu gambaran absurditas dari karakter-karakter manusia yang timbul-tenggelam di dalam serentetan peristiwa dan permasalahan utama di dalam novel ini.
Di dalam “Rafilus”, Budi Darma sepertinya memang hendak menampilkan sebuah rangkaian potret. Tidak serupa dengan novelnya terdahulu “Olenka”, ia tidak mengajak kita untuk berpikir. Ia justru menyeret kita memasuki realitas sebuah dunia yang sepertinya tampak demikian dekat dan akrab dengan kehidupan kita namun sekaligus jauh. Dengan mengambil setting kota Surabaya dan sekitarnya realitas itu sepintas lalu terasa tidak berjarak, akan tetapi dengan gambaran-gambaran karakter yang sedemikian ekstrem sepertinya realitas itu kemudian mengalami semacam metamorphosis menjadi sebuah dunia yang sedemikian amburadul, keras dan bahkan kasar. Dan kita pun seolah dipaksa untuk menjadi saksi atas segenap kekasaran dan centang-perentangnya kehidupan manusia. Di dalam dunia yang ditinggali oleh Rafilus dan juga Tiwar ini kita memang tak menemukan panorama lain daripada sebuah potret kekelaman sebagai perwujudan dari carut-marutnya kehidupan sekelompok manusia yang pada dasarnya adalah binatang. Sebagai binatang maka tokoh-tokoh di dalam novel ini tak dapat berbuat lain selain daripada melata. Dan sebagai binatang mereka sama sekali tidaklah diijinkan untuk berpikir, sekiranya mereka sanggup berpikir sekalipun maka mereka tidaklah berpikir sebagaimana para pendeta atau filsuf yaitu demi meraih atau membongkar makna kebenaran. Mereka berpikir hanya untuk sekedar mempertahankan eksistensinya. Sebagai binatang tak ada hal lain yang dapat mereka lakukan selain daripada mengikuti dorongan naluri, atau sekedar menuruti hasrat untuk memuaskan kehendak dan keinginan di dalam dirinya masing-masing.
Tak heran semenjak awal kisah kita akan disuguhi serangkaian kejadian dan juga peristiwa yang tak lain adalah merukan perwujudan dari kehendak rendah manusia dalam upaya memenuhi hasrat fisik dan juga materinya. Pada dasarnya sifat-sifat kebinatangan itulah yang menjadi tema utama dari keseluruhan kisah Rafilus ini. Dan manakala sekumpulan binatang itu saling berbenturan antara satu dengan yang lain maka yang kita saksikan kemudian adalah sebuah gambaran realitas yang nampak demikian ekstrem dan sekaligus absurd. Kita mungkin tak akan dapat memahami gambaran tokoh-tokoh serupa Rafilus, yang dijabarkan sebagai sosok yang seakan tiada tersusun daripada tulang dan daging melainkan dari lonjoran-lonjoran besi. Digambarkan pula bahwa sekiranya Rafilus bukanlah sebuah kejanggalan maka tiada kejanggalan yang menyerupai dirinya. Memang banyak kita temui kejanggalan di dunia ini seperti orang yang berkepala dua, orang tak berkaki, dan orang yang mempunyai pantat tanpa lubang namun tidaklah mungkin orang-orang itu terbuat dari bahan yang salah, dan tokoh kita Tiwar sebagai penutur tunggal di dalam rangkaian kisah Rafilus ini seolah mendapat kesan bahwa Rafilus benar-benar terbuat dari besi dan oleh karena itu tidak mungkin mati, rebah terguling ke tanah dan kembali menjadi tanah.
Selain Rafilus kita akan menjumpai tokoh eksentrik serupa Jumarup, seorang yang sangat kaya dan memiliki banyak sekali perusahaan, mulai dari pabrik kaos oblong, pabrik lampu petromaks, dan sebuah bank. Namun gambaran absurd dari tokoh ini tampak dari sikapnya yang jumawa pada saat ia mengundang sejumlah besar warga kota untuk menghadiri pesta khitanan anak tunggalnya. Di dalam pesta itu jumarup dan anggota keluarganya justru tidak muncul, ia malahan menyewa sejumlah restauran besar untuk melayani segala kebutuhan para tamu namun ia sendiri tak menampakkan batang hidungnya. Seluruh tamu sengaja dibuat bingung dan dibiarkannya berlalu-lalang tak tahu apa yang harus mereka lakukan, sementara itu segala tindak-tanduk mereka direkam dengan kamera. Sintingnya lagi, semua tamu yang diundang itu tak pernah melihat atau mengenal Jumarup dari dekat, mereka dipilih secara acak dari surat pembaca di surat kabar, pemenang teka-teki silang, dan daftar-daftar lain yang tidak jelas. Apa yang dilakukan oleh Jumarup itu bisa jadi adalah meruapakan perwujudan keinginan untuk mempermain-mainkan hidup orang lain sebagai cerminan watak seorang megalomania.
Kita juga akan berkenalan dengan seorang pemuda berandalan bernama Sinyo Minor yang kerjanya tak lain daripada membuat onar dengan mencuri, menganiaya atau memalak orang lain. Dan sebagai orang yang tidak ketahuan juntrungannya ia dengan gampang dan tanpa perasaan bersalah telah menembak sekawanan burung di taman dan juga kera piaraan seorang pemilik toko bernama Albatrip. Ia juga adalah orang yang dicurigai telah menembak seorang perempuan dan juga terlibat dalam beberapa peristiwa tabrak lari akan tetapi tidak terbukti. Sepintas lalu apa yang dilakukan oleh Sinyo Minor mungkin saja merupakan sebuah tindakan yang absurd dan tidak dapat dimengerti dalam konteks kehidupan yang wajar akan tetapi gambaran itu sesungguhnya adalah cerminan dari realitas yang dengan gampang dapat kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Memang gambaran-gambaran tokoh-tokoh di dalam Rafilus tidak lain dan tidak bukan adalah gambaran dari absurditas itu sendiri, seperti juga tampak dalam sosok upas pos Munandir yang gemar membicarakan orang lain dan juga dirinya sendiri dengan gaya yang terlalu dilebih-lebihkan. Upas pos ini sesungguhnya pula sudah harus menjalani masa pensiun namun ia meminta atasannya untuk dapat dipekerjakan lagi. Sebagian besar pelukisan tokoh-tokoh di dalam novel ini lahir dari pengamatan Munandir yang pandangannya sedikit banyak patut kita curigai. Sebagaimana pandangannya atas Rafilus yang menurutnya tak lain adalah merupakan penjelmaan dari roh-roh jahat. Dari pengamatan Munandirlah kita ketahui sosok pribadi Rafilus yang memiliki kegemaran untuk menghantam-hantamkan tubuh dan kepalanya ke tiang listrik, dan sekalipun ia senantiasa berbuat baik namun patutlah ia dicurigai bahwa kebaikan hatinya itu tak lain dari upayanya untuk mengubur kedekilan jiwanya belaka. Seluruh gerak dan warna mata Rafilus adalah merupakan pasang surut pertempuran antara kebaijkan dan kejahatan dimana dalam setiap pertempuran kebajikan hampir-hampir tak pernah menang.
Dari mulut Munandir pulalah kita mengenal tokoh Belanda hitam, yaitu orang-orang yang mengganggap dirinya Belanda namun bukan sebenarnya Belanda yang bernama Van der Klooning. Tokoh ini digambarkan memiliki kekuatan yang fantastis dan sudah tiga kali kawin. Dari istri pertama dia tidak mempunyai anak. Istri pertama diceraikannya karena sudah merasa tidak cocok sementara istri kedua ditinggalkannya karena istrinya tersebut ketahuan telah bunting dengan orang lain. Pada saat ia kawin untuk ketiga kalinya ia merasa tak betah tinggal di rumah dan lebih suka memilih hidup seperti anjing geladak yang ngelayap kemana-mana sampai berminggu-minggu jarang pulang apalagi menggarap istrinya. Tahu-tahu istrinya itu pun bunting tanpa ia pernah merasa membuntinginya. Walaupun istrinya berani mengangkat sumpah demi setan dan malaikat bahwa bayi di dalam perutnya itu tak lain adalah anak dari Van der Klooning sendiri. Namun akhirnya istri ketiganya ini pun juga minggat dari kehidupannya.
Disamping ketiga istrinya itu Van der Klooning memiliki seorang gundik bernama Raminten yang ia perlakukan seperti gombal. Raminten bukannya tidak menyadari bahwa ia memang tak lebih dari seorang perempuan murahan, namun dia bersedia menjadi gundik Van der Klooning bukannya tanpa degup harapan. Tak mungkin ia membiarkan dirinya tanpa rumah, tanpa pakaian dan juga tanpa tangsal perut. Walaupun ia rela sekalipun harus ditempatkan di ruang belakang atau dekat kakus sekalipun dia terpaksa mengalah karena dia sadar sesadar-sadarnya bahwa dia bukanlah istri yang sah. Gundik adalah gundik. Dan dia rela diperlakukan apa pun asal dia tidak dibiarkan sengsara tanpa rumah, tanpa pakaian dan juga kelaparan. Akan tetapi Van der Klooning memperlakukan Raminten seakan dia adalah binatang, setiap kali datang ia digarap secara serampangan hingga sampai belasan kali. Walaupun demikian tubuhnya tak ambrol sekalipun ia tahu bahwa beberapa bagian tubuh Van der Klooning tak lain adalah besi. Lama kelamaan Raminten tahu bahwa ternyata ia telah menyimpan bibit Van der Klooning di dalam tubuhnya dan tanpa ia sadari bibit itu pulalah yang membuat tubuhnya menjadi kebal, sekalipun Van der Klooning seringkali menghantami perutnya itu dengan lonjoran kayu dan bahkan besi. Raminten memang bertekat untuk mempetahankan jabang bayi itu sekalipun Van der Klooning bertekat untuk menggugurkannya. Raminten sadar ia hanyalah gundik dan oleh karena itu bayinya tak lain hanyalah anak jadah tapi betapa pun demikian anak adalah merupakan masa depan baginya dan ia akan terus berusaha untuk mempertahankannya dengan cara apa pun.
Kisah Van der Klooning dan gundiknya Raminten ini sedikit banyak merupakan petunjuk bagi pembaca bahwa Rafilus bisa jadi adalah merupakan anak hasil hubungan yang tidak sah antara kedua orang itu. Rafilus memang tidak pernah mengetahui dengan pasti siapa sesungguhnya kedua orang tuanya karena semenjak kecil ia terpaksa tinggal di rumah yatim-piatu. Realitas yang dihadapi baik oleh Rafilus sebagai anak jadah, Van der Klooning yang doyan kawin cerai dan juga Raminten yang bersedia menjadi gundik asal boleh memelihara anaknya tidak lain adalah merupakan perwujudan realitas yang absurd. Akan tetapi absurditas itu tidak berdiri sebagai sebuah absurditas manakala kita melihatnya dari kacamata para pelakunya. Hal ini jelas merupakan sebuah paradoks. Semakin hebat dan luar biasa gambaran tokoh dan peristiwa-peristiwa yang dialaminya akan terasa semakin menarik pula kisah itu di hadapan para pembaca. Hal serupa inilah yang membuat novel ini menjadi terasa unik dan sekaligus menarik, sekalipun kita mungkin dibuat jemu oleh alurnya yang lambat atau loncatan-loncatan peristiwa yang seakan tiada juntrungan. Akan tetapi setiap energi yang kita habiskan untuk membaca novel ini seolah terbayar oleh seluruh upaya besar sang penulis dalam usahanya menghidupkan eksistensi tokoh-tokohnya dan juga menciptakan akhir cerita yang sama sekali tidak tertebak.
Gambaran absurditas kehidupan manusia juga tampak dalam hubungan percintaan antara tokoh kita Tiwar dan Pawestri. Kedua tokoh ini bertemu secara tidak sengaja di sebuah kantor koran “Surabaya Kota” dimana kedua manusia itu seolah dipertemukan oleh takdir yang serba kebetulan bahwaTiwar dan Pawestri hendak mengambil hadiah karena wajah mereka secara tak sengaja terpilih secara acak dan dimuat di koran dengan diberi tanda lingkaran oleh redaksi. Akan tetapi sebelum sempat bertemu sekalipun kedua tokoh ini bahkan telah merasakan adanya getaran perasaan tertentu, bahwa Tiwar sudah melihat wajah Pawestri pada koran yang terbit pada hari itu sementara Pawestri sudah melihat Tiwar dalam koran yang terbit seminggu sebelumnya. Pertemuan yang tidak sengaja itu adalah merupakan awal dari pemicu segenap hasrat kebinatangan yang sebelumnya telah berkecamuk di dalam diri mereka masing-masing. Begitu saling bertatap muka jiwa mereka seolah tersulut oleh gejolak api gairah hasrat yang membara dan kemudian saling membayangkan bergelimpangan di atas tempat tidur dan siap untuk menghasilkan seorang anak. Gambaran serupa itu hanya mungkin timbul dari pikiran-pikiran liar yang tidak lain adalah merupakan pencerminan sifat kebinatangan. Hasrat kebinatangan itu pulalah yang rupa-rupanya telah mendorong Tiwar untuk segera menyatakan cintanya kepada Pawestri dan memintanya untuk bersedia menjadi istrinya. Memang Pawestri tidak serta-merta mengiyakan permitaaan Tiwar akan tetapi ia merasa perlu untuk menegaskan kembali segenap asal-usulnya yang tiada lain adalah berasal dari keluarga yang bobrok, hina-dina dan oleh karena itu darah yang mengalir di dalam dirinya tiada lain adalah darah yang berasal dari comberan.
Gambaran-gambaran tentang makhluk-makhluk celaka serupa itulah yang sepenuhnya menghiasi novel ini. Gambaran dari sebuah dunia yang centang-perentang, dalam hiruk-pikuknya manusia yang hidup berjejal-jejalan dalam sebuah komplek perkampungan di tengah-tengah kota yang sedemikian kumuh yang terkontaminasi oleh debu knalpot, asap pabrik aspal dan pengeboran minyak, serta limbah comberan yang berasal dari got yang mampet. Latar cerita bergerak di sebuah kawasan yang mempunyai jaringan gang yang sangat luas, sangat rumit dan sekaligus ruwet. Gang-gang sempit yang sesungguhnya lebih cocok untuk menghubungkan tikus daripada manusia. Sebuah kawasan yang sesungguhnya tak layak untuk ditinggali manusia namun di kawasan serupa inilah kisah ini bermula, bergerak melata dan seolah menggeliat di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang dikeroyok oleh sekian banyak gubuk, rumah-rumah yang lebih menyerupai kandang babi dan juga bangunan-bangunan liar. Dimana manusia harus hidup saling sodok dan berdesak-desakan seperti sarden di dalam kawasan yang sama sekali tidak teratur dan tidak bersahabat. Dimana bau amis, apek serta anyir bergumul menjadi satu dan menyerang setiap jengkal udara. Dimana anak-anak kecil dengan santai dan tanpa rasa bersalah dapat membuang kotoran seenaknya di atas batu nisan yang tersebar di seputar kawasan itu sambil menggaruk-garuk kudisnya dengan gaya yang sangat enak. Dimana agaknya seluruh jajaran mayat dipemakaman sekalipun tidak dapat lagi secara layak memperoleh penghormatan dari mereka yang masih hidup. Dimana bau tai, kencing dan got-got buntu berbaur dengan kelembaban udara panas. Dimana got-got buntu itu di musim penghujan akan meluapkan seluruh isinya kembali ke dalam rumah-rumah penduduk yang bahkan lebih kotor dan lebih jorok dari kandang babi.
Gambaran realitas serupa itulah yang hendak dipertontonkan oleh Budi Darma di dalam novelnya ini, realitas yang telah menjelma menjadi teror di dalam benak kita. Bahwa realitas yang sepertinya terasa demikian absurd sesungguhnya adalah cerminan yang paling wajar dari realitas kehidupan itu sendiri, yang dengan sendirinya menjadi terasa demikian tajam mengusik dan bahkan mengiris jantung kita. Lewat perilaku-perilaku tokohnya yang menjijikkan yang tak lain adalah penjelmaan binatang, karena siapa yang mungkin dapat bertahan dalam situasi penuh tekanan dan teror serupa itu kalau bukan binatang? Ini merupakan gambaran dari sebuah realitas yang absurd dan sekaligus ironis. Ia tidak semata-mata dilebih-lebihkan, dalam banyak segi ia adalah kenyataan yang telanjang dan sekaligus jujur. Dalam kondisi masyarakat serupa itu, manusia tidak lagi berbicara soal moral, soal susila atau tatakrama, karena yang mungkin mereka pikirkan tak lain adalah bagaimana mereka dapat bertahan di dalam tekanan kehidupan yang sedemikian mencekam jiwa. Bahwa kebobrokan masyarakat, gambaran yang sedemikian menjijikkan itu adalah perwujudan nyata dari manusia-manusia yang tak menemukan jalan keluar selain dengan menerima jalannya aliran nasib yang tak pernah memihak. Serupa got buntu, segenap kemanusiaan itu telah terperangkap di dalam comberan bersama seluruh isinya yang tiada lain adalah kotoran itu sendiri sebagai akibat dari kegagalan manusia menafsirkan makna kehidupan. Kehidupan yang tiada memiliki warna lain selain daripada hitam-kelam. Bahkan orang-orang terpelajar serupa Tiwar sekalipun tidak dapat berbuat apa-apa selain sekedar mengangkatnya sebagai sebuah potret yang buram dari realitas.
Kita dapat menyadari ketidakmampuan Tiwar dalam usahanya mengatasi segenap kesemrawutan itu dan oleh karenanya pula dia digambarkan sebagai seorang yang gagal, sebagai seorang laki-laki yang impoten. Ia mencintai Pawestri sebagaimana ada dirinya, bahkan ia rela sekiranya Pawestri harus memperoleh anak melalui cara yang tidak lazim. Tiwar sepenuhnya pasrah sekiranya ia harus membiarkan Rafilus menggarap tubuh Pawestri, dan demikian pula hasrat Pawestri untuk memperoleh bibit yang unggul agar pada akhirnya nanti ia memperoleh seorang anak dari hubungan itu untuk dapat ia persembahkan sebagai bukti cintanya kepada Tiwar. Sekali lagi gambaran absurd ini merupakan pralambang dari simbol sebuah keinginan dan juga kesadaran atas keterbatasan diri. Keberadaan seorang anak adalah merupakan lambang dari segala bentuk hasrat terdalam dari jiwa manusia yang ingin keluar dari kebuntuan permasalahan kehidupan yang demikian komplek, oleh karena itu gambaran ideal anak dinyatakan oleh Pawestri serupa ucapan sang Nabi dalam gambaran Kahlil Gibran yang muncul dalam salah satu sajaknya yang paling terkenal. Identifikasi anak menurut pandangan Pawestri adalah sebagai perwujudan lembaga sebagaimana perkawinan adalah lembaga. Ia tidak sepenuhnya terikat seratus persen namun ia juga mempunyai kebebasan, yaitu kebebasan di dalam keterikatan itu.
Oleh karena itulah Pawestri menginginkan anak seperti sosok ideal Ahmad Bartak, yaitu seorang dosen Ilmu Pengetahuan Sosial di IKIP Ketintang yang merupakan gambaran sosok yang pendiam, sopan, ramah, lembut dan mampu memimpin sekian banyak yayasan sosial. Bartak tak lain adalah cerminan orang yang berprestasi di dalam persepsi Parwestri dan bahkan ia dicalonkan untuk menerima penghargaan Ramon Magsaysay. Sekalipun sesungguhnya ia adalah seorang anak jadah. Walaupun demikian Ahmad Bartak tetap menghormati dan berterimakasih kepada laki-laki yang selama ini ia anggap sebagai ayanhnya, kepada ibunya dan juga kepada laki-laki yang merupakan ayah kandungnya yang sebenarnya. Dia merasa bersyukur karena memiliki jasmani dan rohani yang sehat, dia bersyukur karena berasal dari bibit yang baik, dan dilahirkan dengan itikad yang baik. Dan dibesarkan dalam kasih sayang dan tanggung jawab yang besar. Keluhuran budi Ahmad Bartak itulah yang mendorong Parwestri ingin mengikuti apa yang telah dijalani oleh ibu Ahmad Bartak, yaitu mencari seorang yang berbudi luhur yang dapat memberinya keturunan yang luhur pula sekalipun ia sadar bahwa dirinya hanyalah berasal dari comberan
Betapapun luhur dan berbudinya gambaran ideal dari anak serupa sosok Ahmad Bartak itu namun hasrat dan keinginan Pawestri dan juga keikhlasan Tiwar tetap merupakan suatu hal yang absurd. Sedikit banyak mereka mengabaikan norma demi meraih nilai-nilai lain yang sepintas lalu tampak ideal. Sulit bagi kita untuk mengelakkan kenyataan bahwa hasrat serupa itu adalah merupakan hasrat yang tidak normal. Namun sesungguhnya keinginan itu adalah gambaran yang nyata dari realitas yang sesungguhnya. Ia bukanlah suatu hal yang seolah mengada-ada atau dibikin-bikin, betapa manusia-manusia yang melihat dirinya terlanjur terjerembab dan berkubang di dalam lumpur kenistaan pastilah memiliki suatu harapan untuk dapat mengentaskan dirinya sendiri, untuk dapat diangkat oleh orang-orang yang sekiranya peduli kepada nasib dan juga keberadaan mereka yang hina dina.
Jadi sekalipun gambaran yang terpampang di dalam novel ini sepintas lalu terlihat suram dan sekaligus kelam, bahkan nyaris tanpa harapan ia masih menyisakan titik terang. Sekalipun tokoh-tokohnya merupakan penjelmaan sisi kegelapan dan sekaligus absurditas dunia yang centang-perentang namun di sisi lain dari segenap rasa kemuakan kita serta rasa jijik kita atas pergulatan hidup mereka dan hasrat-hasrat kebinatangan yang menjadikan mereka lebih menyerupai ular melata daripada manusia, maka karya Budi Darma ini berniat besar untuk mengantar kita pada sebuah katarsis. Akan tetapi sebagaimana juga Tiwar, Budi Darma sepenuhnya sadar bahwa dengan penggambaran serupa itu kita tidak mungkin untuk memihak, karena semenjak awal mula setiap langkah seakan telah membuat kita terperosok semakin dalam dan hampir-hampir musykil untuk mengharapkan jalan keluar dari gang-gang yang demikian sempit dan juga got-got buntu yang tidak lain dan tidak bukan hanya menghasilkan kebusukan dan kemampatan. Tak ada tempat yang cukup lapang untuk berpikir atau sedikit merenung, setiap tokoh dalam novel ini tak lain harus menjalani takdir buruk dari nasib mereka masing-masing.
Berbeda dengan Olenka, Rafilus memang tidak menyediakan coda dan kesempatan bagi pembaca untuk lebur bersama tokoh-tokohnya menjadi abu serupa burung phoenix. Dan Budi Darma sepertinya telah sampai pula pada sebuah kesdaran bahwa tak ada satu makhluk pun yang dapat memutus rantai kesengsaraan itu selain melalui jalan kematian. Sebagaimana kematian yang terjadi pada diri Rafilus adalah merupakan sebuah tragedi. Takdir celaka bahkan memaksa dirinya untuk mati dua kali. Satu kali ia telah mati terlindas kereta api dan sebelum sempat dikuburkan ia telah mati sekali lagi oleh sebab yang sama dengan kepala tertancap ke atas tiang. Dengan cara seperti itulah Budi Darma mengungkapkan sebuah tragedi, lewat absurditas yang mengatasi logika dan menjadikannya sebagai bagian dari sebuah peristiwa kehidupan sehari-hari.

titon @ Thursday, June 14, 2007

budi darma - posting 6:
2. semangat dan latar penulisan ‘internasional’ di dalam “Olenka” sebagai terobosan literer penting dalam kazanah sastra indonesia

Apabila kita hendak mengulas karya-karya Budi Darma, maka kita tak mungkin melepaskan diri untuk tidak membicarakan novel “Olenka” sebagai buah karya Budi Darma yang terpenting. Sebagian besar kritikus beranggapan novel tersebut telah menancapkan tonggak baru dalam kazanah sastra Indonesia dan bahkan ada yang beranggapan pula bahwa novel tersebut telah layak pula dianggap sebagai sebuah karya master piece, yaitu sebuah karya pilih tanding yang sangat sulit untuk kita cari perbandingannya dengan karya-karya penulis Indonesia lainnya. Dalam banyak hal “Olenka” dianggap telah mampu mewakili genre penulisan karya sastra dalam hal ini novel Indonesia modern yang sophisticated, berwawasan universal, dan sekaligus canggih. “Olenka” adalah merupakan salah satu novel atau roman terpenting yang pernah ditulis oleh sastrawan kita dan oleh karena itu layak pula untuk menempati posisi paling terhormat sehingga dapat disejajarkan dengan karya-karya fenomenal lainnya di dalam kesusasteraan Indonesia seperti “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli, “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana, “Belenggu” karya Armyn Pane, “Tetralogi Buru” Pramoedya Ananta Toer, “Ziarah” karya Iwan Simatupang, dan tentu saja “Para Priyayi” karya Umar Khayam.
Selanjutnya marilah kita kaji apa yang sesungguhnya menjadi dasar atas bobot penting dari novel “Olenka” tersebut? Memang sebagai sebuah novel “Olenka” jelas telah membuat beberapa terobosan penting. Pertama-tama dalam soal pemilihan tema, tema yang diangkat oleh “Olenka” sedikit banyak telah keluar dari tradisi kepenulisan yang mendahuluinya. Novel-novel Indonesia umumnya adalah merupakan cerminan dari kultur tradisi serta pemikiran yang cenderung berkutat pada masalah-masalah lokal, akan tetapi novel ini telah bergerak lebih jauh lagi. Ia telah merambah ke ranah penulisan yang tidak pernah (belum) digarap oleh penulis asli Indonesia pada saat itu. Melalui novel “Olenka” ini Budi Darma telah membuat sebuah lompatan besar, ia menggarap novel ini sepenuhnya dengan semangat ‘internasional’. Hal ini tentu saja dapat kita pahami dalam konteks latar belakang pendidikan dan juga pengalamannya hidup dan tinggal di luar negeri selama beberapa waktu lamanya. Dengan piawai Budi Darma meramu setting, penokohan dan juga cerita berdasar proses adaptasi langsung atas perpaduan kultur budaya dan sekaligus alam pemikiran Barat dan juga Timur.
Apa yang selama ini banyak diperbincangkan orang bahwa sudah selayaknya sastra Indonesia menjadi bagian dari sastra dunia mendapat relevansinya di dalam novel “Olenka” ini. Dan oleh karena itu polemik yang sebelumnya berkembang di dalam sastra kita yang coba mempertentangan visi pemikiran dan tradisi budaya antara Timur atau Barat sebagaimana muncul pada era Poejangga Baru seakan melebur sepenuhnya di dalam novel ini. Budi Darma telah menyatukan keseluruhan unsur visi dan alam pemikiran tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari mainstream sastra dunia yang universal. Budi Darma tidak saja menghadirkan tokoh-tokoh dengan karakter-karakter yang sepintas lalu terdengar asing seperti Fanton Drummond, Wayne Danton, Olenka dan Mary Jane, namun lebih jauh lagi ia telah membawa karakter-karakter tersebut melebur sepenuhnya di dalam latar budaya yang sepenuhnya asing yaitu kehidupan masyarakat kota Bloomington, Indiana Amerika Serikat. Akan tetapi bukan berarti keberadaan tokoh-tokoh itu terlepas demikian saja dari pijakan pemikiran dan akar budaya Budi Darma selaku penulisnya. Dapat kita katakan bahwa novel ini sekaligus telah mengukuhkan peranan penulis Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan dari kazanah kesusasteraan dunia.
Di sisi lain novel ini menunjukkan gaya penulisan yang sangat unik, dimana kita temukan taburan-taburan idiom lokal yang dengan enaknya bermain-main dan bersentuh-sentuhan dengan langgam pemikiran barat. Bagaimana kita dapat menemukan gaya penyapaan seperti ‘sampean’ dalam konteks percakapan pribadi-pribadi yang notabene dilakukan oleh ‘orang-orang bule’ tanpa terasa adanya kejanggalan di dalamnya. Novel ini terlihat mampu mengolah berbagai problematika sosial yang mungkin terasa tidak cukup familiar dengan akar kehidupan kita namun dengan mudahnya permasalahan-permasalahan itu di buat lumer dalam interaksi antar tokoh sehingga tidak lagi berjarak, seakan permasalahan itu telah pula menjadi bagian dari keseharian itu sendiri. Namun sisi yang paling menarik dari penggarapan karakter-karakter tokoh di dalam novel ini muncul dalam wujud gejolak-gejolak psikologis, pertentangan batin di dalam diri sang tokoh maupun dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain. Semua permasalahan itu berulangkali muncul seperti bayangan-bayangan yang berkelebat sesekali dalam kilas balik dan juga dalam runtutan waktu yang linier. Namun secara keseluruhan telah mampu menyedot perhatian kita dan membawa kita hanyut ke dalam gejolak perasaan dan pikiran dari masing-masing tokoh.
Perasaan terlibat dan juga keakraban inilah yang menurut saya merupakan daya tarik terpenting dari novel ini. Dengan latar belakang setting kehidupan masyarakat ultra modern yang sepintas lalu terasa asing namun dengan mudah pula kita dapat membayangkan latar-latar tersebut dengan segala bentuk atributnya, apakah itu dalam bentuk tatanan masyarakat sebuah kota sebagaimana tergambar dari alam pemandangan kota yang secara cukup detail digambarkan dalam bentuk taman, apartemen Tulip Tree dimana tokohnya tinggal, dan bahkan jalan-jalan yang sepintas terdengar asing namun dengan gamblang sang penulis membuat seluruh gambaran itu menjadi terasa demikian hidup. Dengan mengambil latar kehidupan masyarakat urban di sebuah kota bernama Bloomington di Indiana Selatan sebuah negara bagian di Amerika Serikat. Kita diajak berkenalan dengan tokoh yang begitu saja telah mencuri perhatian kita semejak awal mula kita mengenalnya, lewat kilasan-kilasan pikiran sang aku dalam hal ini seorang lelaki kulit putih bernama Fanton Drummond, dengan tiba-tiba pula kita masuk dan terjerat ke dalam kehidupan seorang wanita bernama Olenka. Sebuah realitas yang tak terlampau mengejutkan bahwa bila ternyata Olenka adalah seorang wanita yang telah bersuami dan sekaligus telah memiliki seorang anak. Akan tetapi yang justru mengejutkan adalah bagaimana sang aku telah terjerembab ke dalam situasi dimana seluruh hasrat dan gairahnya tersedot habis demi menemukan jalan untuk dapat menjalin hubungan dengan wanita yang telah berkeluarga itu.
Kerjap-kerjap pikiran telah berubah menjadi hasrat yang demikian kuat dan menjelma menjadi semacam obsesi, yaitu semacam keterikatan psikologis yang lambat-laun berubah pula menjadi sebuah jalinan afinitas. Kelebat-kelebat ilusi dan juga bentuk-bentuk interaksi yang justru terasa demikian absurd. Lihatlah bagaimana bayang-bayang Olenka berkelebat dan memenuhi ruang pandang Fanton Drummond, sehingga seakan-akan Fanton seperti telah melihat Olenka berada di mana-mana. Saat menunggu bis, duduk-duduk di taman, bersembunyi di bawah meja, atau berkelebat di belakang pilar. Di dalam jalinan hubungan yang tidak wajar inilah Budi Darma menunjukkan kepiawaiannya dalam mengaduk-aduk emosi pembaca, dan menggiring pembaca pada sebuah situasi di mana kita seolah-olah terlibat di dalam intensitas hubungan yang absurd itu. Bagaiman gejolak perasaan dan juga kelebat pikiran bermain-main di dalam rangkaian kisah yang bergerak demikian cepat dan sekaligus memukau. Entah bagaimana kita seolah dapat mengidentifikasikan tokoh-tokoh di dalam novel itu seakan menyerupai diri kita sendiri. Hasrat-hasrat yang menguasai diri Fanton Drummond, kegairahan estetis dan juga kejemuan yang sempat menguasai diri Olenka, ketidak berdayaan Wayne Danton suami Olenka dalam mengatasi permasalahan yang mengungkung hidupnya, dan tokoh-tokoh lain yang secara unik telah menunjukkan kualitas kedalaman karakter.
Sisi lain yang juga tak kalah menarik adalah bahwa di dalam novel ini unsur-unsur ketidaksengajaan atau sifat-sifat serba kebetulan bukanlah merupakan suatu hal yang tidak terjelaskan. Unsur-unsur itu secara piawai telah diramu oleh sang penulis menjadi sebuah warna tersendiri yang mampu mengangkat kefaktualan cerita. Berbeda dengan gaya ungkap yang penuh diwarnai unsur kebetulan yang tidak terjelaskan yang sering mewarnai novel-novel Indonesia yang paling mutakhir sekalipun (satu contoh adalah novel terbaik pilihan DKJ “Dadaisme”). Alur cerita di dalam “Olenka” terasa mengalir demikian lancarnya, dan setiap peristiwa seolah telah diantisipasi sedemikian rupa oleh penulisnya yang bahkan rujukannya dapat kita temui dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya seolah peristiwa itu memang sungguh-sungguh terjadi. Di dalam catatan penulis akan kita temukan adanya latar pendukung dari setiap jalannya peristiwa yang membuat keseluruhan kisah ini terasa demikian otentik. Seperti misalnya catatan tentang keberadaan pesawat trans atlantik yang tiba-tiba nyelonong begitu saja di atas Tulip Tree dan langit kota Bloomington. Juga tentang ulah pendeta jalanan yang berkotbah di taman (yang bahkan disertakan fotonya), kemudian tentang pembuatan sebuah film dimana Fanton Drummond sang tokoh utama terlibat di dalam proses pembuatannya. Pertautan fakta dan cerita itu menjadi sebuah unsur yang sangat unik yang tak pernah kita jumpai dalam novel Indonesia mutakhir manapun.
Kelebihan “Olenka” yang paling utama adalah karena Budi Darma telah berhasil menggambarkan sosok tokoh-tokohnya dengan cara yang sangat hidup, begitu akrab dan bahkan seolah-seolah dapat kita temui keberadaan sosok-sosok itu di mana pun. Saya bahkan pernah berpikir bahwa mungkin suatu ketika saya akan berpapasan dengan Fanton Drummond dalam perjalanan saya pulang dari kantor, atau mungkin pula saya akan dapat melihat Wayne Danton tengah bergelantungan di bus kota, atau bisa jadi saya akan berada bersama-sama dengan Olenka di dalam sebuah lift yang kebetulan membawa saya ke kantor yang hendak saya tuju. Kadang pula terlintas pemikiran bahwa saya akan menemui Olenka di sebuah taman, tengah bermain bersama anaknya sambil membuat sebuah gambar sketsa. Gambaran tokoh-tokoh di dalam novel itu terasa demikian hidup dan tidak berhenti sekedar sebagai sebuah gagasan di dalam benak sang penulis ataupun lompatan-lompatan dari sebuah fenomena afinitas yang tidak terjelaskan, namun sebagai sebuah cerita ia telah melampaui imaji pembaca. Ia seolah telah menjadi sebuah potret yang aktuil dari keberadaan realitas itu sendiri.
Kekuatan Olenka ini di sisi lain mampu memberikan begitu banyak keragaman perspektif pembacaan. Dengan kata lain bahwa di dalam setiap proses pembacaan dia mampu memberikan bias-bias keragaman imajinasi dan sekaligus interpretasi. Ia menggugah dan sekaligus inspiratif. Dan apakah hal itu merupakan sebuah upaya tendensius dari pengarangnya kita tidak dapat mengetahuinya dengan pasti, sekalipun pernah dalam salah satu eseinya Budi Darma menyatakan bahwa karya sastra yang baik adalah pemicu bagi lahirnya karya-karya yang baik lainnya. Akan tetapi hampir suatu kemustahilan untuk dapat memberikan interpretasi atas karya Budi Darma ini hingga sampai kepada motif-motifnya yang paling sublim, karena betapa pun motif itu tetap merupakan sebuah misteri bahkan mungkin bagi diri sang pengarang pribadi. Selalu merupakan godaan bagi setiap pembaca untuk membongkar proses di balik ramuan sebuah novel akan tetapi apa yang telah diberikan oleh Budi Darma dalam novel ini lewat kisah asal-usul Olenka adalah sesuatu yang lebih dari cukup. Karena tak pelak lagi novel ini telah memberikan sebuah nafas baru, sebuah adaptasi budaya secara lintas kultural, dan sekaligus terobosan yang sangat memukau dibidang penulisan karya sastra di Indonesia khususnya.

titon @ Thursday, June 14, 2007

budi darma - posting 5:
C. sekilas Apresiasi atas karya-karya Budi Darma

1. Napak tilas jejak kepengarangan Budi Darma dari kumpulan cerpen “Orang-Orang Bloomington” hingga “Fofo dan senggring”

Dengan terbitnya kumpulan cerpen Budi Darma yang terbaru “Fofo dan Senggring” sepertinya kita harus membaca perjalanan kepengarangan Budi Darma dalam sebuah kilas balik. Memang kumpulan cerpen terakhir ini dimaksudkan untuk menapak tilas kembali seluruh jejak perjalanan literer Budi Darma dari karya-karyanya yang paling awal hingga yang paling mutakhir. Di dalam kumpulan ini secara runtut dapat kita amati seluruh perkembangan gaya penulisan, pilihan tema dan juga tehnik kepengarangannya. Kumpulan cerpen “Fofo dan Senggring” sepintas lalu cukup dapat memberikan gambaran yang utuh atas perkembangan gaya penulisan Budi Darma yang bermula dari penulisan dengan gaya realisme dan kemudian berkembang hingga pada pencapaian tehniknya yang paling mutakhir yang lebih banyak mengolah simbol-simbol dalam gaya pendekatan absurditas.
Dalam periode awal penulisannya Budi Darma memang seolah bergelut dengan semacam keterbatasan yaitu menulis sekedar untuk menulis tanpa pretensi apa pun selain untuk memenuhi hasrat itu sendiri, karena sebagaimana yang ia nyatakan sendiri bahwa pada masa awal kepenulisannya itu situasinya memang tidak memungkinkan bagi dirinya untuk melakukan ekplorasi apalagi eksperimentasi atas gaya kepenulisan lebih jauh. Namun keterbatasannya dan kesibukannya sebagai dosen tidak menyurutkan hasratnya untuk terus menulis, dan oleh karena itu obsesinya yang paling utama di kala itu tiada lain adalah untuk memiliki sebuah mesin ketik sendiri.
Perjalanan literer Budi Darma tampaknya memang mengalami sebuah perkembangan yang sangat menyolok. Hal tersebut secara sepintas ia utarakan sendiri dalam pengantar atas kumpulan “Fofo Dan Senggring”, bahwa karya-karyanya dimasa-masa awal itu memang membuatnya enggan untuk menengok kembali ke masa lalu, dalam artian bahwa setiap kali ia membaca karya-karyanya yang terdahulu senantiasa ada hasrat dalam dirinya untuk kembali merombak karya-karya itu dan menyesuaikannya kembali dengan ekspresi kekinian. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan niatan penerbit, betapapun upaya-upaya yang telah digalang untuk menelisik kembali perjalanan karir kepenulisan Budi Darma ini merupakan sebuah upaya yang layak dihargai untuk memberikan gambaran sesungguhnya dari wajah kepenulisan Budi Darma secara utuh.
Dalam ikhwal membicarakan cerita-cerita pendek Budi Darma ini tentu saja kita tidak boleh melewatkan ulasan tentang “Orang-Orang Bloomington” yang dianggap merupakan titik tolak terpenting dari keseluruhan jejak kepengarangannya. Dalam banyak hal karya ini mewakili gambaran paling awal dari keseluruhan sosok Budi Darma sebagai seorang pengarang, kumpulan ini dianggap memiliki kekayaan psikologis yang tiada habisnya untuk digali oleh para kritikus dan juga para pengamat sastra. Kekuatan utama “Orang-Orang Bloomington” adalah di dalam kemampuannya menggambarkan perilaku, watak dan kepribadian manusia. Bahwa di dalam penggambaran itu kita temukan keragaman yang tidak saja unik dan mengundang rasa ingin tahu, namun sekaligus terasa adanya kepelikan dan juga kerumitan. Tak syak lagi karya ini menunjukkan kepekaan dan kejelian Budi Darma dalam menangkap gejala-gejala yang tampak di dalam sebuah masyarakat, sekaligus merupakan bukti dari kemampuannya membaca sisi psikologis dan hasrat-hasrat terdalam dari wajah kemanusiaan. Pada dasarnya “Orang-Orang Bloomington” berbicara tentang hakekat kemanusiaan itu sendiri. Apapun wujud dari gambaran itu adalah merupakan pencerminan dari realitas kehidupan.
Sangat menarik bahwa Budi Darma berusaha mendeskripsikan hakekat kemanusiaan itu berdasar wajah orang-orang Bloomington dan bukannya wajah orang-orang Jakarta atau Surabaya misalnya. Hal ini haruslah kita pahami bukan atas dasar pendekatan setting budaya yang menjadi latar keseluruhan cerita, namun lebih kepada aspek psikologis dari cerita itu sendiri. Disinilah letak kelebihan utama dari kumpulan cerita pendek ini. Sekalipun sepertinya ia bercerita tentang orang-orang Bloomington kita sebagai pembaca seakan terjerat oleh gagasan bahwa wajah yang dipotret oleh Budi Darma itu sesungguhnya tak lain daripada wajah kita sendiri. Kita dengan segenap kompleksitas permasalahan hidup kita sehari-hari, dari keganjilan pemikiran, dorongan-dorongan hasrat, rasa ingin tahu, dan watak-watak alamiah yang sepenuhnya banal. Bahwa sesungguhnya tiada beda antara Joshua Karabish atau Charles Lebourne dengan tetangga kita Suryo Bharoto dan Akhmad Sanusi, atau bayi Orez dengan anak-anak tetangga yang biasa kita lihat menunjukkan keusilannya di dalam pergaulan rumah tangga kita sehari-hari.
Sementara itu penilaian atas karya-karya Budi Darma yang lainnya tidak terlepas pula dari adanya berbagai kontroversi sebagaimana dapat kita lihat di dalam pengantar atas kumpulan cerita pendek terbaik pilihan Kompas tahun 2001 yang menobatkan cerpen “Mata yang Indah” karya Budi Darma sebagai karya terbaik. Hasif Amini sebagai penulis tamu di dalam pengantarnya atas kumpulan itu menulis sebagai berikut, “Tapi membaca cerpen-cerpen mutakhir Budi Darma, yang seakan-akan tak ambil pusing dengan tetek bengek “estetika” bercerita dan berbahasa itu, dapat menimbulkan kegamangan atau setidaknya rasa penasaran pada pembaca yang mengikuti jejak literer pengarang tersebut.” Selanjutnya Hasif menilai Budi Darma secara mendadak dan entah mengapa bercerita dengan gaya ungkap yang amat lugu dan nada moralistik yang kuat, serta perwatakan yang cenderung datar dan statis. Dalam cerita-cerita pendeknya yang dimuat di Kompas mulai dari “Gauhati” kemudian “Derabat” dan “Mata yang Indah” Budi Darma memang sepertinya mencoba melakukan eksperimentasi dan sekaligus eksplorasi dalam gaya penceritaan yang jauh berbeda dari karya-karya cerita pendeknya yang terdahulu terutama dari kumpulan cerpen psikologisnya yang paling banyak dikenal yaitu “Orang-Orang Bloomington.” Memang dapat kita rasakan adanya pergeseran di dalam pendirian kepengarangan dan juga teknis kepenulisannya, sebagaimana yang kita tengarai pula sebagai sebuah perbedaan yang cukup mencolok antara “Olenka” dan “Rafilus”
Hasif rupa-rupanya melihat perkembangan literer Budi Drama lebih dari garis tradisi yang ia ciptakan lewat “Olenka” dan bukanya “Rafilus” sementara ciri yang menonjol dalam cerpen-cerpen mutakhir Budi Darma justru lebih tampak dari gaya pendekatan penulisan “Rafilus” ini. Sebagaimana “Rafilus”, cerpen-cerpen yang dimuat di dalam harian Kompas itu memang lebih banyak bergerak di ranah pergulatan kehidupan yang cenderung fisikal dan sekaligus absurd yang merupakan bentuk gaya ungkap dan sekaligus ciri khas penulisan Budi Darma yang tampak dominan kemudian. Di mana permasalahan yang selajutnya muncul di dalam cerita-cerita absurd adalah seringkali esensi cerita tersembunyi di balik simbol atau lambang. Hal ini serupa dengan lapis-lapis makna yang tersembunyi di balik metafora di dalam sebuah karya puisi. Kegagalan menangkap simbol atau lambang secara tidak langsung menghalangi penafsiran pembaca atas makna sebuah cerita. Oleh karena itu kegagalan bisa ditilik dari keutuhan proses pembacaan dan kapasitas seseorang di dalam memahami sebuah karya sastra. Adalah sangat menarik melihat kenyataan bahwa seorang HB. Jassin sekalipun memberikan komentar serupa ini atas karya-karya Budi Darma, “Saya juga tidak mengerti membaca Budi Darma, tapi toh karyanya menarik. Menarik karena mendorong kita berpikir jauh tentang maksudnya. Kita mendapatkan jawaban kalau sampai pada simbolisme.”
Dengan simbolisme itulah sesungguhnya Budi Darma lebih banyak berbicara melalui cerpen-cerpennya. Sebagaimana kita lihat di dalam cerpen “Derabat” misalnya, kita memang melihat penggambaran karakter tokoh-tokoh yang sepintas lalu tampak demikian hitam-putih, yaitu antara tokoh protogonis si tukang pedati dan tokoh-tokoh antagonis si burung Derabat dan juga pemburu Matropik. Sekali lagi saya justru melihat gambaran tokoh-tokoh tersebut tak lain hanyalah sebagai simbolisme dari realitas dan bukan semata merujuk realitas harafiah di dalam cerita. Memang dalam penggambaran watak dan karakter-karakter itu kita dengan segera akan menangkap kesan yang ekstrem dan juga berlebihan, seperti kita tangkap dalam penggambaran watak pemburu Matropik yang serupa ini: Perilaku dia sangat kejam. Dalam berburu, dia tidak sekedar berusaha untuk membunuh, namun menyiksa sebelum akhirnya membunuh. Maka begitu banyak binatang telah menderita berkepanjangan, sebelum akhirnya dia habiskan dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus…. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata kotor, cabul dan menjijikkan. Dalam keadaan mabuk dia suka telanjang, lari kesana kemari, mengejar-ngejar apa saja, terutama perempuan.
Gambaran serupa itu tiada lain adalah gambaran simbolis dari realitas manusia yang telah mengingkari harkat kemanusiaannya sendiri, dan tiada kata yang lebih tepat untuk merujuk gambaran simbolik dari realisme telanjang yang hendak dinyatakan oleh Budi Darma dalam cerpennya itu selain daripada hasrat kebinatangan yang sesungguhnya bercokol di dalam diri manusia. Akan tetapi sesungguhnya Budi Darma telah dengan konsisten berusaha menampilkan wajah absurditas dan juga perilaku ekstrem dari sisi kemanusiaan itu melalui cara-cara yang sepenuhnya simbolik. Karena itu muncul pula ungkapan di dalam cerita itu “Bahwa Derabat tidak lain adalah Matropik, dan Matropik tidak lain adalah Derabat.” Bahwa wajah moralitas yang seakan dipertentangakan secara ekstrem justru tidak sepenuhnya muncul dalam pemahaman kita secara hitam-putih, karena unsur putih disini yang diwakili oleh si tukang pedati justru tidak berbuat apa-apa. Ia bahkan sama sekali tidak mempunyai minat untuk menyaksikan apa yang akan dan sedang terjadi, karena apa yang terjadi justru pertentangan antara hasrat-hasrat kebinatangan itu sendiri yang saling bertempur dan berusaha saling menghancurkan. Sebagaimana kata penutup di dalam cerpen itu menyatakan, “Biarlah iblis bertempur melawan iblis.” Sesungguhnya ungkapan itu bukanlah ungkapan yang secara utuh dapat mewakili pandangan moralitas yang naif dan juga telanjang.
Sekali lagi manakala kita melihat sebuah cerita yang ciri dominannya adalah absurditas maka kita harus melihat lambang yang berkelebat di balik unsur-unsur pendukung cerita itu. Kejanggalan di dalam penggambaran sosok tokoh-tokoh di dalam cerita beserta petualangan-petulangan luar biasa yang mereka alami tak lain adalah gambaran yang sepintas tampak kontradiktif dari kondisi manusia secara umum. Tentu saja mudah sekali bagi pembaca untuk terjerat dalam suasana yang rumit dalam upaya memberikan penafsiran atas makna yang sesungguhnya diharapkan dari karya tersebut. Karena libatan pemikiran itu hanya akan menjadi jelas dan lebih mudah dipahami manakala kita melihat gugusan pemahaman itu dari kacamata sang penulis. Dalam hal ini kita dapat melihat betapa Budi Darma secara khas dan unik mempertahankan gaya ungkap tertentu di dalam penulisannya dan secara tidak langsung adalah mewakili pandangannya atas dunia yang centang perentang ini.
Sebagaimana dinyatakan oleh Albert Camus di dalam ulasannya atas karya-karya Franz Kafka (Mite Sisifus, Pergulatan Dengan Absurditas): Dalam kontradiksi-kontradiksi itulah dikenali tanda-tanda sebuah karya absurd. Pikiran memproyeksikan tragedi rohaninya ke- dalam wujud yang konkret. Dan itu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan suatu paradoks abadi yang memberikan kepada sang penulis warna-warna yang kaya sebagai kemampuan untuk menjelaskan makna kekosongan, dan kepada tindakan-tindakan sehari-hari suatu kekuatan untuk menerjemahkan ambisi-ambisi yang abadi. Secara jenial Budi Darma telah menerjemahkan hasrat-hasrat abadi di dalam benak manusia itu menjadi sebuah rangkaian kisah yang tidak sekedar berbicara sebagai sebuah realitas harafiah melainkan lewat sebuah abstraksi dari kehidupan. Bahwa wajah kemanusiaan kita tidak saja secara hitam-putih diwakili oleh tokoh serupa tukang pedati, yang walau sepintas terlihat arif dan baik hati namun sesungguhnya menyimpan ketidakpedulian. Dan lebih jauh lagi ternyata wajah kemanusiaan itu didominasi oleh kekuatan-kekuatan nafsu rendah sebagaimana yang mengusai jiwa pemburu Matropik dan juga penjelmaan nafsu kebinatangan sebagaimana nampak dalam diri burung Derabat.
Kegagalan Hasif Amini di dalam melihat simbolisme di dalam cerpen-cerpen Budi Darma yang dimuat oleh Kompas baik dalam kumpulan “Derabat” maupun “Mata Yang Indah” tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dari kegagalan Budi Darma sendiri dalam melihat simbolisme dalam karya-karya Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan “Lampor” maupun dalam “Pelajaran Mengarang.” Dalam pengantarnya atas kumpulan tersebut Budi Darma melihat bahwa Seno di dalam berkarya cenderung bermain-main tanpa memiliki maksud untuk serius, sehingga sama sekali tidak terbaca apa yang menjadi obsesinya. Akan tetapi apa yang terlihat sebagai sebuah permainan yang tidak serius menurut pandangan Budi Darma itu rupa-rupanya memperoleh penafsiran berbeda di dalam pandangan Budiarto Danujaya di dalam esei pembanding atas kumpulan cerpen tersebut yang menyingkap makna-makna simbolis dari cerita-cerita kelam dalam simbolisme absurditas “dunia bawah dan juga kelompok perlawanan” dari karya-karya Seno yang sesungguhnya jauh dari kata main-main. Hal tersebut sekaligus merupakan satu sisi lain yang menegaskan pemahaman bahwa absurditas tidak selamanya mewakili dunia yang tidak dapat dipahami atau dimengerti, justru gambaran-gambaran absurd itu seringkali dapat membawa kita pada kesadaran yang jauh lebih jernih dan juga menyentuh. Dan betapapun absurditas cerita-cerita Budi Darma di sisi lain adalah merupakan salah satu bentuk kepeloporannya di dalam perkembangan penulisan prosa di Indonesia, di mana ragam-ragam penulisan serupa itu dapat pula kita temukan kini dalam gaya penulisan yang telah jauh berkembang sebagaimana dapat kita saksikan pada karya-karya Agus Noor, Gus tf Sakai, dan juga Afrizal Malna.

titon @ Thursday, June 14, 2007

budi darma - posting 4:
3. Absurditas Dan Potret Ekstrem Realitas

Berbeda dengan “Olenka” berbeda pula dengan “Rafilus”, dalam banyak segi kedua karya itu dapat kita sandingkan sebagai sebuah antitesis. Bila novel “Olenka” kaya dengan berkelebatnya pemikiran dan muncul dari luapan perasaan yang sublim, maka novel “Rafilus” justru sangat kaya dengan perbuatan-perbuatan fisik yang lahir dari sebentuk keprihatinan dan kesadaran penulis atas kehidupan masyarakat kelas bawah yang cenderung ekstrem. Tak pelak lagi bahwa “Rafilus” lahir melalui sebuah rangkaian observasi yang mendalam dan juga melalui berbagai pengamatan yang serba teliti atas setting dan berbagai latar kehidupan manusia. Dengan kata lain “Rafilus” lahir dari rangkaian-rangkaian peristiwa yang telah membaur sedemikian rupa dengan abstraksi kehidupan sebagai hasil dari sebuah perenungan pemikiran. Kesamaan antara “Rafilus” dengan “Olenka” barangkali adalah bahwa sang penulis sama-sama ingin menjungkir balikkan pandangan kita selaku pembaca lewat absurditas kehidupan tokoh-tokoh yang diciptakannya.
Dalam “Olenka”, kita menemukan absurditas itu lewat kilatan-kilatan pikiran para tokoh utama yang terlibat secara penuh dalam seluruh jalinan kisah, sementara kita tidak melihat keterlibatan yang mendalam dari sang penutur di dalam jalinan kisah “Rafilus” ini. Tiwar sebagai penutur tunggal di dalam kisah ini cenderung bertindak sebagai seorang pengamat, kadang sebagai seorang penonton yang sesekali berteriak-teriak dari pinggir lapangan demi untuk menyoraki tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lainya. Hanya sesekali saja ia melepaskan atributnya itu dan ikut turun bertanding di tengah lapangan. Dalam banyak peristiwa ia lebih banyak bertindak sekedar sebagai pencatat yang bahkan tidak berbuat apa pun selain sekedar mendengarkan luapan perasaan orang-orang lain. Oleh karena itu pulalah maka gaya pengungkapan cerita “Rafilus” dalam bentuk pengakuan tunggal Tiwar ini bagi sebagian orang mungkin terasa sangat lambat dan bahkan nyaris menjemukan. Namun manakala kita melihat pengakuan itu lebih kepada keberadaan eksistensi dari masing-masing tokoh maka kita akan merasakan konflik-konflik kejiwaan dari serentetan peristiwa itu dengan lebih intens. Kita memang cenderung melihat pengakuan Tiwar dalam “Rafilus” ini lebih sebagai potret atau sebagai sebentuk kesaksian, dan oleh karenanya ia terasa lebih berjarak dibanding rentetan peristiwa yang terjadi di dalam “Olenka” yang lebih banyak bergerak dalam tataran pemikiran yang seakan membawa kita melebur langsung ke dalam karakter tokoh-tokohnya.
Akan tetapi dengan segera dapatlah kita temukan keunikan dari novel “Rafilus” ini, yaitu sebagai gambaran dari potret kemanusiaan yang sepintas lalu tampak demikian suram, seakan tanpa harapan dan terlihat hitam sepenuhnya. Dalam banyak karakter ia bahkan terlihat demikian ekstrem dan cenderung dilebih-lebihkan. Kisah ini sendiri diawali dengan sebuah ungkapan yang secara sugestif menyiratkan hal tersebut, “Rafilus telah mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi.” Tokoh-tokoh dalam “Rafilus” juga digambarkan memiliki begitu banyak kejanggalan, dengan gaya yang persuasif sang penutur berusaha meyakinkan kita bahwa tokoh-tokoh itu antara lain Rafilus, Van der Klooning dan Jan van Kraal bukanlah merupakan perwujudan manusia yang lumrah sebagaimana manusia pada umumnya.
Tidak seperti di dalam kisah mengenai Olenka, di dalam “Rafilus” kita justru akan menemukan begitu banyak loncatan peristiwa yang seolah terasa demikian simpang-siur. Bagaimana kita digiring oleh sang penulis dari satu peristiwa ke lain peristiwa yang pada awalnya sekan-akan tidak berhubungan sama sekali. “Rafilus” tidak mengajak kita untuk mendalami karakter melalui apa yang mungkin tengah mereka pikirkan, melainkan terlebih pada situasi apa yang sesungguhnya tengah mereka hadapi. Karena titik berat “Rafilus” bukan pada percikan-percikan api yang timbul sebagai akibat dari loncatan pemikiran itu, melainkan bertumpu pada tindakan-tindakan mereka secara fisik yang terasa lebih sebagai perbuatan-perbuatan yang absurd dan sekaligus tidak masuk akal. Dalam banyak hal kita bahkan tidak dapat mengidentifikasikan perbuatan-perbuatan tokoh-tokoh di dalam “Rafilus” sebagai pencerminan sikap dan perilaku manusia melainkan lebih banyak disebabkan oleh dorongan hasrat kebinatangan yang muncul begitu saja di dalam diri tokoh-tokohnya. Oleh karena itu tindakan-tindakan fisik di dalam “Rafilus” bukanlah suatu hal yang artifisial sifatnya melainkan sebuah esensi.
Absurditas di dalam “Rafilus” bukan dalam konteks ketidakwajaran yang tidak dapat kita mengerti, karena beberapa aspek ketidakwajaran itu lebih banyak diungkapkan secara sengaja oleh sang pengarang sebagai sebuah lambang atau simbol. Kekuatan dan kekebalan tokoh-tokoh “Rafilus” adalah merupakan wujud pengejawantahan dari harkat kemanusiaan dalam upaya untuk merobohkan takdir yang tidak memihak, dan demikian pula perilaku kebinatangan adalah merupakan representasi dari hasrat dan sekaligus harkat terendah dari kemanusiaan itu sendiri. Mereka bukanlah sesuatu yang tampak asing, apabila di dalam latar kehidupan masyarakat yang sedemikian amburadul keadaanya kita tak akan melihat sisi lain dari kemanusiaan itu kecuali dari sisinya yang paling kelam. Di dalam kehidupan masyarakat yang tidak dapat berbuat apa pun selain menerima ketertindasan mereka, maka harapan-harapan dan juga mimpi menjadi sebuah gambaran yang melampaui realitas yang benar-benar ingin mereka wujudkan. Inilah obsesi sang pengarang yang sesungguhnya bergerak di atas bayang-bayang suram realitas yang tampak demikian kelam sebagaimana terpampang di dalam seluruh wajah dari novel “Rafilus” ini. Betapa pun absurdnya gambaran dari tokoh-tokoh di dalam novel itu mereka bagaimanapun tetap berpijak di atas sebuah realitas yang tak dapat kita abaikan begitu saja. Dan oleh karena itu Budi Darma membuat tokoh-tokohnya itu lebur dengan segenap kelebihan dan terutama dengan keterbatasan kemanusiaanya.
Dalam beberapa eseinya Budi Darma telah menjabarkan batasan-batasan mengenai sebuah karya yang baik yang antara lain adalah bahwa karya yang baik adalah karya yang sublim, bahwa pengarang sangat mungkin terbius oleh suasana perasaan dan pikiran tertentu dan oleh karenanya mereka didesak untuk menjabarkan suasana yang sublim itu dimana perasaan dan pikiran itu adalah mewakili sisi psikologisnya yang paling dalam. Dalam kesempatan lain ia mengatakan bahwa karya sastra yang baik bukanlah tulisan yang kaya dengan tindakan-tindakan jasmani yang mentakjubkan, akan tetapi kaya berkelebatnya sekian banyak pikiran. “Olenka” adalah karya yang secara otentik mewakili kebenaran dari seluruh penilaian Budi Darma atas karya-karya yang baik tersebut. Ia secara utuh mampu mewakili apa yang dimaksudkan Budi Darma sebagai rangkaian berkelebatnya sekian banyak pikiran dan sekaligus lahir sebagai ungkapan perasaan yang sublim. Namun batasan ini sepertinya tidak tepat lagi untuk kita pakai sebagi tolok ukur di dalam memberikan penilaian yang obyektif pada novel “Rafilus”.
Perbedaan yang mencolok dari kedua novel ini sepenuhnya unik, bukan berarti dalam “Rafilus” Budi Darma berniat keluar dari gaya penulisannya sendiri yang telah terbentuk berdasar tradisi kepenulisan “Olenka”. Namun lebih daripada itu, dengan gaya yang tak kurang uniknya lewat novelnya “Rafilus” ini Budi Darma berusaha menegakkan gaya kepenulisan yang tampaknya cukup berbeda dan telah mengalami beberapa perkembangan. Di dalam ”Rafilus” Budi Darma memang seolah menafikan prinsip-prinsip yang semula ia anut sendiri dalam gaya kepenulisan “Olenka” yaitu terutama dalam batasan pengertian karya sastra yang baik bukanlah yang kaya dengan tindakan-tindakan jasmani yang mentakjubkan akan tetapi kaya dengan berkelebatnya sekian banyak pikiran. Betapa pun “Rafilus” lebih condong sebagai sebuah karya yang banyak menampilkan tindakan-tindakan yang mentakjubkan dibanding berkelebatnya serangkaian pemikiran. Namun demikian “Rafilus” tetap merupakan bukti nyata bahwa dalam menulis karya-karya yang keluar dari tradisi “Olenka” sekalipun Budi Darma mampu menghasilkan sebuah karya yang tidak saja berbobot namun sekaligus memiliki keunikan yang mampu menyedot seluruh rasa ingin tahu pembaca untuk menelusuri jejak kepengarangan penulis ini lebih lanjut. Dan pada kenyataannya absurditas masih merupakan tema sentral yang terus mewarnai karya-karya Budi Drama dikemudian hari sebagaimana yang kemudian tampak di dalam cerita-cerita pendeknya yang paling mutakhir.

titon @ Thursday, June 14, 2007

budi darma - posting 3:
2. Perwujudan sublimitas dan Upaya pencapaian katarsis

Bisa jadi “Olenka” memang lahir dari obsesi yang terlanjur mengendap dan bukan dari sebuah rentetan gagasan yang kemudian menuntut untuk diwujudkan ke dalam bentuknya yang terlihat kemudian. Akan tetapi sebagai sebuah karya ia jelas merupakan sebuah karya otentik justru karena kelugasannya di dalam menuangkan beban-beban obsesi yang membayang-bayangi benak sang pengarang. Ia sekaligus merupakan karya yang sangat baik dalam keberhasilannya menyentuh kesadaran terdalam pembaca karena ia lahir dari luapan perasaan terdalam dari diri sang pengarang sendiri yang jelas-jelas mencerminkan hakikatnya yang paling sublim. Sublimitas adalah merupakan warna lain yang menonjol dari novel “Olenka” ini. Dalam banyak hal kita dapat melihat bahwa novel ini telah mewakili hasrat-hasrat dan kecenderungan sang pengarang yang paling mendasar. Ia tidak sekedar menampilkan sisi-sisi kelam dari sang tokoh, ia juga menampilkan begitu banyak gejolak emosi psikologis. Keresahan yang senatiasa menghantui tokoh-tokohnya tidak lain dan tidak bukan adalah beban-beban obsesi yang juga mendera diri sang pengarang. Ada rasa keterlibatan yang mendalam dari sang pengarang di dalam karyanya yang satu ini, sehingga seolah kita dapat melihat batas-batas yang seharusnya rapat dan tertutup itu menjadi begitu transparan sehingga kita bahkan bisa melongok lebih jauh lagi ke dalam segenap isi dapur dari sang peramu kisah yang menawan ini.
Dalam novel ini sang pengarang memang tidak seketika mati begitu ia selesai menuliskan karyanya. Ia justru bangkit dari remah-remah abu serupa burung phoenix untuk memberikan semacam ‘catharsis’ yaitu semacam pencerahan bagi para pembaca. Bahwa dari segala bentuk kemuakan kita atas wajah kemanusiaan ini, atas segenap realitas dari dunia yang centang-perentang yang tercermin di dalam novel ini sesungguhnya kita harus kembali melihatnya ke dalam diri sendiri. Dan betapa melalui novel ini kita dapat melihat wajah kita yang compang-camping. Bahwa novel yang lahir dari ungkapan-ungkapan terdalam yang paling sublim justru akan mewakili kebenaran yang juga universal. Kejujuran serupa itulah yang merupakan kekuatan utamanya dan keakrabannya di dalam menggali segenap aspek kemanusiaan kita adalah merupakan unsur-unsur pembentuk cerita yang membuat novel ini berhasil.
Dalam banyak peristiwa di dalam novel ini kita dapat melihat bahwa Budi Darma memang seolah tidak berjarak. Ia mengajak kita melebur dalam kegelisahan jiwa yang mendera kehidupan para tokohnya. Seolah kita dapat mengidentifikasikan persoalan-persoalan mereka ke dalam diri kita sendiri. Hasrat-hasrat besar yang menggelayuti benak Fanton Drummond untuk menguasai Olenka, ketidak berdayaan Wayne Danton suami Olenka mengatasi kegagalannya sebagai seorang penulis dan juga sebagai suami serta pandangan-pandangan hidup para tokohnya dalam menyiasati kehidupan dan bahkan sisi-sisi misterius dalam diri Olenka yang demikian memikat telah berhasil merampok begitu banyak perhatian kita. Ketiadaan jarak itulah yang justru membuat kita sebagai pembaca merasa terlibat.
Bagi saya ini bukan sebuah kekurangan, ini justru merupakan kelebihan penting dari karya ini. Karena semenjak awal mula ia tampil dengan jujur dan apa adanya, ia tidak merumitkan masalah atau berusaha mendramatisasi peristiwa, ia mengalir seperti aliran sungai yang bening dan jernih dan dengan senang hati kita akan mencelupkan kaki dan tangan kita dan bahkan mencuci wajah kita di dalam aliran sungai itu. Namun ia tidak mengajak kita untuk menjadi seorang Narcissus, justru sebaliknya ia mengajak kita untuk berkaca betapa compang-campingnya wajah kita yang sesungguhnya. Seperti yang penulisnya katakan sendiri bahwa novel ini adalah merupakan pandangan dari orang-orang yang tidak malu mengakui siapa diri mereka yang sebenarnya.
Karena itu Budi Darma dengan cara yang tak tanggung-tanggung berusaha membongkar dan melucuti topeng-topeng yang selama ini menutupi wajah kemanusiaan itu sendiri, bahwa tokoh-tokoh di dalam novel ini bukanlah sejenis pahlawan, bukan orang-orang hebat yang pantas disanjung-sanjung atau bahkan juga tidak untuk diteladani melainkan justru merupakan potret realistis dari wajah orang-orang yang kalah yang terhimpit oleh serangkaian beban dunia yang sedemikian sempit dan juga terbatas. Tokoh-tokoh Budi Darma adalah orang-orang yang tidak merasa perlu berpura-pura dan bersikap tanpa tedeng aling-aling. Justru disinilah saya melihat pesona Olenka yang sesungguhnya, bahwa Budi Darma tidak sedang meramu sebuah cerita sebagaimana yang diinginkan oleh khalayak umum. Ia tidak sedang mengungkapkan gagasan atau pikiran yang muluk-muluk, atau sejenis moralitas semu melainkan ia hanya berusaha menampilkan sebuah potret keseharian yang bahkan dapat kita temukan di mana pun di dalam kehidupan kita sehari-hari. Tokoh-tokoh “Olenka” adalah orang-orang kebanyakan yang dapat kita temukan di pasar, di mall, di kantor dan bahkan di rumah kita sendiri karena ia adalah potret dari keseharian kita.
Harus kita akui bahwa demikianlah wajah kita yang sesungguhnya, penuh luka, hina-dina, dan sekaligus anggun dan agung. Namun justru dengan segenap kejujuran serupa inilah “Olenka” mampu meraih tataran sebagai novel yang monumental. Betapapun tak ada penilaian yang lebih baik yang dapat saya berikan untuk Budi Darma atas karyanya yang satu ini selain bahwa ia telah mencapai tataran sebuah ‘Opus Magnum.’ Bahwa perasaan keterlibatan tidak serta merta membuat tokoh-tokoh di dalam cerita itu mati. Budi Darma justru telah menunjukkan sebuah pendekatan gaya penulisan yang mau tak mau harus kita akui sebagai sebuah terobosan literer penting di dalam kazanah kesusasteraan kita. Dan dalam banyak segi novel ini begitu inspiratif, begitu mengundang dan memancing hasrat untuk terus-menerus menggali dan menggali ke dalam rangkaian ceritanya, ke dalam strukturnya, dalam gaya bahasanya yang unik dan juga cara penulisannya yang sepenuhnya memikat.

titon @ Thursday, June 14, 2007

budi darma - posting 2:
B. MITOS DI SEPUTAR PROSES kreatif BUDI DARMA

1. rangkaian Proses berpikir, mempertanyakan dan Obsesi

Di dalam “Harmonium”, Budi Darma membuat sebuah pernyataan bahwa ia menulis karena ia berpikir dan banyak mempertanyakan berbagai hal. Sepintas lalu pernyataan itu dapat kita telusuri asal-muasalnya dari rancangan pemikiran Rene Descartes sang filsuf pendiri filsafat modern yang sekaligus pula adalah pencetus gagasan ‘cogito ergo sum’ yang terjemahan harafiahnya adalah ‘Aku berpikir maka aku ada’. Dalam kasus Budi Darma hal tersebut bisa jadi adalah merupakan titik tolak terpenting dari keseluruhan proses kreatifnya, sebagaimana tampak dalam pengantar eseinya di dalam kumpulan “Harmonium” tersebut dimana Budi Darma menyatakan bahwa proses berpikir dan mempertanyakan adalah merupakan hakikat dari keberadaan sebuah obsesi. Dan ia pun memiliki anggapan bahwa semua penulis pada hakikatnya adalah sama karena terlahir oleh sebuah dorongan obsesi. Namun apakah dorongan obsesi itu kemudian dapat diidentikkan dengan proses berpikir sayangnya tidak sempat pula ia paparkan lebih jauh.
Budi Darma selanjutnya menyatakan bahwa tak ada perbedaan mendasar di antara kalangan penulis, apakah ia itu seorang eseis, penyair, ataupun pengarang karena pada prinsipnya mereka menulis karena mereka berpikir dan mempertanyakan sesuatu. Dalam esei tersebut Budi Darma menguraikan bahwa begitu seseorang terlibat di dalam sebuah obsesi maka dia akan mengadakan dialog dengan dirinya sendiri dan dengan dialog itu ia akan berusaha untuk menemukan jawaban. Dan di dalam kajiannya mengenai masalah itu Budi Darma nampaknya telah sampai pula pada sebuah konklusi bahwa dialog dengan diri sendiri pada dasarnya tidak akan pernah mampu memberikan jawaban yang bersifat final dan oleh karenanya mereka akan berproses secara terus-menerus. Keadaan serupa ini oleh Budi Darma dianalogikan serupa keadaaan yang harus dijalani oleh Sisifus yang dikutuk oleh para dewa untuk menggelindingkan batu hingga ke puncak gunung sebelum kemudian melihat batu itu kembali meluncur ke arah lembah. Mitos ini pulalah yang kemudian berkembang menjadi sebuah anggapan umum bahwa seorang pengarang ataupun juga para pekerja sastra lainnya adalah merupakan perwujudan dari orang-orang yang kena kutuk. Tuntutan jiwa yang senantiasa membayangi kehidupan mereka seringkali telah menjelma menjadi sebuah obsesi, yaitu untuk terus-menerus menggali ke dalam segenap rekoleksi pemikiran, pengalaman, dan juga perenungan demi untuk menemukan jawaban atas segenap bentuk kegelisahan yang terlanjur mengelayuti kehidupan mereka.
Sangatlah menarik untuk mengetahui bahwa karya-karya kreatif Budi Darma terlahir dari gagasan ataupun proses serupa itu, bahwa ia ada karena ia berpikir dan mempertanyakan sesuatu. Dengan kata lain gagasan-gagasan kreatifnya lahir melalui sebuah rangkaian pemikiran hingga kemudian berwujud menjadi sebuah obsesi. Semula saya memang tak seberapa yakin apakah keberadaan obsesi ini yang kemudian mendesak pemikiran di dalam dirinya untuk melahirkan karya-karya kreatif atau justru sebaliknya. Namun kemudian saya melihat bahwa proses berpikir dan mempertanyakan itu ternyata lebih banyak berlaku untuk karya-karya Budi Darma yang berbentuk non fiksi daripada karya-karya fiksinya, sebagaimana tampak di dalam novelnya “Olenka” dan juga kumpulan cerita pendek “Orang-Orang Bloomington”. Gagasan ini menemukan relevansinya yang sepintas lalu justru terlihat seperti sebuah kontradiksi dan mendorong diri saya untuk berusaha mengkajinya lebih jauh.
Dalam asal-usul Olenka, Budi Darma tidak menyangkal bahwa novel tersebut terlahir dari serangkaian peristiwa kebetulan yang antara lain dipicu oleh peristiwa pertemuannya yang tidak sengaja dengan seorang wanita di dalam sebuah lift. Bagi Budi Darma kebetulan itu tidak akan memiliki arti apa-apa sekiranya tidak berkaitan dengan kebetulan-kebetulan lainnya yang seolah datang beruntun. Kemudian ia menjelaskan pula bahwa betapa nama Olenka itu terlahir dari kilasan-kilasan ingatan dari masa lampau yang berhubungan dengan sebuah cerpen hasil buah karya Anton P. Chekov yang ia baca pada waktu ia masih SMP kelas III di Salatiga. Kilasan-kilasan ingatan itulah yang tanpa sengaja telah menggiring Budi Darma untuk memakai nama Olenka di dalam novelnya, bukan saja karena nama itu terlanjur berkelebat begitu saja masuk ke dalam benaknya melainkan tanpa ia sadari ternyata nama tokoh di dalam cerpen “The Darling” karya Chekov itu adalah Olga Semyonovna yang di dalam versi aslinya dikenal dengan nama Olenka. Peristiwa kebetulan itu memang baru ia sadari kemudian dan secara tidak langsung telah mempertautkan dirinya dengan takdir tokoh utama dalam novelnya sendiri.
Kesadaran bahwa ada serangkaian kebetulan serupa itu barangkali adalah merupakan pemicu dari sebuah kegairahan menulis. Kenyataan yang kemudian terjadi bahwa setelah pertemuannya dengan seorang wanita di dalam lift itu Budi Darma langsung menggeblas masuk ke kamar apartemennya dan mulai menulis dengan semangat menggebu-gebu. Pada saat itu, ia sempat pula berpikir akan menyelesaikan sebuah cerpen namun karena ia merasakan serbuan desakan yang sangat hebat untuk terus menulis akhirnya ia bahkan telah berhasil menyelesaikan sebuah novel. Demikianlah proses novel “Olenka” itu terlahir hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu. Penjelasan atas asal-usul Olenka inilah yang kemudian memancing sedikit keragu-raguan di dalam diri saya bahwa apakah benar karya-karya kreatif Budi Darma memang terlahir dari sebuah proses pemikiran atau ia menulis karena tengah mempertanyakan sesuatu?
Sejauh itu pula saya belum menemukan hubungan yang jelas dari rangkaian kebetulan itu dengan rangkaian proses berpikir yang mungkin memang mendasari kelahiran Olenka, betapapun novel Budi Darma tersebut adalah merupakan sebuah karya yang sangatlah fenomenal. Dalam asal-usul Olenka, Budi Darma memang tidak secara gamblang menggambarkan bagaimana korelasi dari kedua proses itu berjalan bersamaan pada saat ia membidani proses kelahirannya. Saya justru melihat bahwa kelahiran novel ini bukan melalui serangkaian proses berpikir dalam artian karena ia memang telah melalui sebuah proses perenungan atau pengendapan di dalam diri pengarangnya, yaitu dari suatu kesadaran di mana bangunan cerita novel tersebut disusun secara sengaja berdasar sebuah plot atau kaidah penulisan tertentu. Satu hal yang menjadi argumen saya adalah karena Budi Darma sendiri pun semenjak awalnya tidak pernah merasa yakin akan menulis sebuah novel. Ia menulis novel tersebut justru karena dorongan hasrat menulis yang sangat kuat sehingga kata-katanya seakan ngocor begitu saja tanpa dapat ia kendalikan. Dorongan gelombang spontanitas yang sangat luar biasa itulah yang kemudian memang kita rasakan manakala kita membaca Olenka. Spontanitas yang saya rasa tidak mungkin diatur-atur berdasar suatu proses analisa atau logika tertentu, karena alur cerita yang mengalir terasa demikian lancar dan bahkan demikian deras jelas telah menafikan adanya rekayasa pemikiran yang cenderung bersifat logis dan analitis. Dengan kata lain Olenka sesungguhnya lahir karena sang penulis lebih banyak mengikuti naluri atau intuisinya daripada mengekor kepada percikan pemikiran yang mungkin saat itu mengalir di dalam benaknya.
Di sisi lain mungkin dapat kita peroleh sebuah penjelasan yang lebih baik yaitu apabila dorongan obsesi ini dapat diartikan sebagai lentik api pemikiran yang justru timbul lebih dulu dan kemudian merangsang lahirnya gagasan-gagasan yang mendorong lahirnya sebuah karya. Namun dengan demikian kita tidak dapat dengan serta merta mengidentikkan obsesi tersebut sebagai kontinuitas dari sebuah proses berpikir. Obsesi hanya dapat dilihat sebagai sebab dan bukan sebagai proses berpikir itu sendiri. “Olenka” sebagai sebuah novel bagaimanapun dapat kita lihat dari sudut pandang ini. Bahwa dalam sebuah kurun waktu tertentu ia mungkin saja telah mengendap di dalam pikiran sang penulis. Apakah itu dalam bentuk potongan-potongan peristiwa atau mungkin juga berupa kilasan-kilasan pemikiran yang masih belum menemukan bentuknya secara utuh. Dari rangkaian peristiwa serta kilasan pemikiran itulah yang barangkali kemudian muncul menjadi sebuah obsesi di dalam diri sang penulisnya.
Ketidakyakinan saya atas latar pemikiran sesuai penuturan Budi Darma sebagai sebuah proses dan obsesi sebagai pemicu barangkali masih dapat diperdebatkan lebih lanjut, akan tetapi yang jelas “Olenka” serta sebagian besar cerita pendek dalam kumpulan “Orang-Orang Blomington” tidak sepenuhnya lahir melalui pengendapan pemikiran yang intensif namun justru berangkat dari letupan perasaan yang cenderung spontan sifatnya yang mampu membuat sang penulis seolah berada dalam keadaan terbius. Ada semacam dorongan yang kuat yang lebih menyerupai terjadinya proses penulisan otomatis yang nyaris tanpa perencanaan. Dalam “Olenka” dan juga “Orang-orang Bloomington” saya justru melihat bahwa yang terjadi adalah semacam proses menelisik, memilah, dan mengolah pengalaman fisik dan juga batin dalam diri pengarang untuk kemudian dicairkan ke dalam bentuk sebuah tulisan. Bahwa rangkaian peristiwa yang saling berkelit-kelindan di dalam ingatan dan benak pengarang menemukan katup pelepasannya di dalam wujud karya kreatif, baik itu dalam bentuk novel atau mungkin juga cerpen.
Dengan demikian yang terjadi bukanlah sebuah rangkaian perenungan yang mendalam atau melalui serangkaian proses berpikir yang terstruktur secara analitis, karena semua bahan yang mengendap sebagai hasil rekoleksi pengalaman batin yang telah terkumpul sekian lamanya seolah terangkat begitu saja ke permukaaan tanpa melalui sebuah proses penyaringan kesadaran yang terkontrol. Segenap kata, bahasa, alur jalan cerita, karakter tokoh, hubungan-hubungan antar tokoh, perwatakan dan bahkan juga konflik cerita seakan keluar begitu saja seperti muntahan yang hampir-hampir tanpa di sadari langsung oleh penuturnya dan hasilnya tentu saja adalah sebuah karya yang spontan dan sekaligus jujur. Namun daya dorong kreatif serupa ini bukannya tanpa resiko karena endapan perasaan yang demikian sublim seringkali menentukan alur dan jalan ceritanya sendiri. Dalam kasus Olenka ia menjadi sebuah karya yang sangat berhasil karena sang penulis seolah sama sekali tidak menyisakan jarak, ia terasa demikian akrab, demikian hidup. Dan sang peramu dalam hal ini sang penulis seolah larut di dalam keseluruhan proses itu. Realitasnya menjadi berbeda sepenuhnya manakala jarak itu menjadi kabur, manakala sang peramu telah kehilangan orientasi dan pegangan atas fakta-fakta yang telah mengendap di dalam dirinya sehingga hasilnya bisa berarti sebuah kegagapan dalam bertutur seperti yang kemudian terjadi di dalam novel Budi Darma berikutnya yang berjudul Ny. Talis, kisah tentang Madras.

titon @ Thursday, June 14, 2007