Monday, March 01, 2004

cerpen "MALAM KIAN KELAM"

APRESIASI oleh Agustinus 'Onoy' Wahyono:

Cerpen ini mengisahkan satu (saya bingung menyebut: seorang, sebuah,
suatu, atau apa) malaikat pencabut nyawa yang sedang menunaikan tugas
utama di sebuah bangsal rumah sakit. Kali ini nyawa yang akan
dicabutnya adalah milik seorang lelaki sekarat dari kelas ekonomi
miskin.

Saya berani menuduh bahwa tokoh "aku" adalah "malaikat pencabut
nyawa", tentu saja dengan bukti-bukti otentik (waduh!) yang saya
temukan pada kasus ini. Pertama, "membawa arwahnya (arwah milik
lelaki sekarat itu – Agts.) pergi", dan, kedua, "pekerjaan ini telah
aku jalani berjuta-juta kali".

Sejujurnya saya ungkapkan, bahwa cerpen ini sangat menarik dalam
penggambaran suasananya melalui detail benda-bendanya. Kipas angin,
sarang laba-laba, dinding abu-abu kusam, bercak-bercak merah, noda-
noda kuning, dan lain-lain. Setting lokasi dan suasana ditampilkan
oleh pengarang ini membuat saya bisa leluasa berimajinasi. Pengarang
sanggup menampilkan (showing) keadaan lingkungan bangsal rumah sakit
yang sesuai dengan pasien yang berasal dari lingkungan serupa,
kondisi lelaki yang sekarat dan lain-lain.

Sungguh, saya sangat salut pada hasil pengamatan pengarang ini.
Diantara 24 cerpen yang saya apresiasikan, hanya cerpen ini yang
mampu menggambarkan setting benda, lingkungan, dan situasi secara
detail. Keseriusan pengarang dalam mengoptimalkan suasana, perabotan
dan ekspresi / manifestasi tokoh-tokohnya memang patut saya acungi
jempol.

Akan tetapi, maaf, ada beberapa hal yang mengganjal dalam tempurung
kepala saya setelah saya membaca cerpen ini secara serius dan
terkagum-kagum. Apa sajakah itu?

Begini, Sidang pembaca yang terhormat.
Pertama, saya menemukan suatu kondisi ganjil pada perkenalan cerpen
ini. Di situ pengarangnya menulis, "Kipas angin tergantung lesu di
langit-langit, terperangkap sarang
laba-laba berputar lambat jelmakan bayangan muram merayapi dinding
abu-abu kusam bangsal rumah sakit itu". Ada apa?

Bayangkan saja: sebuah kipas angin terperangkap sarang laba-laba,
tetapi kipas angin itu masih berputar meski lambat. Ya kasihan laba-
labanya dong! Sia-sia saja hewan itu membangun rumah di kipas angin
yang berputar. Dan, bagaimana laba-laba itu bisa serius membuat rumah
pada saat kipas angin berputar meski lambat?

Kedua, saya hanya disuguhi kondisi yang tidak boleh saya ketahui tapi
ditampilkan oleh pengarangnya. Oh ya? Saya temukan itu pada paragraf
kedua, "Pikiranku terasa penuh seperti genangan air kemih dalam
tempolong yang minta segera di buang ke kakus, setelah lewat jaga jam
pertama."

Apa sebab-musababnya dan apa faedahnya, saya sama sekali tidak tahu.
Entah mengapa kondisi tersebut dijejalkan pada cerpen ini.

Ketiga, bukan sulap, bukan sihir. Belum juga terjadi, tetapi sudah
menimbulkan efek samping. Apa itu?

Coba baca baik-baik kalimat berikut ini. Aku jadi ingin bercakap
dengan angin, "Maafkan aku kawan.sesungguhnya tak ada yang dapat
kuperbuat untukmu sekarang, karena kau sendiri yang mencuri hidupmu."
Dan lanjutannya, "Kulihat air mata mengalir dari ujung mata lelaki
itu seolah ia mengerti arti gumamku barusan," tulis pengarangnya.

Baru saja "ingin bercakap", pengarang sudah mengatakan "gumamku
barusan". Waduh, kasihan sekali, sehingga menggulirkan air mata yang
semula tertahan di ujung mata lelaki sekarat itu. Di situ pengarang
sudah melakukan intimidasi atau teror psikologis.

Kemudian, keempat dan seterusnya, tentang tema dan penokohannya.

Tema-tema alam roh semacam ini membuat saya harus kembali membuka
kamus bahasa Indonesia yang berkaitan dengan: roh itu apa.

Menurut W.J.S. Poerwadarminta (1986), roh (=ruh) adalah:
1) sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, yang berakal budi
dan berperasaan (spt malaikat, setan, dll);
2) jiwa; badan halus;
3) semangat; terbang

Sekarang, bagaimana relevansinya dengan cerpen ini?

Pertama, pada cerpen ini tokoh "aku" sebagai malaikat pencabut nyawa
tidak sungguh-sungguh menjadi dirinya seutuhnya. Hal ini saya lihat
pada kalimat-kalimat: "semut-semut merah serasa menjalari kaki,
menggerumuti tubuhku sedikit demi sedikit", dan "dingin malam terasa
menggigit lebih dari biasanya, menusuk merembes lewat pori-pori
dinding langsung menembus jubah malamku".

Saya heran. Jika berdasarkan defenisi yang disampaikan oleh
Poerwadarminta bahwa roh itu tidak berbadan jasmani, jelas "rasa
kesemutan" dan "rasa dingin" itu tidak berlaku pada sosok malaikat.

Kedua, saya menemukan kalimat-kalimat yang meragukan. "Aku dapat
membaca pikiran dan kegelisahannya, sekali pun kabur seperti titik-
titik embun dalam cadar kabut,: tulis pengarangnya.

Ya, wajar demikian. Saya sepakat. Artinya, "aku" sebagai "malaikat",
tentu saja mengetahui kejadian-kejadian sebelumnya dan kecemasan
tertentu yang dialami oleh lelaki itu sehingga membuat manusia itu
gelisah. Sebagai malaikat, "aku" pun bisa leluasa beterbangan ke mana-
mana untuk melihat situasi lainnya, baik di bangsal itu maupun latar
belakang kehidupan laki-laki naas itu di rumah kardusnya.

Namun, saya terkejut membaca bagian lain dalam cerpen ini.
Pengarangnya menulis, "Terlihat pandangan pasrah wanita itu, mungkin
saja ia istri lelaki itu dan juga tangan penuh koreng tengadah milik
bocah lelaki yang mungkin saja anaknya".

Lho? Bagaimana bisa "aku" tidak yakin pada tokoh-tokoh lainnya itu
dengan mengatakan "mungkin saja ia istri lelaki itu" dan "bocah
lelaki yang mungkin saja anaknya"?

Waduh, sampeyan jangan begitu dong, Mas. Saya ini terlanjur
membayangkan malaikat maut ciptaan sampeyan itu tampil sebagaimana
lazimnya, kok kenyataannya pada cerpen sampeyan ini malaikat itu
tidak yakin pada tokoh lainnya dengan menyebut kata "mungkin". Coba
tanyakan lagi pada malaikat sampeyan itu apabila sampeyan belum yakin
pada kebenaran yang sampeyan tuliskan ini.

Sedangkan endingnya tidak membuat surprise apa-apa yang dapat
menancapkan kesan kuat pada diri saya tentang cerpen yang berplot
tertutup ini. Hanya sebuah laporan hasil kerja dari satu (seorang,
sebuah atau suatu?) malaikat pencabut nyawa.

Secara keseluruhan, plot cerpen ini tampak runtut dari perkenalan
hingga akhirnya, dan tanpa terjadi suspens-suspens yang mengasyikkan,
semisal terjadi sengketa nyawa dengan setan. Saya mencurigai
pengarangnya terlalu bernafsu mengekploitasi estetika kata, sehingga
ia tidak menyadari kata-kata sudah menyeleweng ke mana-mana dari
logikanya seperti beberapa kejanggalan yang telah saya sampaikan.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Cerpen "Malam Kian Kelam" ini saya beri nilai 6
Ini tindak balas dendam atas kematian orang miskin tersebut!
Bukannya ditolongin kek, malah hak hidupnya dicabut!
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

titon @ Monday, March 01, 2004

> Judul Cerpen: MALAM KIAN KELAM
> Nilai: 7,5
> Pemberi Komentar:Budiani

Kelebihan cerpen ini pada kemampuan penulis yang pandai dan kaya akan kosa
kata dalam menggambarkan suatu keadaan dan ide ceritanya yang agak unik.
Juga kejutan yang cantik di akhir cerita dan imajinasi penulis yang cukup
kreatif, membuat cerita ini bagus dan enak dibaca.

Dari awal cerita yang mengalir , diceritakan tentang tokoh Aku yang menunggu
seseorang yang sakit yang dalam kondisi sekarat, merenggang nyawa. Sampai
disini sebagai pembaca saya belum menyadari siapa tokoh Aku ini sebenarnya .

Sampai di akhir cerita dituliskan dalam kalimat sbb :

"Dan laki-laki di atas pembaringan itu pun barangkali tak akan pernah
menyadari bahwa aku sudah begitu dekat dengan dirinya hanya sebatas
degupan jantung, hingga waktu itu pun tiba, pukul 11 lewat 55 tepat
saatnya bagiku mengucapkan salam, mengecup kening laki-laki itu dan
membawa arwahnya pergi."

Sebuah kejutan yang cantik sekali untuk sebuah akhir cerita.
Ternyata tokoh aku bukan sbg sosok manusia tetapi sebagai sosok malaikat
pencabut
nyawa.

Tapi ada yang menganjal, kalau boleh disebut sbg ganjalan yaitu ternyata
(seorang)malaekat itu bisa kedinginan juga yaa :) juga terlihat agak cuek /
kurang lembut (perasaannya) .
Ataukah sosok malaikat pencabut nyawa selalu identik dengan sosok yang
tegaan ?. Entahlah mungkin hanya penulisnya yang tahu.

titon @ Monday, March 01, 2004