Friday, February 20, 2004

Kelahiran Sebuah Era, Di tengah Mitos Dan Tantangannya
Oleh Titon Rahmawan

Menarik sekali membaca tulisan saudara Asep Sambodja yang dimuat dalam situs ini yang bertajuk ”Orang Tua Sebagai Sisyphus“. Rasa-rasanya kejengkelan saudara Asep dalam tulisan tersebut sangat beralasan, selama ini kita memang telah terkekang oleh berbagai mitos dan berbagai pandangan stereotype yang membelenggu kehidupan kita. Mitos yang membawa keengganan, ketakutan dan kekecewaan. Mitos yang tanpa kita sadari telah mengucilkan diri kita sendiri dari pentas dunia, boleh jadi mitos itu ada bersama kelahiran kita, tumbuh bersama kita dan lambat tapi pasti membelenggu jiwa kita, mitos yang secara tidak langsung telah memasung ide dan pemikiran kreatif. Kita terlanjur menerima saja dominasi dari orangtua yang selama ini berperan sebagai pihak yang memegang otoritas, begitu pula dalam dunia perpuisian di negeri ini di mana otoritas itu tampaknya telah didominasi oleh mereka yang mentahbiskan diri sebagai para penyair papan atas.

Kita hidup dalam hegemoni yang membutuhkan pengakuan identitas padahal sebenarnya identitas adalah soal atribut, sekedar symbol yang kalau kita kaji lebih jauh tidak akan punya arti apa-apa. Dalam konteks kepenyairan ini atribut seorang penyair hanya mempunyai makna bila ada karya-nya yang berbobot, unggul dalam kualitas, sekali pun kualitas sebuah karya bagaimanapun tidak terlepas dari penilaian yang sifatnya kadang sangat subyektif. Subyektif dalam penafsiran dan pemahaman nilai dari karya itu sendiri dilihat secara kontekstual. Saya jadi teringat pada kelahiran musik Rock & Roll yang kemudian menobatkan Elvis Presley menjadi raja dan begitu pula perjalanan karir The Beatles yang menciptakan revolusi dalam industri musik Pop. Bagaimanapun perjalanan mereka tidak terlepas dari kungkungan hegemoni dan mitos yang beredar pada masa itu yang terlanjur mendakwa Rock & Roll dan musik The Beatles adalah sampah. Namun sejarah mencatat dan membuktikan bahwa penilaian subyektif sebuah masa (era) seringkali tidak bisa mewakili era atau masa yang berbeda.

Penilaian terhadap suatu karya seni bagaimanapun bentuknya harus kita kembalikan pada suatu konteks dan realitas yang berlaku pada suatu masa, karena realitas senantiasa berubah begitu pun dengan konteks suatu masalah selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Benarlah anggapan bahwa kita tak bisa semata-mata memandang pada isi (substansi) karena pada masa kini kemasan pun memegang peranan yang sama pentingnya, akan tetapi pandangan ekstrem yang menyatakan bahwa tai yang dikemas dengan bagus akan lebih laku daripada puisi yang dikemas secara asal-asalan sebagaimana dinyatakan oleh presiden penyair Sutardji Calsoum Bachri adalah sebuah ungkapan arogan yang bahkan menyakitkan hati. Kalau Sutardji yang mengaku mantan pemabuk dan kini sedang ngebut di jalan lurus itu mengeluarkan pernyataan sedemikian rupa sudah selayaknya kita mempertanyakan kearifannya, barangkali itu merupakan sebuah pernyataan sinisme semata, tapi begitulah realitas orang tua kita, tak pernah bisa terlepas dari sikap apriori, menuduh, menyalahkan, mencemooh, egois dan tak hentinya mengecam sebuah kenyataan yang sangat stereotype, dan kita sudah kenyang dengan itu semua.

Cybersastra dengan segala keberadaannya sekarang bagaimanapun adalah sebuah statement, pernyataan sikap dari “para penulis puisi” era teknologi informasi ini sebagaimana dulu Sutardji menyampaikan kredo kepenyairannya. Cybersastra adalah sebuah pertanda kelahiran sebuah era baru, perubahan zaman di mana kita orang muda telah mengeksplorasi kemungkinan baru, wadah ekspresi baru, artikulasi baru, wacana baru, yang mutakhir, yang up to date yang tidak semata-mata berpijak pada warisan tradisi. Kalau orang tua tidak bisa menerima itu sebagai sebuah perubahan karena mereka masih tinggal dalam realitas yang lama, mereka masih tenggelam dalam mitos-mitos lama dan memungkiri kenyataan bahwa era mereka sudah surut, telah terbenam dan saatnya matahari baru menyingsing, melahirkan muka-muka baru, semangat baru dan berarti pula munculnya tantangan baru.

Cybersastra adalah pertanda kelahiran sebuah era yang harus dicatat, dan ia telah menjejakkan langkah pertamanya dengan “Graffity Grattitude” adapun tantangan yang sekarang harus dihadapi adalah melepaskan diri dari mitos yang selama ini membelenggunya; mitos Sutardji, mitos Sapardi, mitos Rendra, mitos Putu. Saya acungkan jempol buat Asep Sambodja yang telah berani membunuh mitos Sapardi dalam dirinya dan saatnya pula bagi rekan-rekan yang lain untuk menunjukkan identitas diri sendiri, identitas generasi ini. Kita tak bisa terus menerus memakai orang tua sebagai patron, benar kita harus berterimakasih pada Amir, Rustam, Chairil, Sitor, Rendra, Putu, Sutardji, Sapardi dan para pendahulu lainnya karena mereka telah menunjukkan jalan, sekarang saatnya bagi kita berjalan dengan langkah mantap untuk dapat menemukan jati diri. Itulah tantangan kita hari ini, Hidup Cybersastra. Hidup puisi Indonesia.

Jakarta, 5 juni 2003

Dimuat di http:/www.Cybersastra.net/ 04/07/2003

titon @ Friday, February 20, 2004

Karya Sajak Yang Baik Tidak Membutuhkan Pembelaan
Oleh Titon Rahmawan

Sajak yang baik adalah sajak yang mampu berdialog dengan pembacanya, yaitu sajak yang sanggup meninggalkan kesan di dalam diri kita begitu kita selesai membacanya, apakah itu berupa sebuah pemikiran , perasaan terharu, sedih gembira, atau ungkapan perasaan lainnya. Dengan kata lain sajak sebagai sebuah struktur yang otonom sanggup menciptakan impresi secara langsung kepada pembacanya tanpa memerlukan perantaraan orang lain untuk membantu memberikan penjelasan lebih lanjut.

Sebenarnya tidak diperlukan orang lain untuk meraih pemaknaan atas sebuah sajak, apakah itu bantuan seorang kritikus atau pun juga penyairnya sendiri, karena sajak adalah sebuah teks yang merdeka untuk ditafsirkan karena setiap sajak memiliki dimensi yang begitu kaya. Itulah esensi sebenarnya dari sebuah sajak dimana letak baik dan buruknya semata-mata dapat dipahami dari seluruh tubuh sajak itu sendiri sebagai obyek pembacaan. Bahkan sebuah parafrase tidak dapat diterima sabagai pengganti eksistensi sebuah sajak karena parafrase dibuat semata-mata untuk menyingkap tabir di balik sajak tapi dia bukanlah sajak itu sendiri.

Dalam hal ini pandangan yag menyatakan bahwa penyair mati setelah sebuah sajak selesai ditulis dan kemudian dipublikasikan memperoleh titik temunya. Begitu sajak selesai ditulis dan dirilis ke publik ia telah sah menjadi obyek sebuah penilaian, dengan kata lain si penyair telah merelakan anak kandungnya itu masuk ke dalam dunia apresiasi yang seringkali kejam dan tidak berperasaan. Sebuah realitas yang barangkali tidak disadari oleh mereka yang baru mulai menulis dan ingin menjadi penyair.

Segala pendekatan kritik terhadap sajak yang menghasilkan sebuah penilaian yang positif atau pun negatif harus dilihat sebagai sebuah perspektif pembacaan, dari sekian banyak perspektif yang mungkin, karena itu saya menilai segala bentuk pembelaan oleh seorang penyair atas karyanya yang dipublikasikan perlu dicurigai sebagai bentuk mencari pembenaran diri sendiri dan membuat karya itu semakin jauh dari kebenaran universal. Bagaimanapun apresiasi adalah hak pembaca sepenuhnya dan segala bentuk intrepretasi lewat tulisan kritik boleh dipandang sebagai suatu bentuk opini. Sejauh ini telah berlaku konvensi dikalangan para penulis dimana pun untuk menghindarkan diri mengkritisi karya sendiri untuk menjamin obyektivitas, karena itu saya yakin segala bentuk pembicaraan atas sebuah sajak oleh penyairnya sendiri pasti cenderung menjadi sebuah pembelaan, penyair bisa terpeleset untuk memalsukan realitas karyanya, dan pembaca akan menilai hal itu sebagai sebuah usaha yang sia-sia. Apresiasi sekali lagi adalah hak pembaca sepenuhnya, dan tentu saja buat para penulis yang berkeberatan untuk dikritisi sebaiknya mereka menyimpan karya-karyanya itu dalam laci yang terkunci rapat agar tidak ada orang yang bisa menilai.

Sesungguhnya pula karya yang baik sama sekali tidak membutuhkan pembelaan karena ia mampu secara obyektif menunjukkan kualitasnya, ia mampu memancarkan cahayanya sendiri sekali pun kritik datang bertubi-tubi, ia akan tetap bersinar memancarkan keindahannya karena karya yang baik selalu mengandung kebenaran universal itu, dan siapa yang sanggup membungkam kebenaran?

Akan tetapi kita mesti waspada terhadap kritik, baik saat melancarkan kritik atau pun dalam menerima kritik karena pisau kritik memiliki dua mata, tidak semua kritik dapat diterima sebagai sebuah tinjauan yang bermutu atau memberikan gambaran apresiasi yang tepat, bahkan kritik bisa dipakai pula sebagai ajang untuk menunjukkan rasa suka dan tidak suka yang bisa berujung pada perdebatan tiada putusnya yang justru akan membuat pembaca menjadi muak karenanya.

Barangkali kenyataan di atas terasa berlebihan akan tetapi polemik seputar pertentangan itu bukanlah barang baru dikalangan penulis. Jadi apa yang bisa dipakai sebagai pegangan oleh pembaca adalah mengembalikan pertentangan itu pada esensi dari karya itu sendiri. Pembaca akan memperoleh lentik cahaya kebenaran dari setiap karya yang baik, jadi sesungguhnya seorang penyair yang baik tidak perlu mengkhawatirkan nasib sajak-sajaknya, bila karya-karya itu sungguh bernilai pastilah ia mampu dan sanggup bertahan dari terpaan kritik yang bagaimana pun derasnya dan kritik sebagai sebuah wacana berpikir tetaplah diperlukan untuk mengantarkan pembaca ke depan pintu apresiasi tanpa harus mencampuri keberadaan teks itu sendiri sebagai sebuah struktur yang otonom karena sebuah kritik adalah sebuah karya sastra juga yang memiliki peluang yang sama terbukanya untuk terus diuji dan diuji kembali.

Justru kritik lahir setelah diilhami sebuah karya dan kritik berperan untuk menyodorkan sebuah alternatif pendekatan atas keberadaan sebuah teks, dari sekian banyak alternatif yang mungkin. Diterima atau tidaknya penafsiran itu juga berpulang kepada pembaca karya itu sendiri, kesan apa pun yang muncul oleh sebuah kritik pastilah bukan merupakan sebuah hasil apresiasi yang final, dan pembaca tentu saja memiliki hak penuh untuk menilai dan memperbandingkan tawaran-tawaran itu kembali, demikianlah proses sebuah apresiasi yang wajar atas sebuah sajak mau pun karya sastra lainnya.

Februari 2004.

titon @ Friday, February 20, 2004

Thursday, February 19, 2004

From: "Budhisatwati KUSNI" Date: Mon Feb 16, 2004 5:20 pm
Subject: KRITIK,MENYIKAPI KRITIK DAN DEBAT IDE
Are You a Woman 25-54?
If You lose that first 3-8lbs quickly and then HIT a brick wall,
InstaTrim has a weight Loss Package that is designed to help you
Break through that wall and help you achieve your goals.





CATATAN BUDAYA:

KRITIK, MENYIKAPI KRITIK DAN DEBAT IDE
[Menyambut Himbauan Titon Rahmawan]


Artikel Titon Rahmawan, "Membudayakan Kritik: Bersedia Memberi Bersedia Menerima" yang disiarkan oleh milis koran-sastra@yahoogroups.com [16 Februari 2004] merupakan artikel pendek bernas, sekaligus disertai oleh kerendahan hati dan keterbukaan diri yang menandai perangai seorang pencari. Ciri-ciri ini sebenarnya bukan hanya diperlihatkan oleh Titon Rahmawan [selanjutnya aku sebut dengan Titon] dalam artikel di atas saja tapi telah nampak dalam tulisan-tulisannya yang lain, baik berupa artikel ataupun sanjak. Tentu saja hal begini tidak mengherankan karena kurang-lebih tulisan atau karya, tidak lain dari terjemahan diri penulis atau penciptanya itu sendiri.

Aku garis bawahi sikap ini karena seperti yang dikatakan oleh Titon, terutama di Indonesia, "sebagian besar orang lebih suka menerima pujian daripada kritik, [....] karena kritik seringkali diterima sebagai sikap oposisi, suatu bentuk ketidaksepahaman yang cenderung dipandang dari konotasinya yang negatif". Aku sendiri tidak jarang mendadak-sontak dicaci-maki sebagai "bajingan", "preman pasar", dan lain-lain kata sifat bermakna negatif ketika mengajukan pendapat terhadap karya-karya yang sudah disiarkan. Tentu saja, ulah begini tidak pernah mau aku layani karena samasekali tidak memberikan manfaat, apalagi menambah wawasan dan pengetahuan apapun, kecuali kejengkelan yang tak perlu. Sikap terhadap kritik seperti di atas, kukira tidak berdiri sendiri, tapi berkaitan dengan sistem nilai dominan dalam suatu masyarakat yang merasuki bawah sadar lalu mengental sebagai pola pikir dan sikap mental mayoritas penduduk. Masyarakat paternalistik, otoriter dan militeristik [lebih-lebih di dunia kemiliteran yang tidak bersifat kerakyatan dan pembebasan] menganggap kebenaran adalah hak monopoli pihak atasan [termasuk elite dan yang merasa diri elite seta berpendidikan formal sehingga merasa diri serba tahu dan hebat], baik karena jabatan, posisi atau pun usia. Menggugat dan menyentuh monopoli bertentangan dengan dan bahkan mengancam kepentingan mereka.Dengan anggapan begini maka kritik dipandang sebagai menjatuhkan serta hinaan lalu tanpa menggunakan nalar lagi yang merasa dikritik atau memang dikritik menjadi berang, tersinggung dan mencak-mencak kehilangan akal sehat lantas mengumbar segala cacimaki tak obah laiknya seorang jagoan sejati. Padahal sesungguhnya ulah demikian tidak lain dari varian serta pernyataan hari-hari dari paternalisme, otoritarianisme dan militerisme yang mungkin di mulut yang terkait menyatakan tantangan serta mengaku diri sebagai demokrat. Lain keinginan dan pengakuan, lain pula perbuatan nyata.Sehingga kita menjadi munafik. Ulah tersebut sebenarnya memperlihatkan dan dengan terus-terang polos mengatakan: "Inilah kualitas, taraf dan diriku!". Seperti diketahui oleh umum, Indonesia selama tiga dasawarsa lebih didominasi oleh paternalisme, otoritarianisme, neo-feodal dan militerisme yang bahkan menganggap kritik bukan hanya hinaan tapi sama dengan tindak subversif. Pertanyaan yang erat hubungannya dengan kritik dibunuh. Satu generasi tumbuh dan besar secara fisik di bawah asuhan sistem nilai tersebut. Bertanya, mawas diri, kemampuan mendengarkan, rendah hati dan mencari, menjadi sesuatu yang langka serta asing dari jalan kisah kembara jiwa dan pikiran.Tanpa daya kritik dan budaya kritik, jiwa dan pikiran mandeg seperti hidup asal hidup. Diri kita hanya menjadi alat jinak pemegang monopoli kebenaran. Sistem nilai demikian menyukai jalan pintas yang penuh kekerasan yang menyebabkan bangsa ini sakit keras, termasuk angkatan yang tumbuh membesar secara fisik di bawah asuhannya. Dengan latarbelakang inilah maka seperti yang ditulis oleh Titon:

"......segala bentuk kritik tidak dapat di terima sebagai sebuah bentuk relasi antar personal yang dapat hadir dengan sewajarnya. Benarkah budaya ini yang mendorong kita menjadi alergi terhadap segala bentuk kritik? Sehingga segala bentuk wacana kritik yang diharapkan menjadi sebuah pertukaran pemikiran yang ilmiah dan dewasa justru akhirnya berkembang menjadi sebuah debat kusir untuk mencari pembenaran atas pandangan masing-masing, adalah sebuah kenyataan yang cukup memprihatinkan karena hal demikian sering kita lihat di mana-mana bahkan di antara kalangan paling terpelajar sekali pun".

Sikap Titon ini memperlihatkan bahwa sekalipun ia juga tumbuh diasuh oleh sistem paternalistik, otoritarianisme dan militeristik Orde Baru, tapi Titon bisa atau paling tidak dengan sadar mencoba melepaskan diri dari jeratan sistem nilai, pola pikir dan mentalitas yang mengasuhnya. Titon mau memberi dan menerima kritik. Hanya saja aku ingin membedakan antara dua pengertian yaitu antara yang "terpelajar" dan "yang berpendidikan formal". "Terpelajar" bagiku mengandung pengertian "tahu adat" alias berbudaya, punya sikap ilmiah, mampu mendengar pendapat orang lain dan berani menerima kebenaran orang lain, menghargai orang lain sebagai anak manusia, sedangkan orang-orang yang berkesempatan mendapatkan "pendidikan formal" belum tentu terpelajar.

Orang yang terpelajar bakal paham bagaimana siklus praktek-persepsi-konsepsi-praktek merupakan suatu proses tak terelakkan dalam mencapai ilmu-pengetahuan yang membuatnya memberi tempat penting pada kritik. Orang yang terpelajar juga bisa membedakan jenis-jenis kontradiksi sehingga tahu bagaimana kritik itu disampaikan sesuai dengan sifat kontradiksi tersebut. Kritik yang berlangsung dalam lingkup kontradiksi di kalangan rakyat tentu akan berbeda caranya dari yang berada dalam lingkup kontradiksi antara rakyat dengan lawan-lawannya. Dalam melancarkan kritik inipun, orang yang terpelajar akan tahu mana yang pokok dan tidak pokok, mana yang menentukan dan primer serta mana yangt tidak menentukan serta sekunder. Pendidikan formal tidak otomatis membuat orang itu jadi terpelajar sekalipun benar bahwa pendidikan formal bisa membantu seseorang menjadi terpelajar. Kutipan dari buku ini dan itupun bukanlah petunjuk serta bukti bahwa seseorang itu telah menjadi terpelajar. Apalagi membaca dan membaca itu juga bersifat macam-macam. Membaca adalah suatu kegiatan yang menuntut kemampuan tertentu.Usai membaca sebuah buku, belum berarti kita paham dan menangkap isi serta pesan apa yang kita baca. Karena itu gelar akademi bukanlah jaminan otomatis bahwa seseorang itu telah menjadi terpelajar. Tidak juga menjamin orang pintar, lebih-lebih jika terlepas dari siklus ilmu-pengetahuan di atas.

Orang-orang yang terpelajar ketika menyampaikan pendapat, juga tidak pernah dan tidak bakal berangkat dari anggapan bahwa pendapat-pendapatnya merupakan patokan kebenaran. Apa yang diajukannya tidak lebih dari suatu acuan dan ajakan untuk hadirnya pandangan lain. Hadirnya pandangan lain memberikan syarat bagi lahirnya suatu debat ide. Debat ide sama sekali bukan caci-maki dan eyel-eyelan. Dalam debat ide, yang diadu adalah argumen dan data. Para peserta debat-ide mencoba bersama-sama mencari dan mendekati kebenaran sedekat mungkin. Dengan mencengkam tujuan ini maka peserta debat ini sanggup mengatakan keliru pada yang keliru di pihaknya dan tidak merasa kehilangan muka, serta memberikan tempat layak pada kebenaran yang ada pada teman debatnya. Bertolak dari sifat debat ide seperti di atas, maka para pesertanya menyiapkan diri dengan tumpukan data dan acuan yang padan guna menopang argumen-argumen serta kesimpulan sementaranya. Debat ide sungguh berbeda dari pokrol-bambu ataupun "debat kusir". Juga tidak mempunyai kemiripan dan kedekatan apapun dengan saling cerca, gertak ataupun gertak kepongahan yang hampa. Dengan persiapan dan mutu pengetahuan, data dan keruntunan logika, dari para peserta debat ide demikian maka kita akan menyaksikan suatu debat ide yang bermutu.

Kalau metode debat ini diterapkan dalam dunia sastra-seni, kukira, ia akan banyak membantu peningkatan taraf apresiasi sastra-seni masyarakat. Melalui debat-ide, kritik kontra kritik demikian, baik para peserta debat ide maupun pembaca, pendengar dan pemirsa akan saling belajar, saling memberi dan menerima masukan-masukan baru sehingga setelah usai, semuanya tersenyum gembira karena merasa telah mendapatkan sesuatu yang berharga bernama pemahaman. Kemampuan melakukan debat ide akan paralel dengan tingkat keterpelajaran kita, sekaligus menjadi indikator tingkat yang sudah sudah dicapai dalam berbagai bidang, termasuk sastra-seni.Bermutu tidaknya sebuah karya tidak ditentukan oleh keinginan atau desakan penciptanya, tidak juga bisa didapatkan melalui resolusi, dan akan lebih tidak lagi disesuaikan dengan keinginan subyektif sastrawan-seniman.

Debat ide yang bermutu, kukira pernah diperlihatkan oleh Harian Rakjat dan Harian Merdeka Jakarta sekitar tahun-tahun 1964-65. Debat ini kemudian diterbitkan oleh Harian Rakjat. Adanya contoh tersebut membuktikan bahwa di negeri inipun sesungguhnya kita mampu melakukan debat ide. Apakah "yang sesungguhnya" juga merupakan kenyataan di hari ini? Aku melihat kita diam, saling melihat berharap ada yang membuka suara menjawabnya lebih dahulu. Tapi kediaman dan kebungkaman masih saja menguasai suasana sampai akhirnya kita tertawa bersama-sama. Apakah kita sedang menertawai diri sendiri? Pertanyaan ini pun tenggelam dalam ketawa kita hingga membentur-bentur kota.

Paris, Februari 2004.
--------------------
JJ.KUSNI




From: Agnes
Date: Wed Feb 18, 2004 9:55 am
Subject: Re: [koran-sastra] Membudayakan Kritik: Bersedia Memberi Bersedia Menerima

== Membudayakan kritik?
Boleh-boleh saja.... asal yang benar alias tidak ngawur.
Dan seandainya ada pembelaan dari yang dikritik, anggaplah itu juga sebagai
sebuah kritikan untuk Anda. Jangan lalu tidak mau menerima kritik balik.
Bukan membudayakan itu namanya. Tapi mengekslusifkan namanya.
Alias diktator.==

> Diakui atau tidak sebagian besar orang lebih suka menerima pujian
> daripada kritik, mengapa demikian karena kritik seringkali diterima
> sebagai sikap oposisi,

== Semua orang akan cenderung begitu, tak terkecuali Anda dan saya.
Sudah sifat alami manusia. Jadi wajar dan alami saja jika saya melakukan
pembelaan yang menurut saya kasusnya berat sebelah.
Maksud Anda melempar karya saya ke milis ini mungkin untuk bahan perdebatan,
sayang tidak ada yang berminat memperdebatkannya, maka
jadilah puisi saya sejenis puisi sampah di mata semua orang. Tanpa
pembelaan. Ini yang saya maksud dengan berat sebelah.

Parahnya lagi bait terakhir tulisan saya tidak dapat dicerna dengan baik
oleh si pemberi kritik. Di situ tertulis: "sebuah buku catatan kosong" bukan
"sebuah buku catatan" saja. Jelas artinya berbeda.
Inilah kunci ketidaktelitian pembaca yang menggiring ke arah pemikiran
seolah-olah penyair dengan seenaknya mengalihkan persoalan ke "sebutir
aspirin". Coba simak kembali komentar Anda waktu itu.
(....."dan dalam bait terakhir sajak ini semakin terlihat seberapa bobot
sajak ini di mana si aku lirik ternyata cuma membutuhkan aspirin dan
bukan sebuah catatan karena toh matahari akan terbenam juga. Sebuah
karya yang berawal dari miskinnya gagasan dan berakhir dengan nonsen.
Inilah contoh kitsch yang saya maksud di mana karya ini tidak
mencerminkan kebenaran universal dan penulis gagap dalam menyampaikan
gagasannya bahkan kita tidak menemukan adanya sebuah lentik gagasan
pun di situ....")


Bicara soal pedas.....
Suatu kebetulan jika saya membaca tulisan Anda di atas yang sedianya akan
saya delete karena terlalu panjang dan ruwet. Cuman gak jadi karena saya
lihat ada nama yang sangat-sangat saya kenal tertera di situ :o)
Memang sebagian orang menyarankan agar saya melewatkan saja kritikan2 yg
menurut mereka garing. Namun sesak juga kalau saya tidak mengungkapkan
pemikiran saya yang sebenarnya. Sepertinya saya menulis asal-asalan dan
tanpa arah tujuan. Itu jelas saya terima sebagai kritikan pedas yg ngawur.

Beruntunglah saya tidak lepas kendali sehingga tidak perlu melontarkan
kata-kata seperti yang pernah diterima oleh Bung JJ Kusni (..."Aku sendiri
tidak jarang mendadak-sontak dicaci-maki sebagai 'bajingan', 'preman pasar',
dan lain-lain kata sifat bermakna negatif ")..... hehehe.... Tapi Bung JJ
Kusni, seperti kata Titon, itu sudah risiko yang harus ditanggung dengan
rela hati. Bermain api harus menanggung risiko terbakar. Wajar.
Siapa tahu suatu saat saya juga akan mencoba mengucapkan kata-kata itu? :)

Jadi bukan saya anti kritik. Kebetulan saja yang mendebat Anda adalah saya
sendiri. Andai saya berdiri sebagai orang lain, apakah Anda masih menuduh
saya sebagai yang anti kritik? Tidak bukan? Anda akan menganggap saya
sebagai teman berdebat/berdiskusi yang asyik.==

> suatu bentuk ketidaksepahaman yang cenderung
> dipandang dari konotasinya yang negatif.

== Kritik positif akan ditanggapi secara positif. Kalau kritik negatif
dilancarkan, bukankah kita jadi bertanya-tanya, "Mengapa?" Kalau memang ada
pandangan yang salah dari pembaca tulisan saya, apakah salah jika saya
mengembalikannya ke akar pemikiran saya? Apalagi tulisan tentang Kitsch
tersebut seolah sengaja dibuat sebagai tuntunan pembelajaran untuk
mereka-mereka yang ingin lebih mengerti seluk-beluk sastra. Tentu akan
membingungkan masyarakat luas juga dalam memberikan penilaian. ==

> Dan disadari pula bahwa menulis sebuah telaah kritis
> atas sebuah karya sastra bukannya tanpa resiko, mengingat hakekat
> karya sastra itu sendiri sebagai hasil kreativitas manusia yang
> bersifat imajinatif, intuitif, dan sangat terbuka pada kemungkinan
> penafsiran yang multi dimensi.

== Syukurlah jika hal demikian dapat dipahami. ==

> Kenyataan lain yang mungkin dapat kita kaji adalah adanya sikap `ewuh
> pekewuh' sebagai suatu bentuk peninggalan tradisi, yaitu suatu sikap
> di mana rasa sungkan atau enggan untuk mengedepankan wacana kritik
> sebagai bentuk penyadaran dan koreksi dalam segala aspek kehidupan
> masyarakat. Di mana segala bentuk kritik tidak dapat di terima
> sebagai sebuah bentuk relasi antar personal yang dapat hadir dengan
> sewajarnya. Benarkah budaya ini yang mendorong kita menjadi alergi
> terhadap segala bentuk kritik?

== Tentu tidak (kayak iklan obat cacing) jika didasari dengan pendekatan
"personal-universal" terhadap penyair-pembacanya.
Sehingga didapatkan penafsiran yang benar. Baru deh,
pakai teori-teori penunjang yang pas buat mengkritik. Memang mudah
mengatakan ini jelek, tapi tidak mudah memperbaikinya atau membuat yang
lebih bagus. Setiap tulisan selalu mempunyai kelemahan jika dicari. Ibarat
sebuah gedung yang dibangun dalam waktu 2 tahun, tetap dapat dihancurkan
dalam waktu 2 detik saja. Tolong hargai pembuatnya.==

> sehingga segala bentuk wacana kritik
> yang diharapkan menjadi sebuah pertukaran pemikiran yang ilmiah dan
> dewasa justru akhirnya berkembang menjadi sebuah debat kusir untuk
> mencari pembenaran atas pandangan masing-masing, adalah sebuah
> kenyataan yang cukup memprihatinkan karena hal demikian sering kita
> lihat di mana-mana bahkan di antara kalangan paling terpelajar sekali
> pun. Di mana pemberi kritik dan pihak yang dikritik bersikukuh pada
> persepsi masing-masing yang sepenuhnya hanya mengacu pada
> subyektifitas nilai-nilai yang mereka akui benar.

== Anda ngotot merasa benar, saya ngotot merasa benar juga. Nah, sebenarnya
tidak perlu kan ini semua? Kecuali ada orang yang ingin
karyanya diberi komentar saran dan kritik demi kemajuannya. Justru kritik
kita telah menolong mereka untuk berkarya lebih baik lagi. Jika kritikan
dilancarkan untuk kepentingan sepihak, sama saja dengan membunuh orang lain.
Menginjakkan kaki ke atas kepala orang lain untuk meraih kesuksesan
diri sendiri.==

> Hal yang sama tampaknya menghantui dunia sastra kita, di mana
> penulis, pengarang, penyair barangkali juga lebih suka menerima
> pujian atas karya-karya mereka dan berusaha mati-matian menentang
> segala bentuk kritik baik yang ditulis melalui pendekatan praktis
> pragmatis maupun yang di landasi oleh teori sekali pun.

== Teori jika dipraktekkan di tempat yang salah, akan salah juga. Diagnosa
seorang dokter yang salah bisa membuat jiwa orang lain melayang. Juga
janganlah terlalu sering menjiplak pendapat orang lain, kata si ini dan kata
si itu hanya karena mereka lebih senior. Sebaiknya pakai pikiran dan hati
kita juga untuk mencernanya. Cocok tidak sih? Jangan ditelan langsung.
Syukur-syukur Anda punya "style" sendiri, pendapat sendiri. ==

> kesalahan penafsiran atau pun kegagalan dalam menangkap maksud sebuah
> sajak barangkali masih bisa kita perdebatkan lebih lanjut sebagai
> kegagalan penyairnya atau kegagalan pembacanya?

== Apakah ini suatu bentuk pernyataan kalau Anda alergi kritik juga?
Just kidding.:))
Saran bebas saya... jangan terlalu banyak memikirkan karya orang lain untuk
dicari kelemahannya. Nanti orang menuduh kita, kurang kerjaan :) Kecuali
Anda memperdebatkan karya Juara I lomba puisi nasional. Tapi saya ogah
diajak berdebat lo, mending diajak makan pizza... hehehe...
Lebih baik... cobalah menunjukkan karya sendiri atau orang lain yang bagus.
Supaya kita semua bisa melihat contoh yang bagus. Dan bagaimana seharusnya
sajak itu dibuat. Jangan buang waktu Anda hanya dengan berdebat.
Nanti kesempatan Anda untuk berkarya malah terbengkalai.
Mungkin ada banyak kritikan yang saya sampaikan selama ini, tapi ada banyak
pula masukan yang Anda dapatkan bukan? ==

> Barangkali itulah yang perlu menjadi perhatian kita semua yaitu
> sanggupkah kita memberi kritik dan juga menerima kritik dengan jiwa
> besar, tentu saja kita mengharapkan kritik yang sehat dan konstruktif
> yang menambah wawasan berpikir dan bukanya kritik yang merusak atau
> bahkan membunuh kreatifitas.

== Setuju Mas ! ==

> Jakarta, Februari 2004
> Teriring ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Agnes Veronica,
> Agustinus Wahyono dan Dody Iskandar, atas kesediaannya berbagi
> gagasan dan pemikiran

== Sama-sama ==


tabik dan pamit,
Agnes


titon @ Thursday, February 19, 2004

Wednesday, February 18, 2004

Catatan Dari Potret Yang Bisu
Buat Ariani

Ada pembicaraan tertunda di kamar 212 hotel itu, sikat gigi terlupa sampaikan pertanyaannya, “Adakah engkau baik-baik saja malam ini?” Di luar cuaca panas sekali seperti menyembunyikan pisau dimatanya, dan angin kencang terus-terusan bertiup menunggu berakhirnya TV kabel selesai memutar film biru. Matamu masih menyimpan api menggelegak sepanjang birunya air Swan River, membuat Burswood jadi kartu mati. Perut jadi kehilangan selera, seporsi sirloin steak jadi karet busa yang dingin menambah jarak diantara kita makin jauh saja sepelemparan kartu parkir ke Carousel.

Oleh marahmu lampu-lampu jadi padam, Hay Street, Murray Street hingga Northbridge diliputi kegelapan, gedung-gedung bertambah tua merambah fajar. Angin menitik di situ, menitik di situ satu-satu pada tiket kereta ke Joondalup. Hidungku amis mengucur darah 32°Celcius. Masih sempat kau telepon kekasihmu dan simpan api dalam kantongmu sampai roda merah mobil itu terbakar dan membawa asapnya sampai Sorento, pasir putih, tubuh telanjang, sekaleng coca-cola dingin, pemadam kebakaran, dan puluhan mata penuh tanda tanya yang membungkam mulutmu.

Di beranda rumah Bob aku mencoba membaca matamu lagi dari potongan T-bone, senyum Leslie, dan tangan Adrian yang penuh bulu. angin laut meniup rambut perak Russel mengingatkanku pada Silver Fox. Istrinya selalu membuat semua orang tertawa, kecuali engkau dan kedalamanmu yang perih. Kita masih berjalan di atas pasir putih dan barbeque itu masih menyisakan aromanya di lidah. Bulan tidak menunggu gugurnya daun Eucalyptus dan kursi kayu jadi dingin oleh embun. Seharusnya saat itu kita menyimpan tawa tetapi malam sudah terlanjur larut tenggelam dalam Samudra Hindia dan kembali terjaga oleh kerlip lampu pesawat yang mendarat. Jantung kita jadi roda, jadi asap, dan kota kita menyambutmu dalam diam, diam yang beku sepanjang album penuh potret-potret bisu.

Terkenang 1998


Hasrat Dalam Kaleng Coca-Cola

Mulut sudah jadi tawar dari keinginan menyetubuhi milik sendiri, karena pikiran begitu banyak disibukkan oleh setrika, penggorengan, sikat sepatu, botol susu, kain pel dan sabun cuci. Hari-hari merajam sepi dari pagi ke pagi, sedang badan tak lagi punya tempat buat angan-angan. Hasrat terlampau lelah buat berbagi dari diri yang asing dan sekaleng coca-cola. Pikiran mendengung oleh lemari es yang membeku dan kemarahan gemetar mengusir mimpi dari pompa air yang mengalir lewat pipa-pipa yang kosong, menyumbat penis, menyumbat hidung, menyumbat tenggorokan, menyumbat wastafel dan jamban juga. Hati jadi begitu rapuh, begitu mudah menyakiti diri sendiri. Dan mulut pun semakin tawar oleh hasrat yang kering, angan-angan pergi ke luar rumah mencari kesenangannya sendiri dalam kerlap-kerlip lampu kota, dalam tumpukan tabloid, dalam remang-remang kalutnya pikiran, kemana saja asal bukan rumah yang ingin dilupa dari waktu 30 menit saja. Rumah sudah bukan lagi milik sendiri, segala sesuatu telah berubah jadi milik orang lain dan hasrat jadi tandas dalam kaleng coca-cola berkarat.

2003

Menunggu Restu Semesta Dari Bibir Ibuku
Buat Ibu

Ibu
Tempat haribaan bumi mengeluh
Tutur seribu kisah resah berpeluh
Dalam diam seribu sedih bertelut
Dalam peluk seribu kalut bertaut

Ibu
Engkau yang simpan rahasia hati
Dari waktu tafakur dini hari
Buat keping hati anakmu paling rawan
Setiap tetes doa serasa guyuran hujan
Seperti fajar terbit di balik gumpalan awan

Ibu
Sujud pasrahku dalam ceruk rahimmu
Basah air wudu di keningmu
Rintik sendu ucap doamu
Resap restu renungmu
Aku menunggu
Berkat semesta dari bibirmu

November 2003

Suara Pengemis Dalam Diriku

Seorang pengemis datang menyapaku dengan sungai rembulan dalam matanya mengharap kebijaksanaan 500 perak. Aku menggeleng saat itu melepas berkat rosario pada otot lenganku yang kaku, “Mengapa engkau membenci diriku wahai anak Adam?” Ia bertanya dengan sungai rembulan dalam matanya. Doa terdiam dalam mulutku, tiba-tiba kata-kata jadi bisu sendiri. Suara cicak memengkis diriku, malam jadi begitu asing kedalamannya, waktu jadi begitu arif kedukaannya.

Kupejam mata merenungi jiwa yang kosong mencoba mendengar kembali suara pengemis itu, tapi ia pergi begitu saja dalam desau angin. Doa-doa jadi bisu sendiri dalam malam sungai rembulan yang simpan 500 perak di matanya, dalam suara cicak yang begitu arif dukanya, dalam suara waktu yang begitu asing kedalamannya.

Rembulan menetes jadi hujan menggigilkan hatiku yang kering, rindukan suara pengemis dalam diriku, benarkah aku demikian miskin oleh ketidakhadiran 500 perak dalam diriku? Ataukah pengemis itu yang terlampau kaya dibanding batinku yang papa?

Sepanjang malam itu aku berlari-lari kesetanan mencari doaku yang hilang.

Mei 2003






titon @ Wednesday, February 18, 2004

Perkawinan Hujan
Buat Fidiyantri Cholid

Baru saja kulihat rintik hujan di matamu
setelah penantian yang begitu gaib.
Hujan adalah misteri yang penuh teka-teki
yang tak pernah bisa kita duga kedatangannya
karena ramalan cuaca tak lagi bisa dipercaya.

Baru saja kulihat gerimis hujan di matamu
timbulkan haru yang semerbak harum melati
dan engkau terlihat begitu cantik pagi itu.
Sungguh berbahagialah ia yang menyuntingmu
menjadi karangan bunga abadi di rumah impian.

Aku belum pernah melihat perkawinan hujan seindah ini
Menitik-nitik dari hati yang penuh cinta
akan masa depan yang putih
serta impian akan anak-anak hujan
yang mungil dan lucu
di mana sebuah perkawinan hujan
menggantungkan harapan.

Februari, 2003

Malaikat Kecilku
Buat Fanny dan Dion

Ada 9 ekor kupu-kupu terbang ke arahmu
Mainkan biji saga merah, kuning, biru
Diantara 2 tangan mungilmu
Dan engkau tertawa
Sambil berhitung 1,2,3,…
Lalu kau ambil pensil warna
Menyapu langit dan mega-mega
Dengan warna merah muda.
Kaki kecilmu berlompatan
Tawa ceriamu bertebaran
Disela bunga dan rerumputan
Engkau jadi basah oleh hujan
Embun berkilau senyummu rupawan
Laksana matahari di punggung awan.

Ada 9 ekor kunang-kunang terbang ke arahmu
Kau eja nama mereka satu persatu
Hinggap seekor di rambut ikalmu
Menambah seri paras wajahmu
Lalu kau berikan salam kepada malam
Dalam sebuah doa yang sederhana.
Engkau malaikat kecilku
Lingkarkan tanganmu pada bintang gemintang
Dan kepakkan sayapmu dalam cahaya bulan
Bersama kunang-kunang engkau terbang
Dalam buaian nyanyian surga.
Maka tidurlah malaikat kecilku
Dalam kehangatan pelukan Bunda.

Semarang, 1999


Phoenix

Buat Ajeng istriku terkasih

Saat gerhana tiba Mentari menanggalkan topeng Rembulan, dan ia membilang luka-lukanya, seperti membaca rajah dedaunan dalam kilau embun. Rembulan menangis seolah malu akan masa mudanya, “Jangan…, aku bukan Narcissus yang sedang jatuh cinta pada diri sendiri.” Ia pun berlari dengan tubuh telanjang membawa pedih luka-lukanya.

Kabut gelap membayang dan hujan tercurah dari langit mengguyur tubuh leta. “Siapa engkau? Mengapa kau mengejarku seperti angin, biarkan aku sendiri dengan kehinaanku.” Dan ia pun bersimpuh dalam rangkuman tanah padas, Mentari merengkuh tubuh Rembulan yang menggigil, seolah Rembulan adalah kekasih yang dirindukannya. “Aku Naga dan engkau Phoenix yang akan segera terlahir kembali.”

Api memercik ke atas tubuh mereka dan mereka pun sama-sama terbakar menjadi abu, terbang terbawa angin ke negeri yang jauh, negeri di mana tak ada lagi kepedihan.

Jakarta, September 2003



titon @ Wednesday, February 18, 2004

Monday, February 16, 2004

Behind the scene kekasih-kekasih
tanggapan Rian Arif atas 'Licentia Poetica.'

Menanggapi komentar anda di hari kemarin, baiklah saya akan coba untuk menjelaskan apa maksud saya menuliskan nama-nama perempuan yang terkesan non-fiktif itu.
Kalau kebetulan ada kesamaan nama dengan nama orang lain, melalui komentar singkat ini saya minta maaf kepada nama yang kebetulan sama itu.
Bukan maksud saya untuk melechkan martabat kaum hawa; yang (mungkin) saya lecehkan di sini antara lain:

- rere listriana (jo). re re (berulang-ulang dan berulang ulang) list-triana (list ?try : mencoba memasukkan nama saya dalam daftar blacklistnya). Maksudnya yang menanamkan kebenciannya kepada saya. Saya rela mengorbankan apa saja yang saya miliki untuk membunuh kebencian itu; berhubung pada dasarnya saya miskin dan tak punya apa-apa; maka sebagai gantinya anggota tubuh saya inilah yang mewakili pengorbanan tersebut. Saya tahu mungkin pengorbanan itu sia-sia. Lalu Jo? Jo adalah yo! ?ejaan lama. Maksudnya cobalah untuk membenci; maka saya akan melakukan pengorbanan itu. Bila anda merasa benci karya jelek ini silahkan coba dan sebagai pengorbanannya saya rela karya ini dibuang dari peredarannya. Selagi yang anda benci itu karya bukan orangnya. Tapi kalau yang anda benci adalah saya; terpaksa dengan penuh maaf; saya mengundurkan diri dari ikatan kekeluargaan cybersastra.net dan itulah pengorbanan saya.

- hikmah zuraiah (zuraiah = keadilan dalam bahsa Arab). Saya ingin sekali bercinta dengan keadilan; karena semakin hari semakin genit saja keadilan itu. Keadilan seperti bermain mata dengan para birokrat dan orang-orang kaya. Lalu tidak sedikit di antara mereka yang memperkosa keadilan itu. Ketika mereka mencintai keadilan, keadilan tidak mencintai mereka lalu muncul niat busuk dan terjadilah pemerkosaan itu. Tapi beda halnya dengan saya. Saya hanya ingin bercinta dengan keadilan atas dasar suka-sama-suka. Pernah anda nonton Patroli di Indosiar? Berita yang berasal dari Palembang umumnya tentang narkoba; dan uniknya ?pelaku? tersebut selalu saja dituturkan adalah warga jl Cambai Agung (komplek rumah saya). Padahal tersangka adalah warga komplek tetangga (tidak perlu saya sebutkan komplek yang mana). Lalu muncul trend bahwa Cambai Agung adalah gudang narkoba. Oya, pernah baca Cerpen Sutan Iwan Soekri Munaf yang berjudul ?terjebak?? Lalu ?polisi? (baca: oknum tertentu. Bukan polisi umumnya yang seharusnya menegakkan keadilan) sering raziah di komplek kami tersebut. Cuma uniknya lagi, karena memang tidak benar bahwa Cambai Agung bukan Gudang Narkoba, mereka tidak menemukan apapun. Lalu terjadilah seperti kisah terjebak. Sang Oknum seperti yang saya sebutkan di atas meraziah dengan narkoba yang disiapkannya di saku celana: setiap orang yang diraziahnya ?pasti? mengalami kerugian puluhan juta. Tetapi suatu malam orang yang diraziah adalah saya, dan seperti mangsa-mangsa sebelumnya saya ditodong puluhan juta untuk menghindari proses pengadilan yang akan memvonis 20 tahun penjara (bayangkan!). Sebagai orang yang tidak punya apa-apa, saya memilih proses pengadilan yang akan memenjarakan saya dan yang mungkin akan meliput saya di PATROLI sebagai warga Cambai Agung berikutnya. Tetapi berhubung tidak ditemukan sidik jari saya di narkobanya tersebut, maka saya terbebas sebelum proses pengadilan. Saat itu justru yang ketakutan adalah sang oknum bukan saya. Dan malam itu saya tertolong. Sang oknum lari terbirit-birit. Malam itu tepatnya saya merasa mengalami percintaan dengan keadilan, dan sangat berbeda dengan orang kaya yang memperkosa keadilan tersebut. Itulah yang melatar belakangi puisi saya.

- masayu lydia. (masayu = sebutan untuk pembesar Palembang, lydia = lady = sebutan untuk pembesar secara universal). Orang miskin seperti saya tidak akan pernah bisa dicintai oleh orang kaya seperi masayu ataupun Lydia. Karena harta mereka memandang saya dengan tatapannya yang picing. Singkat kata, pengalaman bathin; saya pernah jatuh cinta dengan orang yang terlalu kaya, ayahnya adalah orang pemda tingkat I, rumahnya mewah bertingkat tiga, dan garasi rumahnya seperti dialer mobil. Tapi cinta sejati itu tak pernah ada; orangkaya akan menikah dengan orang kaya dan orang miskin adalah jodoh orang miskin. Lalu dengan modal baju pinjaman saya coba untuk berteman dengannya karena satpam di rumahnya hanya mampu menyambut tamu yang berpakaian seperti orang kaya.
Saya berhasil menjadi salah satu temannya. Lalu muncul suatu kesempatan bahwa saya harus menjadi kekasihnya. Harapan saya ternyata terkabul. Saya mencintai dia dan dia mencintai saya. Kami berpacaran untuk beberapa hari lamanya karena saya merasa tidak nyaman untuk membohongi diri saya sendiri. Singkat kata saya mengaku kepadanya bahwa saya bukan orang kaya dan saya hanya berpura-pura kaya. Saya ajak dia bertandang ke rumah saya yang gubuk yang sempat jadi ?sasaran pembangunan? sebelum reformasi kemaren, saya perkenalkan orang tua saya yang jompo dan saya tunjukkan kepadanya harta yang paling berharga dalam kehidupan saya: keharmonisan keluarga. Dia tak percaya terhadap pernyataan bahwa saya adalah orang miskin, dia tetap yakin bahwa saya orang kaya. Lalu datang seorang sahabat dengan pakaian sederhana dan motor mewahnya yang biasa saya pinjam untuk sekedar mengapeli sang masayu atau lydia itu. Saya melepas busana bermerak impor itu dan mengembalikan kepada pemiliknya dan sebagai gantinya pakaian kesayangan saya yang masih basah di jemuran bergambar BATMAN entah sudah berapa tahun usianya saya kenakan saat itu juga. Dia tetap tidak percaya dengan semua ini. Dia tetap tak percaya saya miskin dan dia bilang pada saya bahwa saya adalah bunglon. Dia marah besar dan berlari ke mobilnya memacu cepat BMW nya.
Lalu suatu waktu tanpa saya sadari, di sebuah semester pendek, ketika seperti hari rutin biasanya saya beroprasi dengan gitar di dalam bis kota, saya bertemu dengannya. Saya hanya menyanyikan lagu I love My Life (lagu ciptaan 11-11-99-Band; band jalanan tak terkenal asal Palembang, yang isinya kira-kira semiskin apapun hidup yang saya jalani saya tetap menyukai hidup ini) dan lagu dari Jewels entah judulnya apa, my hands are small I know, but they are not yours they are mine ? refrainnya seperti itu. Lalu sebagaimana ritual para pengamen, umunya diakhiri dengan ?penodongan? penumpang dengan menggunakan kantung kecil agar diisi beberapa receh saja untuk sekedar hidup hari itu, saya tidak menodongkan kantong kepadanya, saya hanya mengatakan ?aku memang Bunglon?.
Suatu malam seperti biasa, rutinitas pegawai jalanan pada umunya: menghitung laba, honor harian yang jumlahnya selalu berbeda dari waktu ke waktu, dia (masayu) datang ke rumah saya dan mendapati saya sedang menghitung uang saya. Dia melemparkan beberapa uang ratusan ribu dengan kasar ke arah saya: ?Aku sudah dengar semua dari teman-temanmu. Ini yang kau inginkan dariku kan? Kau memang bunglon? katanya dan dia pergi begitu saja. Itulah yang melatar belakangi sanjak saya itu.

- aries sapta mareta ? kalau anda menganggap nama ini tidak fiktif, apakah nama ini logis? aries: zodiak 20 Maret ? 20 April dan sapta mareta adalah 7 Maret. Jadi kalau nama itu tidak fiktif harusnya aries sapta April, ya kan? Sebenarnya adalah Arief (saya) pada tanggal 7 Maret. Aries adalah nama-perempuanku pengganti nama riana (riana rif) yang sudah lama tidak saya pakai.
Seorang sahabat yang bergelar Nostradamus Cambai Agung meramalkan saya akan mengawali kehidupan dalam penjara dikarenakan seorang wanita (namanya dirahasiakan) pada tanggal 7 Maret, seperti ramalan di hari sebelumnya yang selalu tepat; pernah ia bilang bahwa saya akan jadian dengan ?Masayu Lydia? 2 hari setelah mementaskan naskah ?sayang ada orang lain? (karya Utuy Tatang Sontani, sastrawan eksil yang meninggal di Moskwa). Dan ramalannya itu tepat. Ia juga meramalkan bahwa suatu malam saya akan bertemu polisi; dan itu benar saya mengalaminya seperti yang saya kisahkan pada behind scene-nya Hikmah Zuraiah, juga ramalannya tentang saya akan pergi ke Prancis 2 kali untuk mendalami seni sebelum saya tua, tentang itu belum terbukti, tapi saya tetap percaya ramalannya. Lalu terbayang oleh saya bagaimana rasanya dipenjara oleh seorang wanita. Dan saya tuliskan betapa senangnya saya dipenjara oleh seorang wanita. Lalu pada hari yang dijanjikan tanggal 7 Maret, saya jadian dengan sebut saja putri seorang pejabat di UNIB. Kedua orang tuanya adalah pembesar UNIB. Dan memang ramalan itu benar. Kepribadian saya berubah 180 darjat. Saya diperkenalkannya dengan sisir, dia membelikan saya minyak wangi mahal yang saya tidak begitu suka minyak wangi, dan dia membelikan saya sampo, dia meminta saya untuk berkemeja ketika saya ke kampus, bahkan diapun membotaki kepala saya di sebuah salon bermerek di kota Bengkulu tentu saja dengan uang pribadinya. Saya seperti hidup dalam penjara olehnya ini diatur, itu diatur, tapi saya senang. Seperti yang saya tuturkan betapa bahagianya hidup dalam penjara. Yah, dengannya saya bermain politik saya hanya bershampo, ber parfum, dan berkemeja hanya ketika bertandang ke rumahnya ataupun ketika kencan di SS (rumah makan favorit). Apa yang saya tuliskan tentang kehidupan di penjara Aries Sapta Mareta ternyata benar; hidup di penjara itu menyenangkan.

- Rice Puspa Dewi ? (rice = padi) Dewi Padi yang menebar bunga. Saya terpengaruh oleh dongengya Palembang tentang Dewi Sri, dan terbayang oleh saya bagaimana menjadi kekasih dari Dewi Sri, apalagi ketika ia memberi saya bunga sakura (begitulah khayalan saya saat itu). Lalu khyalan saya itu terbit menjadi pengalaman bathin. Dan lahirlah Sakura.

Lalu yang jadi permasalahan kalau anda begitu yakin dengan nama itu tidak fiktif, berarti saya yakin bahwa saya telah berhasil mengecoh anda; saya menorehkan pemaknaan tertentu yang ujung-ujungnya menyerupai nama perempuan; untuk itulah saya mohon maaf kepada kaum hawa bukan maksud saya untuk melecehkan mereka, saya hanya tidak bermaksud membuat itu terkesan melecehkan perempuan. Lalu ketika anda meminta saya untuk meminta maaf kepada orang-orang yang telah saya lecehkan, saya minta maaf kepada siapa?

Berbicara soal bumbu sex dalam sastra yang tergolong menjijikan bagi anda, anda boleh buka essaynya Mer Magdad yang berjudul: ?ketika seks (lagi-lagi) menjadi bumbu sastra yang pernah dimuat dalam sinar harapan 30 Januari 2003. ternyata bukan hanya kaum lelaki yang mengubrak soal sex dalam sastra perempuan juga, sebagai contoh di sana tertulis : Clara Ng, Djenar Mahesa Ayu, Ayu Utami. Kalau mereka menulis soal sex dan menurut anggapan anda bicara soal sex adalah bicara pelecehan, maka siapakah yang dilecehkan oleh perempuan-perempuan itu? Kamu mereka sendirikah? Ataukah kita sebagai lelaki, coba anda tanya kepada perempuan-perempuan itu, siapa tahu anda bisa menemukan jawabannya.

Sex sebagai bumbu, sebut saja begitu kalau bumbu itu memenuhi makanan akan menjadi nikmat, tetapi anda nilai sendiri aoakah masakan saya ini nikmat? Saya rasa jawabannya relatif karena setiap orang punya lidah yang berbeda. Ambil contoh saja score dari 2 orang perrating adalah 1,5 tahu-tahu datang perating ke-3 yang mengubah kondisi menjadi 2,33 kalau matematika saya tidak salah orang yang ketika membari sanjak itu rating 4 (empat). Tapi hari ini bertambah seorang perating lagi yang memberi (kalau matematika saya ngga? salah) 1 (satu) Bintang, hingga menjadi 2 Bintang saja dan orang itu bukan saya, bukan anda saya yakin, orangitu adalah orang yang lidahnya sesuai dengan masakan saya dan yang satu lagi lidahnya sesuai dengan lidah saudara dalam hal selera.

Februari s/d bulan entah 2003, yang saya ingat inilah bulan di mana begitu banyak naskah yang fornografis di muat di cybersastra (salah satu yang sayaingat adalah kalau tidak salah yang menggunakan nama SN Mayasari), tapi menurut saya itu adalah seni bukan forno, makanya dimuat. Kalu menurut anda apa yang saya tulis tentang kekasih-kekasih adaalah tidak layak, maka dengan senang hati secara tulus saya meminta anda dan rekan-rekan anda untuk merekomendasikan kepada redaksi agar karya saya itu di hilangkan dari peredarannya. Terima kasih.

Sebut saja pernyataan saya ini gila; tetapi sesungguhnya hanyalah orang gila yang mampu berlaku jujur. Dan sampaikan salamku dan maafku kepada anda-anda yang tergabung dalam forum diskusi dan anda-anda yang merasa umah anda telah saya kotori. Bila ada waktu mail ajah ke aku (blackapril@hackermail.com)

Noviembre, 1st 2003, Bengkulu kota Ketupat.

Kepada nama-nama sastrawan yang tertulis di dalam komentar ini saya minta maaf, bukan maksud saya untuk melibatkan kalian.


titon @ Monday, February 16, 2004

Membudayakan Kritik: Bersedia Memberi Bersedia Menerima
Oleh Titon Rahmawan

Diakui atau tidak sebagian besar orang lebih suka menerima pujian daripada kritik, mengapa demikian karena kritik seringkali diterima sebagai sikap oposisi, suatu bentuk ketidaksepahaman yang cenderung dipandang dari konotasinya yang negatif. Demikian pula dalam dunia sastra kita di mana setelah era HB. Jassin, MS. Hutagalung, Subagyo Sastro Wardoyo, Goenawan Mohamad dan kemudian Korie Layun Rampan semakin sulit saja bagi kita menemukan tulisan kritik yang serius dan berbobot. Memang telah di sadari di antara kalangan penulis bahwa dalam perkembangan sastra kita sebuah kritik selalu memiliki dimensi cakupan yang luas terutama dalam implikasinya terhadap karya yang diperdebatkan. Dan disadari pula bahwa menulis sebuah telaah kritis atas sebuah karya sastra bukannya tanpa resiko, mengingat hakekat karya sastra itu sendiri sebagai hasil kreativitas manusia yang bersifat imajinatif, intuitif, dan sangat terbuka pada kemungkinan penafsiran yang multi dimensi.

Adalah suatu kenyataan yang sangat ironis di mana kita melihat tingkat produktifitas berkarya semakin terus meningkat sementara tulisan-tulisan kritik semakin sulit kita temukan, padahal telah sama-sama kita ketahui berapa banyak mahasiswa sastra yang setiap harinya diwajibkan untuk membuat telaah ilmiah dalam bentuk esai, baik berupa kritik sastra, maupun artikel populer dan di sisi lain tidak pernah diwajibkan untuk menulis karya sastra. Apakah ini sebuah pertanda masih rendahnya kesadaran kita untuk bersikap kritis, di mana kalangan yang secara khusus mendalami bidang yang berkaitan dengan study sastra ini pun tidak bersedia mengkritisi diri sendiri, sehingga layaklah timbul sebuah pertanyaan: apa pula yang dapat kita harapkan dari kalangan umum di luar kalangan berpendidikan itu?

Kenyataan lain yang mungkin dapat kita kaji adalah adanya sikap 'ewuh pekewuh' sebagai suatu bentuk peninggalan tradisi, yaitu suatu sikap di mana rasa sungkan atau enggan untuk mengedepankan wacana kritik sebagai bentuk penyadaran dan koreksi dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Di mana segala bentuk kritik tidak dapat di terima sebagai sebuah bentuk relasi antar personal yang dapat hadir dengan sewajarnya. Benarkah budaya ini yang mendorong kita menjadi alergi terhadap segala bentuk kritik? sehingga segala bentuk wacana kritik yang diharapkan menjadi sebuah pertukaran pemikiran yang ilmiah dan dewasa justru akhirnya berkembang menjadi sebuah debat kusir untuk mencari pembenaran atas pandangan masing-masing, adalah sebuah kenyataan yang cukup memprihatinkan karena hal demikian sering kita lihat di mana-mana bahkan di antara kalangan paling terpelajar sekali pun. Di mana pemberi kritik dan pihak yang dikritik bersikukuh pada persepsi masing-masing yang sepenuhnya hanya mengacu pada subyektifitas nilai-nilai yang mereka akui benar.

Hal yang sama tampaknya menghantui dunia sastra kita, di mana penulis, pengarang, penyair barangkali juga lebih suka menerima pujian atas karya-karya mereka dan berusaha mati-matian menentang segala bentuk kritik baik yang ditulis melalui pendekatan praktis pragmatis maupun yang di landasi oleh teori sekali pun. Polemik semacam ini muncul terutama karena sifat karya sastra dan terutama dalam genre sajak yang sangat terbuka pada munculnya berbagai penafsiran, di mana penilaian subyektif selalu di pakai sebagai pembenaran atas keberadaan karya-karya tersebut. Kita tentu masih mengingat dalam perjalanan sastra kita ada beberapa polemik berkaitan dengan kritik ini antara lain yang paling fenomenal tentu saja adalah peristiwa pengadilan puisi yang dimotori oleh Slamet Kirnanto, Darmanto Jt. dan kawan-kawan atas keberadaan Majalah Horison dan eksistensi kepenyairan Sapardi Djoko Damono, Rendra, dan Subagio Sastrowardoyo.

Kita juga pernah membaca kritik pedas Sapardi atas sajak Racmat Djoko Pradopo dalam esainya 'Kritik Puisi Dewasa Ini' yang menilai sajak Rachmat yang berjudul 'Kamilah Itu, Ya Bapa' adalah sajak yang sepenuhnya gagal, saya tampilkan sajak tersebut di sini sebagi contoh:

Telah datang pasukan pembebas
Sangkur-sangkur terhunus bagi penindas
Kamilah itu, ya bapa, kamilah itu

Kami adalah ratapan abadi
Yang akan bangkit dari ratapan

Kamilah itu ya bapa
Para petani, buruh, pegawai dan siapa pun juga
Yang mau bangkit dari ratapan dan tindasan
Menghunus sangkur mengkilat
Buat jantung para pencoleng dan pengkhianat
Yang menjauhkan mimpi dan cita kami
Negeri tenram bahagia kami

Seperti dinyatakan oleh Sapardi, sajak itu gagal sekali pun ia sendiri yakin bahwa pasti banyak orang yang akan menyukai sajak tersebut, bahkan sapardi yakin seorang mahasiswa sastra sekali pun akan menganggap sajak itu sebagai symbol atau metafora keberadaan masyarakat masa itu. Namun sajak itu di nilai gagal karena sang penyair tidak akrab dengan nilai-nilai yang ingin dia ungkapkan, tidak ada penghayatan yang sampai kepada pembaca sebagaimana seperti yang diinginkan oleh penyairnya. Puisi itu gagal karena sebagai sebuah karya sastra ia gagap menyampaikan gagasannya sehingga nilai-nilai yang berusaha diamanatkannya menjadi kabur. Demikanlah sedikit kutipan pandangan Sapardi atas sajak Rachmat Djoko Pradopo. Dan dalam perjalanan sastra kita tentu saja banyak sekali kita menemukan kegagapan nilai dalam puisi dan oleh karenanya banyak puisi yang gagal atau jatuh kepada kitsch.

Namun apabila kita kembali pada hakekat kritik itu, kita masih bisa bertanya apakah si penulis atau si penyair yang dikritisi mampu menyadari kegagalannya, apakah ia bersedia menerima kritikan itu sebagai sebuah realitas berpikir sehingga ia dapat menghasilkan karya yang lebih baik di kemudian hari? Benarlah bahwa sebuah sajak selalu membuka kemungkinan penafsiran, kecuali tentu saja sajak-sajak gelap yang tak bersedia membuka dirinya pada kemungkinan itu, dan barangkali pula kenyataan ini tidak disadari oleh sang penyair, kesalahan penafsiran atau pun kegagalan dalam menangkap maksud sebuah sajak barangkali masih bisa kita perdebatkan lebih lanjut sebagai kegagalan penyairnya ataukah kegagalan pembacanya?

Kegagalan itu pasti tidak terlepas dari keberadaan sajak itu sendiri sebagai sebuah struktur yang otonom, manakala ia hanya tampil sebagai sebuah arsitektur kata yang manipulatif, sebagai sebuah gagasan yang bias atau bahkan kabur, terbungkus terlampau dalam oleh pemikiran-pemikiran abstrak penulisnya sehingga justru tampil sebagai sebuah karya yang gelap. Begitupula dengan karya-karya yang bertele-tele dan berlebihan dalam ungkapan puitiknya namun tidak mampu mendukung pemaknaan, atau sebaliknya terlampau minim kata-kata sehingga tidak tertebak apa maksudnya adalah merupakan bentuk-bentuk karya yang gagal ini

Bagi pembaca awam yang tidak di bekali dengan seperangkat metode untuk menggali struktur sebuah sajak sehingga dalam menghadapi karya-karya semacam ini tentu saja akan sulit menemukan esensi keindahan di dalam sajak tersebut. Namun bagi sesama penulis, penyair atau kritikus yang memiliki seperangkat alat pendekatan apakah itu berupa dukungan kepekaannya sebagai penulis dan juga seperangkat teori-teori yang bisa ia pergunakan maka sudah seharusnya dapat memperoleh sebuah penilaian yang lebih obyektif.

Banyak landasan teori yang dapat dipakai dalam mendekati sebuah sajak, apakah itu uji struktur, sosiologis, psikologis, filosofis, semiotic, resepsion estetetis, penelusuran intensi penyair, pragmatis dialogism atau pun berbagai teori mutakhir seperti dekonstruksi misalnya bisa dipakai sebagai suatu alat metodologis membedah sebuah karya sastra, dan apa pun hasil akhirnya memang tetap membuka kemungkinan berhasil tidaknya analisis itu karena dalam proses ini sangatlah sulit memperoleh hasil yang final dan tentu saja sangatlah tidak fair bila kita menilai bobot seorang penyair semata-mata dari satu buah karyanya saja. Keberadaan seorang penyair nantinya akan terbukti dari kemampuannya untuk terus berkarya secara konsisten dan tentu saja dari kemampuannya lolos dari setiap ujian kritik atas karya-karyanya sementara tolok ukur sebuah kemajuan dapat dilihat dari seberapa besar perhatian publik atas karya-karya tersebut.

Barangkali itulah yang perlu menjadi perhatian kita semua yaitu sanggupkah kita memberi kritik dan juga menerima kritik dengan jiwa besar, tentu saja kita mengharapkan kritik yang sehat dan konstruktif yang menambah wawasan berpikir dan bukanya kritik yang merusak atau bahkan membunuh kreatifitas.

Jakarta, Februari 2004
Teriring ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Agnes Veronica, Agustinus Wahyono dan Dodi Iskandar, atas kesediaannya berbagi gagasan dan pemikiran



titon @ Monday, February 16, 2004

From: Agnes
Date: Fri Feb 13, 2004 9:29 pm
Subject: Kesalahan Dalam Menafsirkan Sebuah Karya

Salam Mas Titon,

Senang sekali Anda menanggapi tulisan saya.
Pertentangan akan selalu ada dalam karya sastra. Sebagian adalah
kesalahpahaman dalam mengartikan pemikiran seseorang. Maklum, menafsirkan
sebuah puisi adalah menafsirkan sebuah misteri. Kalau tidak, jangan buat
puisi, buat cerpen saja. Sebab di situlah letak keasyikannya mengartikan
sebuah puisi. Asal tidak seruwet karya Nostradamus
Terus terang saya tersanjung, puisi saya dipilih sebagai contoh di milis
ini. Sekaligus bertanya-tanya, 'Mengapa?'. Saya tidak pernah minta pendapat
Anda untuk memberikan kritik dan saran.
Apa karena saya tidak menuliskan biodata saya (tidak selengkap seperti yang
Mas tuliskan) dalam buku itu, tapi lolos seleksi di antara ribuan puisi
lain? Itu sebenarnya, uji kemampuan buat diri saya juga Mas.
Apa orang melihat karya saya atau orang melihat biodata saya.

Cuma orang yang tidak mau menerima pemikiran orang lain itu perlu
dipertanyakan juga, apakah pemikirannya sendiri itu selalu benar adanya?
Kalau pun iya, apakah bukan suatu keegoisan menghakimi karya orang lain?
Kasihan, Mas, andai ulasan ini Anda sampaikan kepada penulis pemula.
Dia akan down mentalnya dan tidak berani menulis lagi.
Tapi Mas tenang saja. Buat saya yang kebetulan punya beberapa tulisan
(cerpen) yang dimuat di beberapa media cetak dengan nama pena lain,
tentu tidak berdampak parah. Toh saya punya pangsa penggemar tersendiri Saya selalu berusaha mengingat kata-kata seorang penyanyi tenar Malaysia
yang juga digemari di Indonesia: 'Tak mati dikeji, tak hidup dipuji.'

Rambut orang boleh hitam semua, namun pemikiran boleh berbeda.
Kebebasan seorang penyair dalam berekspresi juga adalah sastra itu sendiri
menurut saya, selama tidak merusak moral atau merugikan orang lain.
Bagaimana pandai-pandainya aja kita menikmati sesuatu.
Sama dengan cara memasak ayam; ada yang suka digoreng, diberi bumbu rujak,
panggang sama kecap atau yang gak doyan sama sekali dengan alasan tidak suka
sampai gara-gara flu burung.
Apalagi dalam puisi modern puisi bebas
Tidak ada pakem yang bilang metafora sesuatu harus menuruti aturan tertentu.
Asal masih pantas diperbandingkan dan masuk diakal, cukuplah itu.
Orang bisa diumpamakan kodok atau bunga atau tanah. suka-suka, yang
penting saya tidak akan menyamakannya dengan Tuhan.

Kembali ke tulisan saya, sekedar pemikiran saya yang sederhana ini dan
tentunya masih di bawah standar yang ditetapkan oleh Mas Titon (tapi
ternyata puisi saya cukup menarik perhatian Anda sehingga Anda mau
bersusah-payah untuk mengulas maka saya coba mengungkapkan apa yang
sebenarnya ada dalam pemikiran saya yang menurut Anda seolah-olah tidak
menuju pada suatu titik karena pertentangan yang terus-menerus. Parahnya
saya dituduh sebagai yang hanya pandai memainkan kata-kata tak bermakna
lagi untuk kepentingan penulis pribadi lagi (aduh, bahkan saya tidak
menuliskan biodata dibuku. Malahan Mas Titon tuh yang nulis komplit biodata
di situ, termasuk tempat Mas bekerja, nama istri dan kedua anak Mas juga ada
di buku itu)wahwahwah
Mari dikuliti sekali lagi pemikiran dalam puisi saya di bawah ini yang saya
sampaikan dengan gaya awam, karena saya tidak bisa menerangkan dengan
kata-kata seindah pakar-pakar sastra.


'Sebuah Buku Catatan'

Ada sebuah buku catatan
yang menyimpan apa yang kubutuhkan
Kata orang aku harus mencatatnya
sebelum matahari terbenam
sebelum semuanya menghilang

= Seorang wartawan harus menulis berita aktual, sebelum basi dan ditutup
kasusnya. Beberapa orang mengharapkan itu diekspos demi kepentingan orang
banyak. Mumpung juga keadaan masih terang, orang yang kena kasus masih lepas
berkeliaran, kebenaran harus ditegakkan.=

Ada sebuah buku catatan
yang ketika kuisi dengan semua harapan
dengan semua pikiran terbaikku
harus kuhapus begitu selesai kutulis
Sebab katanya lagi,
matahari akan terbenam
bila tulisan itu tidak segera kuhapus

= Ketika wartawan itu sudah siap menuliskan semuanya, ia harus membuangnya
ke tong sampah, karena orang-orang tadi (yang takut akan dampak dari tulisan
itu) dan orang-orang yang lain (yang terkena dampak buruk dari tulisan itu)
meminta untuk tidak diekspos.=

Ada sebuah buku catatan
yang tetap kosong
walau tersentuh dan terbuka suatu ketika
Sebab pemiliknya tidak tahu
Apakah harus terisi atau kosong
Apakah matahari harus tenggelam
atau tetap berada ditempatnya
Apakah orang-orang tidak marah
jika gelap melanda?

= Kebingungan pada si wartawan, membuat ia pusing. Harus ditulis atau tidak
sih sebenernya?
Sebagai pekerja, tentunya harus menuruti aturan atasan untuk tidak
menuliskannya. Juga ketakutan bahwa orang-orang tertentu akan marah
karenanya (bila matahari tenggelam). Sehingga ia membiarkannya kosong saat
itu. =

Sesungguhnya
Aku butuh sebutir aspirin
bukan sebuah buku catatan kosong
Sebab
Matahari akan tetap terbenam juga

= Orang yang pusing mungkin butuh sebutir aspirin untuk menyembuhkannya,
butuh dukungan untuk menguatkannya, butuh keberanian untuk mengungkapkan hal
yang sebenarnya, bukan sebuah buku catatan kosong, bukan membiarkan
kebenaran dibekap. Dengan perkataan lain, buku itu harus tetap terisi.
sebab bagaimana pun juga matahari akan tetap terbenam, bagaimana pun juga
kebusukan akan tetap terungkap, bagaimana pun juga kita kena getahnya.
Mudahnya begini, andai ada kasus korupsi, maka kita diam atau tidak, kita
dan orang lain tetap dirugikan karenanya. Pelaku akan tetap dapat untungnya.
Jadi mau pilih yang mana? Punya persediaan aspirin untuk para penulis? =


Demikian deh Mas Titon.
Maklum bukan penyair besar, jadi cuma itu yang bisa saya tulis.
Dengan segala kekurangan saya.
Terima kasih sudah bersedia menulis ulang puisi saya di milis ini.
Maklum saya kurang aktif di milis maaf, Pak Moderator
Dan saya juga akan memaklumi semua yang setuju dengan pendapat saya di atas
atau yang tidak suka dengan pendapat saya tersebut. Saya tidak akan
berdebat.

Sebagai tanda terima kasih, saya juga ingin mengetengahkan puisi Anda:
'Kupu-kupu di dalam namamu' dalam buku yang sama.
Maaf jika hanya bait yang terakhir:

(oleh: Titon Rahmawan)

Tapi kebusukan namamu akan melekat
di atas dahi, batu nisanmu
tak akan pernah lagi terhapus
oleh guratan pasir sejarah


Ada kejanggalan dalam bait ini kalau mau bicara menyangkut metafora atau
simile atau apa pun namanya. Memang betul sejarah yang sudah terjadi tidak
bisa dihapus. Gurat berarti goresan yang dalam. Biasanya untuk dikenang
supaya tidak terlupakan. Tetapi mengapa Anda membuatnya di atas pasir?
Yang gampang terhapus dan kerap hilang tertiup angin?
Semoga bisa menjadi refleksi balik buat Anda.
Selamat berkarya


Salam dari Surabaya,
Agnes
(yang bukan penyair besar)


titon @ Monday, February 16, 2004