Wednesday, July 05, 2006

Proses Belajar Di Dalam Penulisan Karya Sastra Bagian 3
(Peran Keterlibatan Dalam Meningkatkan Wawasan Kepenulisan)

Setelah mulai menulis lalu tahapan apa lagi yang harus kita jalani? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa apa yang telah kita tulis itu adalah sesuatu yang baik dan sekaligus bermanfaat bagi orang lain, terlebih lagi bagi diri kita sendiri? Dalam hal ini kita mulai melangkah pada tahapan berikutnya dari seluruh rangkaian proses kepenulisan ini. Setiap penulis tentu saja harus merambah jalan mereka masing-masing, ada yang tampak begitu lempeng dan lurus-lurus saja, ada pula yang berkelok-kelok dan menemui banyak sekali rintangan. Dan di dalam mengarungi jalan yang seringkali rumit itu sudah seharusnyalah kita menjaga diri agar jangan sampai kehilangan orientasi. Setidaknya kita harus menemukan sebuah peta petunjuk. Namun dimanakah kita dapat menemukan peta semacam itu?

Disinilah tuntutan keterlibatan itu mengambil peranannya; seberapa jauh sesungguhnya kita telah menggeluti segenap aspek dari dunia tulis-menulis ini? Apa yang sudah kita ketahui dan apa yang belum atau tidak kita ketahui? Banyak hal ternyata yang masih harus kita pelajari, dan tidak semuanya dapat begitu saja kita temukan jawabannya di dalam diri kita sendiri. Kita masih harus membaca karya-karya berbobot lebih banyak lagi demi memperkaya wawasan pemikiran kita. Hal ini merupakan pekerjaan rumah kita yang paling utama selain berusaha untuk dapat menulis dengan konsisten selama 2-3 jam sehari. Kita harus meluangkan waktu sekitar 1-2 jam sehari lagi untuk membaca. Wah ternyata berat juga untuk dapat menjadi seorang penulis handal. Memang demikianlah kenyataannya. Tanpa membaca kita tak akan pernah berkembang dan akan sekedar menjadi seorang penulis yang berwawasan dangkal, yang semata-mata berorientasi kepada kedalaman pemikiran diri sendiri. Lagi pula siapa yang mampu mengukur kemampuan kita kalau bukan orang lain? Oleh karena itu kita harus melebarkan wawasan, kita harus bergaul.

Dalam dunia tulis-menulis keberhasilan justru seringkali muncul dari sebuah hasil rekomendasi, dari sebuah kata bertuah yang muncul dari pernyataan dan pengakuan orang lain. Ini sungguh merupakan kenyataan yang berat dan sulit untuk dijalani, karena reputasi kita tidak sepenuhnya lahir dari kemampuan kita sendiri semata-mata. Kemampuan itu baru berarti kalau kita telah diakui oleh orang lain dan khalayak ramai bahwa kita memang layak untuk memanggul beban reputasi tersebut. Dalam aspek keterlibatan ini makna komunitas menjadi sangatlah penting. Dengan siapa anda bergaul seringkali menentukan pula kemana arah angin akan membawa keberhasilan atau kegagalan anda. Siapa yang mengenal anda saat ini? Siapa pula yang telah anda kenal? Mengapa saya harus membaca karya-karya anda sementara banyak karya lain yang mungkin saja lebih berbobot? Nah pertanyaan-pertanyaan serupa itulah yang memaksa kita mau tak mau harus keluar dari dalam tepurung kedangkalan berpikir.

Anda harus menjual diri anda sendiri! demikian kata seorang editor kepada kita dengan nada yang cukup keras, dan kita tiba-tiba pula terperangah mendengar kata-kata yang sepintas berkonotasi agak kasar namun sesungguhnya bermakna dalam itu. Ungkapan itu adalah ungkapan yang jujur dan paling tepat untuk menggambarkan situasi kita sebagai seorang penulis pemula. Siapa anda? Anda mau mulai darimana agar diri anda bisa dikenal? Apakah anda akan berteriak-teriak di jalan agar dikenal orang?

Tentu saja tidak, karena banyak sekali wadah yang lebih tepat di mana kita bisa berteriak dengan suara yang lantang dan kencang sekaligus. Di dalam era kemajuan teknologi yang sedemikian canggih, maka segala hal bisa difasilitasi dengan sangat mudah. Anda bisa mulai mengirim karya-karya anda ke koran, ke majalah, buletin atau juga media-media lainnya. Dan bahkan ada cara yang lebih mudah lagi dan tidak ada tuntutan kompetensi yang rumit sebagaimana dipersyaratkan oleh media-media tersebut, yaitu bila kita bisa membuat semacam blog sebuah situs pribadi yang mewakili keberadaan kita, atau anda bisa mulai aktif terlibat di dalam kegiatan sebuah milis sastra, atau anda mungkin bisa mengirimkan karya-karya anda melalui beberapa situs-situs sastra tertentu.

Peran keterlibatan ini akan menjadi akses bagi anda untuk memantau sejauh mana perkembangan diri anda pribadi, apakah karya-karya anda telah mendapat respon yang layak, apakah karya anda telah berhasil dimuat di sebuah harian atau bahkan mungkin telah menjuarai sebuah even tertentu. Reaksi publik atas baik buruknya karya anda akan muncul dengan sendirinya bila anda melibatkan diri dengan berbagai kegiatan serupa itu. Tanpa anda duga seseorang akan menghubungi anda dan meminta anda untuk mengisi sebuah rubrik di dalam sebuah situs sastra budaya, atau tiba-tiba pula akan ada sebuah email pemberitahuan bahwa karya anda telah memenangkan sebuah sayembara penulisan puisi. Siapa tahu? namun hal itu tak akan pernah terjadi kalau anda tak berusaha melibatkan diri dalam kegiatan promosi dan upaya membangun reputasi serupa itu.

Sesungguhnya lebih banyak lagi hal yang akan anda peroleh dengan terlibat di dalam aktivitas berbagai komunitas, semakin anda bisa mengatur waktu anda diantara kesibukan kerja, membaca, menulis dan berinteraksi dengan orang-orang lain, maka dengan serta-merta pula anda akan merasakan betapa jauh perkembangan yang telah anda alami sejauh ini. Namun sebuah catatan penting yang harus selalu anda ingat adalah bahwa anda harus “terlibat” dalam segenap kegiatan itu dengan sungguh-sungguh. Ada beberapa konsekuensi yang harus anda tanggung bila anda telah menyatakan kesediaan untuk menjadi seorang moderator dalam sebuah kegiatan bedah buku, namun kemudian anda tidak muncul tanpa sebuah pemberitahuan. Hal ini akan mengingkari makna dan tujuan dari keterlibatan itu sendiri. Bahwa reputasi anda mau tak mau harus anda pertaruhkan dalam segenap keterlibatan dan interaksi anda dengan orang-orang lain.
Yang justru sering menjadi hambatan adalah bahwa sebagai penulis pemula kita sering dihinggapi perasaan minder untuk memulai menyapa orang-orang lain yang sudah memiliki nama besar, namun di dalam dunia tulis menulis ini kita justru akan dikejutkan oleh kenyataan bahwa betapa ramahnya mereka-mereka itu -orang-orang yang sudah memiliki reputasi itu- dan hal tersebut berangkat dari pengalaman saya pribadi. Mengapa bisa demikian? Karena mereka sungguh-sungguh telah sadar atas makna dari Create and Share barangkali hal tersebut sudah menjadi bagian yang mendarah daging. Tanpa mau berbagi maka mereka pun tak akan mendapat tempat dikalangan para sastrawan yang lain.
Pelajaran berharga lain yang dapat kita petik dari makna keterlibatan ini adalah betapa kita akan memperoleh banyak sekali pelajaran berharga dari orang-orang lain yang jauh lebih berpengalaman, atau bisa juga dari ajang kritik dan apresiasi, dari ajang temu sastrawan, dari ajang debat serta melempar opini. Kita akan menemukan banyak dinamika di sana dan juga begitu banyak peluang untuk mengembangkan diri, sepanjang tentu saja kita mau untuk terlibat dan melibatkan diri Memang segenap kegiatan tersebut menuntut kita untuk bersedia berkorban waktu dan juga tenaga namun semua itu harus kita lakukan demi membuka kesempatan bagi diri kita sendiri seluas-luasnya.

Selanjutnya saya bisa rekomendasikan disini beberapa ajang dan komunitas satra yang sangat aktif dan sekaligus inspiratif dimana kita bisa melibatkan diri di dalamnya seperti Forum Lingkar Pena yang diasuh Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, Rumah Dunia yang diasuh oleh Gola Gong, Creative Writing Institute yang diasuh oleh Hudan Hidayat serta berbagai situs sastra terkemuka yang dapat anda kunjungi seperti: Puitika.net, Fordisastra.com, Cybersastra.net. Bumimanusia.org dimana situs-situs tersebut menyediakan berbagai rubrik sastra budaya dan juga forum untuk berdisikusi serta berbagi pengetahuan. Bagi yang gemar berkompetisi juga tersedia ajang sayembara dan berbagai lomba kreatif lainnya. Adapun untuk lebih mendekatkan diri kepada komunitas para penulis dan mengenal penulis-penulis senior anda bisa bergabung dengan milis-milis berwibawa berikut ini: Apresiasi Sastra, Sastra Pembebasan, Musyawarah Burung, Bunga Matahari, Koran Sastra, Penyair, Hitam Putih, Aku Baca, Escaeva, Gedong Puisi, Komunitas Ilalang, Panggung, Puitika, Sanggar Sastra Tasik dan masih banyak lagi.

Peran keterlibatan akan membuat kita lebih dikenal, untuk kemudian diterima dan baru diakui menjadi bagian dari komunitas besar para penulis. Dengan terlibat secara aktif tak akan ada lagi halangan bagi kita untuk bersama-sama penulis lain mengembangkan karir kepenulisan ini secara lebih intensif dengan prinsip create and share, karena di dalam berbagai komunitas itu kita tidak hanya dituntut untuk sekedar berkompetisi namun di sisi lain kita juga diminta lebih banyak memberi dan juga berbagi sumbang saran dan juga pemikiran kreatif. Karena apalah arti sebuah pengetahuan kalau ia tidak dibagikan kepada orang-orang lain.

Jakarta, 06 Juli 2006

titon @ Wednesday, July 05, 2006

Proses Belajar Di Dalam Penulisan Karya Sastra Bagian 2
(Peran Keakraban Dalam Pengolahan Materi Tulisan)

Apa yang seringkali menjadi problem kita di dalam menulis? Apa pula yang sesungguhnya menjadikan sebuah tulisan terasa enak dibaca, menarik dan memiliki bobot kualitas yang tinggi? Sepertinya ada semacam resep yang harus kita temukan untuk dapat menjadi seorang penulis yang baik. Bahkan untuk menjadi seorang penulis yang handal dan berbobot kita harus meningkatkan diri kita sendiri untuk menjadi seorang yang benar-benar ahli di dalam bidang yang ingin kita tekuni tersebut. Seperti juga keahlian seorang koki, kalau memasak sekedar memasak mungkin banyak orang yang bisa melakukannya namun untuk menjadi seorang chef di hotel berbintang lima jelas dibutuhkan sebuah keahlian khusus. Dalam konteks inilah maka diperlukan proses belajar itu sebagai sebuah kegiatan yang harus terus-menerus kita jalankan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian diri.

Ada beberapa pertanyaan yang dapat kita jadikan indikasi untuk melihat tingkat keseriusan kita dalam menekuni bidang yang satu ini, Apakah di dalam penulisan karya sastra ini kita hanya ingin sekedar menjadi seorang penggembira atau lebih terdorong lagi untuk menjadi seorang maestro? Apakah menurut anggapan kita merupakan harapan yang terlalu muluk untuk mewujudkan impian-impian serupa itu? Apakah terlampau berlebihan bila sekiranya kita bercita-cita untuk menjadi seorang penyair hebat semacam Chairil Anwar atau novelis kondang setara Budi Darma? Tentu saja hal itu tergantung dari segenap kemauan dan kesadaran kita atas bakat dan seluruh kemampuan yang kita miliki. Ada beberapa tahapan tertentu yang harus kita jalani untuk dapat meraih apa yang kita idam-idamkan itu. Yang pertama-tama dan wajib kita lakukan tentu saja adalah kita harus mulai menulis. Apa yang dapat kita tulis tentu saja ada banyak hal. Disinilah peran keakraban itu mulai mengambil posisinya yang paling menentukan di dalam menentukan langkah keberhasilan kita di masa depan. Apakah kita cukup mengakrabi materi yang hendak kita tulis? karena tak ada satu hal pun yang instan dan datang dengan sendirinya. Kita harus mengenal diri kita sendiri, segenap bakat dan kemampuan, ketrampilan dalam mengolah kata, keahlian membangun narasi atau eksposisi atau mungkin juga menyusun sebuah argumentasi dan persuasi untuk membuat karya kita tersebut sebagai sebuah karya yang meyakinkan. Satu kata kunci yang harus kita pegang teguh adalah kita harus mengakrabi segala hal-hal tersebut.

Tapi dari mana sesungguhnya asal dari keakraban itu? Sutardji Calsoem Bachri sang presiden penyair yang akrab dipanggil dengan sebutan Cals pernah menyatakan bahwa untuk bisa akrab dengan kata sebagai bagian yang paling esensial dari sebuah sajak maka jikalau perlu kita haru menyelam ke dalam batu. Wah bagaimana mungkin? dengan serta-merta pula kita akan membantah. Tentu saja mungkin! jawab sang penyair besar itu sambil tersenyum-senyum. Karena yang ia maksudkan adalah kita harus menyelami kata itu hingga ke dalam intinya yang paling mendasar. Dan demikianlah Sutardji kemudian menemukan bahwa inti kata di dalam sajak terdapat di dalam mantra, maka lahirlah sajak-sajak mantra dari segenap keahliannya itu. Dalam kesempatan lain Sapardi Djoko Damono yang sering dianggap pula sebagai guru besar para penyair pernah pula menyatakan bahwa, Pada mulanya adalah kata karena itu kata memegang peranan yang sangat esensial, tidak sekedar sebagai media utama dalam sebuah karya tulis namun juga dalam media komunikasi. Oleh karena itu --kata-mu harus mampu menyampaikan maksudmu, jangan jadikan kata berhenti sebagai kata yang tidak menyiratkan apa-apa.

Pendekatan-pendekatan penulisan serupa itulah yang harus dari awal mula kita pahami bila kita memang berniat sungguh-sungguh ingin menjadi seorang penulis dan terlebih lagi menjadi seorang penyair. Kita harus mampu menundukkan kata, karena seorang penyair atau penulis adalah orang-orang yang tidak sekedar mempergunakan kata dan bahasa itu sebagai media di dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya melainkan dalam banyak kesempatan mereka bahkan mampu menciptakan sebuah tradisi dalam proses berbahasa itu sendiri.

Satu hal yang jelas adalah bahwa keakraban lahir dari latihan terus-menerus dan kontinyu sifatnya. Keakraban yang lahir sebagai bentuk interaksi alamiah antara sang author dengan media yang dipergunakannya. Seorang rekan yang mengikuti sebuah workshop penulisan novel di Surakarta baru-baru ini menyampaikan bahwa mereka para peserta dituntut untuk menuangkan gagasan secara rutin di atas kertas setidaknya 2-3 jam sehari dan bila memungkinkan jadwal tersebut harus terus ditambah. Sekali lagi tidak ada cara yang instan, untuk menulis sebuah novel kita dituntut untuk dapat menulis dengan cara simultan atau kita akan kehilangan momentum. Dan demikianlah kenyataannya bahwa banyak penulis besar yang menyampaikan bahwa proses kreatif mereka seringkali lahir dengan cara begitu saja, tanpa resep-resep yang rumit, sekedar menulis dan terus menulis. Sehingga seperti yang pernah dialami oleh Budi Darma misalnya yang mampu menuangkan gagasannya bahkan tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu, kata-kata mengalir demikian deras serupa air yang ngocor dari pipa keran yang bocor.

Kegiatan menulis sebagai sebuah aktivitas rutin akan mengasah intuisi kita, sekaligus ketajaman pikiran serta kepekaan kita atas keberadaan dan eksistensi kata. Dalam banyak kasus seperti yang dialami Budi Darma itu banyak penulis handal yang mungkin nggak sempat berfikir lagi apa yang harus ditulis, bagaimana alurnya? bagaimana karakter tokohnya? mengapa harus begini? atau mengapa harus begitu? karena naluri mereka sudah mengarahkan pergerakan tangan untuk menulis dengan sendirinya. Peristiwa serupa ini memang mungkin saja terjadi dan seringpula disebut sebagai penulisan otomatis (automatic writing) seolah sang penulis tengah berada dalam keadaan trance (serupa kesurupan). Bahkan ada sebuah gerakan penulisan serupa itu di luar negeri yang dipelopori oleh Andre Breton.

Keakraban sekali lagi dapat muncul dari banyak aspek seperti intensitas pemakaian dan penggunaan media, bisa pula dari kedalaman pengendapan batin, perenungan yang matang dan intensif atau juga dari kekayaan pengalaman hidup seorang penulis. Keakraban di sisi lain akan melepaskan kita dari kebuntuan gagasan, hal ini seperti tampak dalam novel Surat Cinta Saiful Malook karya Risma Budiyani yang ditulis berdasar sebuah kisah nyata. Keakraban materi yang merupakan bagian dari kekayaan pengalaman pribadi sang penulis adalah merupakan bahan yang tidak akan ada habisnya untuk digali. Namun keberhasilan novel itu masih pula tergantung pada banyak aspek lainnya, yang antara lain adalah keahlian sang penulis dalam menggarap materi-materi yang telah tersedia di dalam dirinya. Selain intensitas pemakaian dan pengalamn hidup, keakraban yang lahir dari pengendapan batin dan perenungan pikiran tak bisa lepas dari kekayaan wawasan yang diperolehnya dari bacaan-bacaan yang bermutu yang memberikan daya dorong inspiratif. Betapapun keakraban adalah satu eleman dari sekian banyak elemen yang harus kita perhatikan dan mengenai elemen-elemen lainnya mungkin akan kita bahas lagi dalam kesempatan yang lain.

Jakarta, 30 Juni 2006

titon @ Wednesday, July 05, 2006

Proses Belajar Di Dalam Penulisan Karya Sastra Bagian I

Banyak calon penulis yang mungkin menulis sekedar menulis tanpa pernah berusaha menekuninya dengan sungguh-sungguh atau berusaha untuk menjadi ahli. Dan oleh karenanya sebagaimana ditengarai oleh penyair Saut Situmorang bahwa di dalam jagad kepenulisan ini begitu banyak bertebaran dilettante dan hanya ada segelintir saja maestro. Banyak pula diantara para penulis di dalam proses kreatifnya cenderung sekedar menuruti kemauan kata hati tanpa ada upaya untuk menggabungkannya dengan teori, yang sesungguhnya dapat menunjang keahlian mereka di dalam menulis. Beberapa orang lagi bahkan mungkin sama sekali tidak peduli dengan semua pertimbangan-pertimbangan serupa itu, walaupun di dalam hati kecil mereka ingin segera menjadi seorang penulis yang terkenal dan dikagumi. Tentu saja hal ini adalah penyakit yang banyak mendera para penulis pemula yaitu berusaha meraih keberhasilan dengan cara-cara instan. Dengan segera pula dapat terlihat betapa para penulis yang tidak memperoleh perkembangan berarti di dalam hasil karya-karyanya manakala mereka berhenti dan mogok belajar, baik itu melewati proses pengkajian dari karya-karya orang lain maupun menelaah lebih jauh lagi saran dan kritik yang ditujukan kepada diri mereka pribadi.
Sesungguhnya hal ini berlaku pula di dalam banyak hal lainnya. Dalam ranah tulis-menulis ini jelas bahwa tidak mungkin seseorang dapat bergantung sepenuhnya semata-mata hanya kepada bakat alamiah yang ia miliki, karena untuk menjadi besar diperlukan banyak kajian yang antara lain berupa bacaan-bacaan besar. Sebagaimana penulis-penulis besar tidak saja hidup dengan impian-impian besar melainkan terlebih lagi dari bahan-bahan bacaan besar yang dipelajarinya. Dengan kata lain untuk menjadi besar seseorang harus belajar pula untuk menafsirkan karya-karya orang lain. Namun apakah sejauh ini kita sudah cukup membuka diri? adakah kita cukup berbesar hati untuk menerima kritik dan juga saran? Permasalahannya pula adalah banyak orang yang berniat menjadi penulis besar namun malas membaca apalagi harus menafsirkan karya-karya orang lain. Bagi saya itu adalah sebuah kondisi yang absurd, yaitu apabila kita hanya tertarik pada karya-karya kita sendiri dan hanya punya satu niatan agar karya-karya kita tersebut dapat dibaca oleh seluas-luasnya kalangan tanpa kita memiliki kemampuan dan kemauan untuk dapat memberikan apresiasi pada karya-karya orang lain.

Seorang penulis yang serius pertama-tama adalah sekaligus juga seorang kritikus bagi dirinya sendiri, dan oleh karena itu ia harus terbiasa dengan budaya kritik serupa itu. Bagaimana kita dapat melihat baik buruknya sebuah karya kalau kita tidak melengkapi diri kita sendiri dengan seperangkat penilaian. Ukuran-ukuran estetis itu secara tidak langsung juga akan menambah kepekaan intuisi kita dalam proses menulis karya-karya kita sendiri. Seiring dengan bertambahnya wawasan kita melalui proses belajar ini maka akan meningkat pula kepekaan kita di dalam mengeluarkan gagasan kreatif. Segala bentuk gagasan penulisan umumnya lahir dari ungkapan perasaan dan sebagian lagi melalui perenungan pemikiran namun seberapa jauh gagasan itu dapat berhasil menyentuh perasaan dan pikiran orang lain tergantung pada banyak hal, yang antara lain adalah ditentukan oleh bagaimana caranya gagasan itu disampaikan dan juga oleh kemampuan resepsi pembaca.
Pembacaan atas sebuah karya sastra apa pun bentuknya tentu saja adalah merupakan sebuah bentuk interaksi komunikatif antara karya itu sendiri dengan para pembacanya. Yang menjadi kesulitan dan sekaligus keunikan sebuah karya sesungguhnya adalah terletak pada berbagai kaidak-kaidah struktural dari karya itu sendiri yang notabene seringkali tak terlalu dianggap atau diperhatikan oleh pembaca yang sekedar berniat merentang-rentang waktu, oleh karena itu karya yang berusaha tampil dengan telanjang dan apa adanya seringkali dianggap sebagai karya yang kurang berhasil, karena unsur-unsur estetis sebuah karya seringkali justru terselubung, di mana makna baru diperoleh setelah kita sebagai pembaca berhasil mengungkap hikmah yang tersirat di balik struktur yang tersurat di dalam karya tersebut.

Keberhasilan seorang penulis di dalam menuangkan gagasan atau perasaannya seringkali lebih banyak dipengaruhi oleh keakrabannya dengan media komunikasi yang ia pakai, dan yang lebih utama lagi adalah pada kemampuannya untuk mengekspresikan kembali apa yang ia pikirkan dan apa yang ia rasakan, sehingga pembaca dapat merasakan secara eksplisit apa yang telah dirasakan oleh sang penulis. Misalnya saja sebuah sajak bisa terdengar indah, menyentuh perasaan dan bahkan mampu menggerakkan emosi pembaca manakala kata-kata telah dipilih dengan tepat untuk mengungkapkan maksud yang terdalam dari apa yang dirasakan oleh sang penyair. Namun sekali lagi ‘kata’ di sini bukanlah sekedar ‘kata’ dalam artian yang apa adanya. ‘Kata’ dalam sebuah karya sastra tentu saja harus dapat dibedakan dengan ‘kata’ di dalam berita surat kabar atau pun di dalam surat undangan pernikahan misalnya. Akan tetapi jangan pula keasyikan ‘kata’ menjadi sesuatu hal yang mubazir dan sia-sia karena sang penulis terlalu banyak mengumbar hasratnya dengan cara yang berlebihan.

Dengan terus-menerus belajar mengkaji karya-karya orang lain dan terutama dari karya-karya yang bermutu maka kita akan tahu dimana sebenarnya letak kekuatan sebuah karya sastra. Budaya kritik sesungguhnya tumbuh seiring dengan budaya cipta dan apa yang sejauh ini telah dilaksanakan oleh milis ini sebagai sebuah media komunikasi antar penulis dengan pendekatan konsep saling berbagi dan saling belajar untuk meningkatkan mutu dari karya kita sendiri adalah sebuah langkah maju yang harus kita acungi jempol dan kita dukung terus kelangsungannya. Salam kreatif.

Jakarta, 21 Juni 2006

titon @ Wednesday, July 05, 2006