Friday, March 26, 2004

Kamera, Televisi, Cahaya

Kamera mencatat derita bukan cuma berita dari putaran roda-roda gila kehidupan kita, lensa tidak cuma menembak jarak, kegamangan antara cerita kebahagiaan dan kepedihan semua melebur di situ jadi satu, dalam bias-bias warna hitam, putih, dan abu-abu, seperti gelas yang pecah dalam luapan perasaan melukai tangan, dan membuat kita tersentak sesaat. Ada yang ingin menangis dan tertawa pada saat yang sama, Televisi seperti kamera juga cuma ia lebih banyak menawarkan keriuhan cerita, perasaan yang mengelabui kesadaran kita, sihir cahaya, ada serigala menari dengan lidahnya yang merah, taring kuning dan liur tak henti menetes. Televisi bukan sekedar tabung yang menyimpan ingatan ia menyimpan kepedihan dan kegalauan kita, masa-masa yang lewat jadi sejarah, mimpi-mimpi peradaban dan juga kekumuhan pikiran sibuk beronani dengan diri sendiri. Cahaya selalu datang dan pergi tanpa perlu kita catat kehadirannya, ia telah menjadi sebuah rutinitas, karena ia tak hendak berubah…tak akan mungkin berubah untuk waktu yang lama, sangat lama … mungkin hingga akhir peradaban manusia.

Maret, 2004

Rumah Orang Sakit

Kutemui seseorang di beranda depan sedang membebat kepalanya dengan kompres es batu, seseorang lagi sedang sibuk menekan paru-parunya yang basah oleh genangan lumpur sisa banjir bulan lalu, tubuhnya menggigil seperti batang-batang pisang di pinggir kali ditimpa derasnya hujan mencoba bertahan di atas akar-akar yang rapuh. Aih…air kali itu deras sekali kawan, seperti menyimpan amarah di matanya, menyihir malam-malam kita penuh dengan mimpi-mimpi seram. Aih…lihatlah ke dalam rumah kita kawan, sudah berjejal orang-orang sakit tercampak dari pinggiran waktu. Bibir-bibir pucat mengaduh ribut sekali ditingkahi dengung seribu nyamuk dan lalat. Rumah kita jadi etalase penuh lampu-lampu, tikar-tikar plastik, piring dan gelas pecah dan selang-selang infus. Tak ada lagi tempat bagi tawa anak-anak, celoteh mereka telah lama terpendam di halaman belakang rumah kita.

Aih…apa yang terjadi dengan rumah kita kawan? Begitu banyak orang sibuk berlalu lalang dengan bendera-bendera dan kaos-kaos penuh slogan, riuh rendah meneriakkan jargon-jargon kosong. Photo-photo close-up menebar senyum serba palsu terpampang memenuhi tembok rumah. Aih…rumah apa ini kawan? Manakala semua orang sibuk dengan dering telephone dan percakapan di televisi mengobral janji-janji, peradaban jadi semakin jauh saja meninggalkan kita, seolah terlupa makin banyak anak-anak dan bayi-bayi terbaring mati di kamar sebelah.

Maret, 2004

Manusia Angkuh
(Tentang Manusia 1):

Aku terlanjur masuk ke dalam belantara: sulur-sulur pemikiran yang riuh rendah, penuh gelak tawa yang mencederai kesadaran. Batin terusik oleh tawa-tawa pongah dan senyum mengejek. Belantara ini begitu tumpat dengan manusia-manusia angkuh, para moralis, eksistensialis dan nihilis, namun tak ada kutemui seorang pun ubermensch*, semuanya tampak busuk dan buruk rupa, menggonggong seperti serigala lapar dan bergelantungan seperti monyet sedang asyik bermain, menelanjangi diri sendiri, tak bermalu, tak berperasaan. Adakah mereka berpikir dengan mulut penuh kata-kata najis dan sumpah serapah? Ataukah mereka sedang mengigau di tengah kalutnya mimpi buruk? Mencelotehkan keakuan dan harga diri, menggumamkan kejujuran dan moralitas tapi mulut mereka bau bangkai, dan wajah mereka berlumur noda busuk terbungkus topeng emas kepalsuan. Aku tahu tak ada ketulusan dalam kilau mata mereka, cuma sebuah pisau yang sinis dan telanjang siap mencabik jiwa-jiwa naïf.

Apa yang kulihat di tengah belantara ini? Orang-orang yang mentertawakan kebebalanku, yang membuat jiwaku gemetar oleh rasa malu dan iba, namun mengapa rimba ini sanggup menyihirku dengan belitan sulur mistis pemikiran demikan riuh? hingga tubuhku tak mampu meretas belenggu, lemah tiada daya tak ubahnya tubuh kijang kencana dalam kerkah taring besi serigala.

Februari 2004

*Nietzsche: 'Also Sprach Zarathustra'

Orang-Orang Kesepian
(Tentang Manusia 2)

Kesendirian membuat mereka letih, maut tampak begitu dekat serupa hantu berjubah hitam dengan senyum tersungging di bibir. Ia lebih dekat dari bayangan, mengintai di balik cadar-cadar kabut, embun beku yang menggigilkan jantung. Mengapa perasaan itu demikian mencekik? seolah ia menemukan begitu banyak cara untuk membunuh harapan. Keberanian seakan lepas dari hulu pedang dan terhempas jatuh ke tanah, jauh sebelum gerbang arena di buka dan taring-taring harimau berkilau di mata mereka Kesadaran goyah berdiri diantara pekik peperangan dan sorak penonton di kejauhan, dipaksa berjalan di antara debu, seorang gladiator, manusia penyendiri, pergi menyongsong tikaman belati yang akan merobek jantung harap.

Maret 2004

titon @ Friday, March 26, 2004

Thursday, March 25, 2004

Memasuki Peti Mati – Kegelisahan Batin Seorang Penyair?

Upaya memahami sebuah sajak bukanlah sebuah pekerjaan yang ringan manakala sajak itu tampil dalam balutan metafora yang rumit, manakala makna konotatif sebuah kata harus dilihat dalam pertaliannya dengan kata-kata lain sebagai pendukung kesatuan makna yang utuh dan unikum, karena itu proses apresiasi selalu menjadi sebuah ajang yang mengasyikkan untuk menggali dan menguji kepekaan wawasan, persepsi, intuisi dan asosiasi pembaca dalam menafsirkan kata demi kata, baris demi baris dan bait demi bait sehingga dalam setiap pembacaan dapat diperoleh sebuah sintesa yang utuh. Pembaca dituntut untuk dapat mengurai lapisan demi lapisan pembungkus tubuh sajak sehingga tampaklah inti makna sajak yang paling esensial.

Sebenarnya mengapa kita mesti bersusah payah meraih pemaknaan dari sebuah sajak? pertanyaan itu selalu membayangi setiap proses pembacaan. Masih perlukah kiranya meraih pemaknaan atas sebuah sajak? Setiap individu penikmat sajak barangkali akan memberikan jawaban yang berbeda antara satu dengan yang lain, begitu pula niatan dari seorang penulis bisa jadi pula akan berbeda ditafsirkan oleh pembacanya, di sinilah sebenarnya kritik berperan sebagai jembatan penghubung yang mengantarkan apresiasi pembaca ke depan pintu niatan penulis.

Apresiasi penting untuk meningkatkan kesadaran budaya pembaca, karena apresiasi sekaligus berperan untuk mendudukkan secara proporsional karya yang bermutu dan yang tidak. Selain juga mengemban misi sebagai sebuah legitimasi 'budaya' dalam menilai bobot seorang penyair. Tapi dalam zaman serba instant ini di mana segala sesuatu lebih banyak di ukur dari kadar nilai budaya populer masih perlukah bagi kita mendudukkan posisi sastra dan sajak itu secara proporsional? Sekali lagi jawabannya bisa beragam sesuai dengan niatan pembaca, karena apresiasi tidak akan pernah dapat dilepaskan dari kaitan-kaitan subyektifitas. Dan subyektifitas bagaimana pun selalu menjadi dalih pembenaran atas opini seseorang. Oleh karena itu batasan-batasan diperlukan agar subyektifitas tidak menjadi anarkhi, agar subyektifitas dapat berkembang menjadi lebih obyektif, bukan dalam artian penyeragaman nilai atau pandangan tetapi mampu lebih merujuk kepada kedewasaan sikap dan kebenaran nilai-nilai universal di mana segala sesuatu dapat dipertanggungjawabkan, dan dalam hal ini kerangka teknis dan teoritis pendekatan penilaian atau apresiasi dapat mengambil peran yang sewajarnya.

Sesungguhnya kita tidak perlu curiga kepada segala bentuk kritik, dan menurut pandangan pribadi saya kita justru harus berterima kasih kepada kritik karena kritik yang baik dan benarlah yang akan membesarkan orang sementara pujian yang menyesatkan justru akan membuat orang tenggelam, dan wawasan kritik yang sehat senantiasa harus dikembangkan dalam sebuah komunitas yang peduli, dimana semua orang berani memunculkan karyanya dan pada saat yang bersamaan berani pula menanggung resiko karya itu di apresiasi oleh orang lain. Dalam beberapa konteks peristiwa, kita seringkali merasa berkeberatan dengan kritik-kritik yang lugas tanpa dasar teori, beberapa orang pun berargumen bahwa setiap pendekatan akan menghasilkan apresiasi yang berbeda pula, akan tetapi harus dipahami bahwa sebuah pendekatan adalah merupakan sebuah alternatif dari sekian banyak alternatif yang mungkin dan oleh karenanya setiap pembacaan selalu memiliki kemungkinan terbuka.

Seorang penyair yang baik tak perlu merasa kawatir bila karyanya dibantai seorang kritikus karena bagaimana pun karya itu masih terbuka untuk diperdebatkan kritikus lainnya, dan satu hal yang saya percaya adalah bahwa karya yang baik akan menyuarakan kebenarannya sendiri bagaimana pun caranya. Jadi kebenaran atau pun kegagalan sebuah proses apresiasi lewat tulisan kritik bukan merupakan suatu hal yang mutlak karena setiap proses apresiasi selalu memiliki dimensinya sendiri yang mungkin saja berbeda dengan pendekatan lainnya dan juga merujuk pula pada kemungkinan sajak yang multi penafsiran. Justru hal ini akan semakin memperkaya wawasan penyair dalam proses penulisannya di satu sisi dan sekaligus menambah wawasan pembaca di sisi yang lain.

Dengan kerangka pikir yang demikian saya mencoba menepiskan syak wasangka berkaitan dengan semua bentuk wacana kritik yang selama ini berkembang, setiap kritik seyogyanya diterima dengan perasaan senang dan antusias sebagai indikasi bahwa karya kita memperoleh perhatian publik, dan dengan semangat yang sama pula saya akan terus mencoba menulis kritik yang saya harapkan berguna untuk para penyair dan penulis lainnya.

Dalam kesempatan ini saya ingin mengulas sedikit karya Sarabunis Mubarok yang berjudul 'MEMASUKI PETI MATI' yang menurut saya sangat layak untuk kita kaji lebih jauh :


MEMASUKI PETI MATI

Mimpi tentang datangnya sebuah kekasih,
mengembangbiakkan puluhan keris yang tumbuh
di taman-taman buku. Bagaimana harus kubusurkan
hati, ketika puisi tertancap di pohon-pohon lapuk.
Bagaimana tak mengunyah bara, ketika musim paceklik
di ladang kata-kata, memercikkan api ke garis usiaku

yang melambat.

Aku memahami pekabungan sebagai ibu tiri dari
risau-risau yang memukau. Mengapa harus menjelagakan

asap-asap perih yang mengitari hari-hari kasat
mataku.
Ketika ibuku terus menembang, tajam mendesak ke
sajak-sajak, ke rasa cemburu, ke rasa cemburu yang
lantak,
ke masa depan yang memihak, ke anak-anak bulan,
anak-anak sunyi yang kusembunyikan di antara suap
dan kunyah zikir-zikir semediku.

Bersama kitab-kitab sastra yang membajak kematian,
aku mengairmatakan rayuan-rayuan. Ramalan bayi sinis

yang kelak merayap di punggungku, darah yang
menyingkap
mitos rumit dari angka 13 selasa pahing kelahiranku,

tenung asmara, jimat-jimat dan mantra-mantra, melulu

menganaksungaikan kepenyairanku, melulu meninju
kepuasan dari sakitnya sumpah-sumpahku.

2003.

Karya ini bukan jenis sajak yang mudah dimengerti, pertama adalah karena si penyair meramu sajaknya dalam balutan simbol-simbol yang tidak terlalu akrab, hal kedua adalah karena penyair banyak memakai asosiasi dan metafora yang rumit untuk menggambarkan ekspresi perasaan dirinya dan ketiga adalah karena adanya konsep mistis yang melingkupi gagasan pemikiran penyair dalam pengungkapan intuisi dan bahasa puitiknya.

Hal pertama yang saya tangkap dari sajak ini adalah kegelisahan penyair atas eksistensi dirinya sebagai seorang penyair, ia tengah berharap atas kehadiran 'sebuah kekasih' sebuah simbol yang sangat unik, mengapa sebuah dan bukan seorang? karena yang ia anggap kekasih itu memang bukan manusia tapi sesuatu yang sanggup 'mengembangbiakkan puluhan keris yang tumbuh di taman buku'. Dua buah symbol yang semakin rumit 'puluhan keris di taman buku'. Keris adalah bagian dari mitologi Jawa yang berfungsi sebagai senjata atau 'gegaman' sesuatu yang tajam dan dapat dipakai untuk membunuh atau membela diri dan apa yang tajam di taman buku? imaji ini mengantar saya kepada ketajaman pena yang seringkali diasosiasikan lebih tajam dari senjata, dan imaji itu mendukung pemaknaan keberadaannya di taman buku. Saya tafsirkan yang dianggap kekasih oleh penyair adalah 'kata' dan ini memperoleh dukungan dari baris berikutnya 'ketika puisi tertancap di pohon lapuk' karya-karya si penyair tak memperoleh tempat berpijak yang nyaman untuk bergantung untuk menunjukkan eksistensinya. Sehingga penyair dipaksa untuk merasakan 'bagaimana tak mengunyah bara' sebuah perasaan pedih yang sangat menyakitkan, 'ketika musim paceklik di ladang kata-kata' makna bait ini memperoleh peneguhan di sini ketika penyair rindu kata-kata (kekasih) di mana kata-kata tak lahir karena didera musim paceklik, 'memercik ke garis usiaku yang melambat' penyair mulai terbakar oleh kerinduannya untuk 'eksis' karena sudah dikejar usia produktivitasnya. Demikian penafsiran saya atas bait pertama.

Bait ke dua di mulai dengan 'Aku memahami pekabungan sebagai ibu tiri dari risau-risau yang memukau' lagi-lagi kita dihadapkan pada perlambangan yang rumit, penyair dihadapkan kepada kematian adakah itu sebuah kematian kreatifitas? Induk dari kecemasan yang mengamuk batinnya, hadir sebagai seorang ibu tiri yang sesungguhnya tidak dikehendaki kehadirannya sehingga '…harus menjelagakan asap-asap perih yang mengitari hari-hari kasat mataku.' Penyair dihadapkan pada sebuah realitas yang membuatnya semakin gelisah 'ketika ibuku terus menembang' di mana ibu realitasnya telah ikut mengomel pula dengan 'tajam mendesak (eksistensi) sajak-sajak' mempertanyakan hasil dari kepenyairannya, sehingga timbul 'rasa cemburu yang lantak' dan makin mempertanyakan nasib 'masa depan yang memihak' perasaan yang begitu mengharu biru diri si aku lirik sampai ia terpaksa harus bergelut sedemikian rupa dengan batinnya sendiri dan memaksanya terus merenung '….diantara suap dan kunyah zikir-zikir semediku'

Sementara pada bait ketiga si aku lirik semakin didera bimbang oleh karena perjalanannya sejauh ini 'bersama kitab-kitab sastra (telah) membajak kematian (jiwa)' dan sanggup 'mengairmatakan rayuan-rayuan' sekali pun ia harus dihadapkan pada 'ramalan bayi sinis yang kelak merayap di punggungku' sebagai sebuah gambaran masa depan yang menyimpan ironi dan ketidak pastian 'darah yang menyingkap mitos rumit dari angka 13 selasa pahing kelahiranku' penyair terombang ambing antara kungkungan mitos kepercayaan yang tumbuh subur dalam hatinya seiring dengan proses penelusuran eksistensi hidupnya dan mitos itu begitu dalam membelit 'tenung asmara, jimat-jimat dan mantra-mantra…' yang selama ini menjadi sumber inspirasi kepenyairannya 'melulu menganaksungaikan kepenyairanku, …' tapi sekaligus menjadi harga yang harus ia bayar atas 'kepuasan dari sakitnya sumpah-sumpahku.' sebagai sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan hidup seorang penyair.

Demikian penafsiran saya atas sajak ini, sebuah sajak yang sangat dalam menggali pergelutan batin yang barangkali merefleksikan kegelisahan diri penyairnya. Bagaimana pun sajak ini sangat kuat merepresentasikan gagasan si penyair dengan pilihan kata-kata yang sangat sugestif dan mampu menggerakkan kesadaran emotif kita oleh pilihan-pilihan diksinya yang cermat. Kemampuan penyair membungkus tubuh sajak sedemikian rupa dengan simbol-simbol dan penggunaan pengimajian yang sedemikian kaya adalah merupakan nilai tersendiri yang meningkatkan bobot sajak ini dan saya pikir aura mistis yang menyelubungi karya-karya Sarabunis seperti dalam sajak ini adalah merupakan sebuah ciri khas yang unik dari penyairnya yang saya yakin sudah menemukan bentuknya dalam kegelisahan yang justru mampu memancing kreatifitas. Terlepas dari kemungkinan dapat diterima atau tidak bentuk penafsiran ini sejujurnya saya menilai seorang Sarabunis sudah sangat 'layak' diperhitungkan sebagai seorang penyair eksistensialis dewasa ini, hal ini terbukti dari kedalaman karya-karyanya yang semakin menunjukkan peningkatan bobot kualitasnya.

Jakarta, Maret 2004

Karya penulis lainnya dapat ditemui di:
http://langitkubiru.blogspot.com/
http://filsafatsajak.blogspot.com/

titon @ Thursday, March 25, 2004