Friday, February 13, 2004

Kilometer

Kau baru saja menyelesaikan kilometermu yang pertama
Dalam geliat batu kerikil, aspal dan kayu bakar
Kulitmu mengkilat terpanggang matahari
Tapi kau belum lagi mengeluh
Sekali pun tenggorokan demikian kering
Dan batu-batu pun menjerit
Sahut menyahut dengan bemo, bajaj, dan bus kota
Apa arti kesibukan lalu lintas itu tanpamu?
Tapi kau belum lagi mengeluh
Sekali pun kantong demikian kering
Istri dan anak di kampung pun menjerit
Sahut menyahut dengan gubug reyot,
Piring – sendok berkarat,
Dan harapan yang belum juga tiba.
Kalau kau demikian penting
Kenapa kau tak juga mengeluh?
Membanting semua tulang-tulangmu
Demi kilometer ke-dua
Kilometer ke-tiga
Ke-empat
Ke-lima
Ke-sepuluh
Ke-duapuluh…

Jakarta berdebu, 2001

titon @ Friday, February 13, 2004

Orang Yang Tersesat
Buat mereka yang kutemui di Gg. Taslim

Jelaga telah mengotori diriku dengan warna malam
Aku jadi begitu kosong dan tanpa daya
Ingin rasanya keringkan darah sendiri
dan mengisinya kembali dengan darah bayi

Hidup telah menyihirku dengan kenikmatan anggur
dan nasib yang tiada berkepastian
Kadang-kadang aku tersesat sendirian
lupa jalan pulang ke rumah

Aku sering mendengar orang berseru-seru di telingaku
tapi tak kutemui satu jasad pun di sana
Aku begitu kesepian!

Seperti juga wanita-wanita yang berkubang dalam merihku
Seolah baru kemarin sore saja
Aku mengisi mereka dengan semacam roh kemunafikan

Justru oleh jelagaku aku menjadi begitu kosong dan tanpa daya
Menanti hari-hari yang akan remukkan kepalaku
Dengan pecahan genting dan batu-bata

Aku begitu pedih oleh ketidakberdayaan!

1994, Kampung Melayu


titon @ Friday, February 13, 2004

Perahu Kertas
Untuk Ratri dan semua pekerja seks

Aku tahu dibalik senyummu
ada kepedihan yang harus kau kunyah setiap malam
dan tak mungkin tersapu oleh gerimis.
Barangkali kau pun berpikir
betapa mudahnya menangkap seekor kumbang
dan menyimpannya di balik kutang.

Masih kudengar renyah tawamu
sekali pun sesungguhnya aku tahu
ada yang sumbang dalam hatimu
menghitung rupiah demi rupiah
dari sisa kondom di tempat sampah.

Aku sempat bertanya
'Apa kau belum lelah juga?'
dan kau cuma tertawa
'Pilihan apa yang aku punya?'

Sesungguhnya pilihan itu selalu ada Ratri
bila saja kau mau
dan tentu saja terserah padamu
tapi mungkin juga
pilihan itu tak semudah yang kuduga
seperti juga tanda
yang terlanjur melekat di dada
menoreh begitu dalam

Lalu kepedihan itu
seperti perahu kertas yang rapuh
dan perlahan-lahan tenggelam.
Betapa sulitnya menggantungkan harapan
pada seutas benang keimanan
dan selaput tipis kehormatan.

Kampung Melayu, 1995

Sebuah Tempat
Kepada sobatku Widyo W.

Kudengar suara desah menghuni tembok
dan orang lalu lalang mengisi piringnya
dengan semacam kepuasan semu
lalu mereka menyantapnya malam-malam

Aku tak tahu apa yang orang cari
Selain harapan dalam setumpuk kartu ceki
Yang mereka banting di meja sejak sore gerimis

Ada juga yang menenggak arak kezaliman
dan mengosongkannya sampai tandas
bersama bangku-bangku yang mabuk darah

Di tembok masih kudengar suara desah
barangkali erangan seorang perempuan
entah nikmat entah kesakitan

Aku ingin berhenti lebih lama
dan mengisi kembali tustelku dengan kenangan
tapi temanku mengajakku pergi
dengan sedikit angkuh ia berkata,
'Di sini bukanlah tempat kita!'

1994, Kampung Melayu


titon @ Friday, February 13, 2004

Sekali Lagi Tentang Pentingnya Kritik Sastra
oleh Titon Rahmawan

Dalam usianya yang relatif masih muda media sastra di internet telah menunjukkan perkembangan yang cukup fenomenal. Hal ini dapat kita pantau dari semakin maraknya situs-situs sastra yang bersifat pribadi maupun umum, serta makin meningkatnya kegairahan berkarya dari sekian banyak nama-nama baru yang terus bermunculan di jagad maya ini. Di CyberSastra saja misalnya lebih dari 2000 karya berbagai bentuk yang antri untuk memperoleh kesempatan dimuat.

Konsekuensi dari tinginya tingkat kreativitas ini adalah semakin banyak sarana yang dibutuhkan untuk dapat menampungnya, untungnya media internet ini boleh di bilang 'unlimitted' seperti di ungkapkan Medy Loekito dalam pengantarnya atas antologi 'Graffiti Gratitude'. Sebagaimana disanggah pula oleh Medy bahwa sastra cyber dengan segala kebebasannya tidak berarti bebas mutu apakah pernyataan tersebut sudah sepenuhnya dapat dibuktikan masih merupakan sebuah pekerjaan rumah bagi mereka yang bergiat di dalamnya.

Pertanyaan itu muncul saya kira karena masih adanya keprihatinan khususnya mengenai sangat sedikitnya tulisan dalam bentuk kritik sastra baik dari segi kuantitas apalagi dari segi kualitas. Padahal kritik sebagai bagian integral dari perkembangan sastra itu sendiri menduduki arti sangat penting sekali pun kenyataannya keprihatinan yang sama telah muncul di berbagai media lain. Barangkali pula ini memang penyakit yang tengah mendera dunia sastra kita.

Kritik sastra sebagai bentuk pemahaman terhadap sebuah karya sastra memang membutuhkan pendekatan yang sedikit berbeda dari penulisan karya sastra itu sendiri, pendekatannya tidak semata-mata kreatif tapi juga ada pendekatan keilmuan atau teoritis, dan sebagaimana ditengarai oleh para peminat dan pengamat sastra kita saat ini permasalahan utama dalam kritik sastra adalah kompetensi dari pelaku kritik itu sendiri yang implikasinya berlanjut kepada bagaimana pendekatan atas kritik tersebut, bobot kualitas atau mutu sebuah kritik dan akhirnya opini yang muncul sebagai konsekuensi atas sebuah kritik.

Sejauh ini terdapat kesenjangan antara pelaku kritik dan penerima kritik seolah ada tarik ulur dari segi kompetensi yang didasari oleh besarnya ego masing-masing yang sangat subyektif sehingga budaya kritik tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan di mana semua bentuk kritik membangun dapat diterima dengan jiwa besar.

Para pelaku kritik seringkali hanya memberikan penilaian yang dangkal tanpa didasari oleh sebuah kepekaan estetis yang cukup, jadi kritik muncul sebagai sebuah sikap arogansi semata-mata. Pada akhirnya unsur kompetensi ini pulalah yang menjadi unsur utama mandulnya tulisan kritik sastra yang berbobot.

Bagaimana pun juga kritik sastra sangat dibutuhkan kehadirannya, karena hanya lewat kritiklah bobot sebuah karya teruji, dan dengan kritik pulalah seorang penyair yang serius dapat berkembang mencapai puncak estetisnya dalam berkarya. Saya yakin keberhasilan Chairl Anwar mencapai bobot puitisnya tidak terlepas dari peran HB. Jassin dan kritik-kritiknya yang sangat menyaran. Yang jadi pertanyaan kita sekarang adalah di mana dapat ditemukan orang setaraf Jassin yang bersedia secara aktif memberikan kritik yang berbobot kepada para penulis muda pemula sementara hal tersebut masih menjadi sebuah pertanyaan besar bahkan di kalangan para akademisi sekali pun.

Sudah saatnya bagi media sastra modern yang 'unlimited' ini memberikan alternatif dengan menyediakan rubrik khusus untuk kritik sastra baik secara umum maupun sajak secara khusus, karena sekali pun para penikmat / pembaca telah terlibat dengan memberikan penilaian pada karya-karya yang dimuat dan tentu saja telah melewati sebuah seleksi yang ketat namun hal itu di rasa belum memadai.

Kritik apa pun bentuknya, baik ilmiah formal, maupun kritik kreatif spontan yang tidak formal akan menajamkan perasaan estetis penulis secara langsung. Sekaligus keberadaan rubrik ini diharapkan dapat menjadi jawaban terhadap kecurigaan pihak luar atas kompetensi para editor, di mana para editor dapat mempertanggungjawabkan jelas tidaknya kriteria serta bobot penilaian estetis mereka secara sungguh-sungguh dengan menuliskan pendekatan kritisnya dan bukan atas dasar sikap arogansi semata-mata.

Jakarta, Oktober 2003

dimuat di cybersastra.net dan bumimanusia.or.id

titon @ Friday, February 13, 2004

Licentia Poetica: Legitimasi Anarkisme Penyair?
oleh Titon Rahmawan

Manakala Licentia Poetica diterjemahkan sebagai kebebasan berekspresi di mana seorang penyair boleh melanggar rambu-rambu kaidah tata bahasa, kaidah moral atau mungkin juga kaidah hukum maka yang terjadi adalah anarkisme atau dekadensi, karena anarkisme bukanlah semata-mata gejala sosial begitu pula dekadensi bukanlah semata-mata gejala psikologis, dan pada kenyataannya demikianlah yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia.

Pada dasarnya bahasa adalah media ekspresi bagi kehadiran sebuah sajak, karena itu sajak yang baik tak mungkin terlepas dari kaidah tata bahasa agar dapat sampai (terkomunikasikan) kepada khalayak. Sajak sebagai hasil pemikiran, pengalaman, atau perenungan adalah merupakan pencerminan sikap (attitude) pola pikir (idea), dan perilaku (behaviour) manusia (human) karena itu sajak (sastra) yang baik sebagaimana dinyatakan oleh Immanuel Kant adalah sajak yang mampu mencerminkan prinsip kemanusiaan atau 'humanitat'. Tentu saja prinsip di sini adalah sejalan dengan kepentingan moral, bahkan dalam akhir hidupnya Kant masih menyampaikan, 'das gefuhl fur humanitat hat mich noch nicht verlassen' bahwa humanitas belum lenyap dari dirinya sekali pun ia sedang menjelang ajal.

Hal yang sama telah menjadi inspirasi bagi Voltaire dimana ia beranggapan bahwa dalam kegiatan sastra manusia harus dihidupi oleh semangat intelektual. Manusia berpikir, membaca, menulis dalam semangat 'homo homanus' yaitu manusia yang berjiwa halus, berbudaya dan manusiawi.

Lalu bagaimana korelasi dan implikasi dari kebebasan berekspresi pada diri penyair dan hasratnya untuk meraih 'pathos' yang boleh diartikan sebagai hasrat memperoleh simpati dan empati atas karyanya? Menurut Voltaire gairah itu tidak terlepas dari konsep intelektualitas di mana karya yang diarahkan untuk dapat menggugah secara emosional dan estetis harus dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual rasional. Jadi sebenarnya prinsip dasar hasrat diri seorang penyair tetaplah sejalan dengan hakekat pokok sastra yaitu berbicara untuk kepentingan moral sekali pun kita harus menerima kenyataan bahwa ada kepentingan lain yang juga butuh untuk dikemukakan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membicarakan kaidah-kaidah moral itu karena sebagai manusia kita sudah di bekali kesadaran tersebut, tulisan ini sebetulnya ingin mencari kunci jawaban bagaimana sebuah karya bisa di nilai baik atau buruk, layak atau tidak layak tampil dalam sebuah media yang sedang mencoba menegakkan dirinya menjadi sebuah media kreatif yang terhormat dan berwibawa.

Tatkala membaca karya saudara Rian Arif yang bertajuk 'kekasih-kekasih' yang dimuat di situs ini tanggal 14-04-2003, saya langsung di hadapkan pada pertanyaan tersebut. Secara pribadi saya menilai saya sedang menghadapi (meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri) 'sebuah bangkai sajak di mana pendekatan apa pun yang saya pakai untuk mengapresiasi sajak-sajak tersebut baik lewat pendekatan analisis, sosiopsikologis, historis, didaktif atau bahkan sebagai puisi mbeling menurut terminologi Remy Sylado sekali pun saya tetap terbentur pada suatu kenyataan bahwa sajak-sajak itu adalah sampah murahan.

Barangkali itu merupakan sebuah kecurigaan pribadi, tapi saya tak mau gegabah menilai bisa saja apresiasi sayalah yang dangkal karena itu saya mencoba menghubungi beberapa rekan yang biasa terlibat dalam diskusi sastra dan ternyata rekan-rekan tersebut memberikan penilaian yang sama yaitu rasa muak, jijik, persis seperti reaksi kita menghadapi bangkai tikus.

Sekali lagi saya tidak ingin gegabah karena itu saya menulis komentar langsung kepada saudara Rian Arif sebanyak (3) tiga kali untuk minta klarifikasi dan sayang-sayangnya tidak (belum) memperoleh tanggapan hingga sekarang karena mungkin kesibukan aktivitas saudara Arif, karena itu di dorong rasa kepedulian dan juga rasa memiliki atas keberadaan situs ini yang sudah saya anggap rumah sendiri maka saya memberanikan diri menulis surat terbuka ini, dengan maksud untuk memperoleh kejernihan, meningkatkan apresiasi bersama, dan terlebih untuk menegakkan wibawa para editor. Bagaimana pun kriteria dan titik tolak kehadiran sebuah karya dalam situs ini tidak terlepas dari tanggung jawab dan kewenangan para editor karena itu saya pikir relevan bila saya alamatkan surat terbuka ini kepada para editor.

Kembali kepada masalah Licentia Poetica sebagai sebuah kesadaran aspiratif seorang penyair dalam menuangkan ekspresinya seharusnya ditempatkan pada posisi yang proposional, dan saya tidak melihat hal tersebut pada karya saudara Rian Arif, ada sebuah paradoks di mana dalam pengantar saudara Arif menyatakan tidak hendak bermaksud melecehkan harga diri wanita sementara sajak itu jelas-jelas (denotatif) merupakan sebuah bentuk pelecehan di mana disitu di ekspos atau kalau boleh dibilang sexual exhibitionism yang gamblang dengan memamerkan aurat dan adegan-adegan seksual yang eksplisit dan menerakan nama-nama person (wanita) yang saya yakin bukanlah nama samaran sebagai pihak yang 'dilecehkan' dalam media terbuka semacam ini.

Bila saja ungkapan-ungkapan dalam sajak yang muncul bukanlah sebuah realitas yang semata-mata harafiah kita mungkin bisa memahami tapi seorang dengan kadar intelektual terbatas pun akan memahami ungkapan sajak itu dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling seperti sebuah film biru atau menurut seorang rekan penyair seperti buku stensil murahan yang barangkali hanya layak untuk konsumsi pribadi tertentu saja.

Jadi sekali lagi tulisan ini tidak bermaksud menghakimi atau menjadi sebuah 'pengadilan puisi' seperti yang dulu pernah terjadi, tetapi manakala kebenaran di selewengkan dan kejernihan di bungkam maka sudah saatnya para penyair menggoreskan penanya.

Kuningan, 30 Oktober 2003





titon @ Friday, February 13, 2004

Lentik-Lentik Api Sebuah Sajak
(analisis atas sajak 'Moksa' karya Saza)


Memahami sajak bagi saya adalah seperti mengejar bunga rumput liar yang berlari di tengah padang, kadang-kadang kita bisa menangkap maknanya, kadang-kadang pula tak menyiratkan apa-apa. Karena itu saat menghadapi sebuah sajak yang bisa saya lakukan adalah menerima sajak itu sebagaimana adanya sebagai sebuah teks yang coba kita komunikasikan dengan kesadaran kita. Pada saat teks tersebut berinteraksi dengan diri kita maka kita boleh berharap akan menangkap lentik-lentik imajinasi seperti kita menangkap lentikan korek api di dalam kegelapan. Pada saat itulah kita memperoleh pencerahan, tetapi pencerahan adalah persoalan individu dan tidak terlepas dari penafsiran seseorang atas sebuah karya yang sepenuhnya tergantung dari latar belakang diri masing-masing orang, juga pada kemampuan resepsi dan persepsinya di mana tanggapan, pemahaman, penerimaan atau penolakan adalah bagian dari tingkat apresiasi seseorang.

Dalam kesempatan ini saya ingin mengulas sajak 'Moksa' karya Saza yang berdasar apresiasi pribadi saya adalah sebuah sajak yang berhasil:

Moksa (sajak saza)

Teruntuk Rodant Oi

1
Dari kota-kota tenggara
antara Erie dan Michigan lahirlah : pemuda gila
Berkubang darah Aria yang patah
Sampah sampah yang membusuk di perutnya
Dan hantu-hantu yang membawa bara api
Hingga laki laki malam itu datang mengetuk pintu
Membawakan anggur, roti dan air suci
Di atas altar hijau dan bilik bilik pengampunan

2
Mereka duduk berhadap-hadapan dalam tabung cahaya,
Tanpa wajah, mata, dan suara
Hanya angin selatan membawa pesan laki laki malam itu,
'Diriku dan Dirimu adalah Satu,
Selayak Miacis yang melahirkan Anubis dan Basset'
Pemuda gila itu menangis memecahkan cermin cermin berkarat di kamarnya
Mengucap manta-mantra iblis dan mengelilingi kristal hitam yang lapuk

3
Tembok kamar pemuda gila itu meratap
Memanggil manggil masa lalu
Dan darinya keluar tangan tangan yang berusaha mencengkramnya
Dia berlari keluar membawa pigura-pigura kosong
Dan menunjukkan pada setiap orang yang lewat
'Adakah kau kenal orang di dalam pigura ini?'
Mereka tertawa dan melemparkan batu pada sang pemuda dan berteriak
'Pergilah ke neraka !!'
Dia terus berlari hingga ke ujung Sungai Besar dan terisak dipinggirnya
Ketika bulan muncul diatas air sang pemuda melihat laki laki malam itu
Menangis seperti dirinya dengan bayangan seribu warna
Langit menarik nafas dalam dalam
Sang pemuda gila berenang mengejar sang lelaki malam

4
Laki-laki itu telah berdiri di depannya kini
Tanpa wajah, mata dan suara
Tapi dia begitu mengenalnya seperti saudara kembar yang tak pernah terlahirkan
Pemuda gila itu memberikan pigura kosong pada lelaki malam
Dan bercerita seperti kesetanan tentang penduduk kota yang melaknatnya
Lelaki malam melengkungkan dahan pepohonan seperti bibir badut yang tersenyum
Di dekapnya sang pemuda dan diberikannya selembar foto usang
Dan menuliskan sesuatu di pasir dengan lumut lumut merah,

'J A M E S'

5
Sang pemuda menatap kosong lelaki malam
Yang perlahan meredup seiring cahaya matahari terbit
Raganya terasa lelah dan indranya terasa mati
Namun dia tersenyum dan meletakkan tangannya di dada
'Kaulah Messia itu, James'
Dan pemuda itu pun tertidur seribu tahun


Malang, April 2003

Kita dapat memperoleh latar belakang sajak ini dari komentar langsung penyairnya yang dituangkan dalam proses kreatifnya. Dari situ pula dapat kita tangkap wawasan dan kedalaman penyairnya. Saya selalu percaya bahwa sajak yang baik adalah sajak sebagai hasil perenungan dan bukanlah sajak yang kosong. Sajak yang baik lahir dari ungkapan terdalam diri penyairnya dan dalam proses kreatif itu saja kita dapat menilai bahwa sajak 'Moksa' lahir dari rasa prihatin yang mendalam atas nasib seorang sahabat, ekspresi puitis muncul dari pemahaman atas penderitaan dan nasib sahabat si penyair yang menjadi gila karena pergolakan batin yang dalam.

Mengenai latar sajak dapat kita ketahui bahwa sajak ini berlatar dikota-kota Tenggara antara Erie dan Michigan yaitu danau-danau besar di Utara Amerika, latar berikutnya menukik ke dalam sebuah kamar yang ditinggali oleh seorang pemuda gila yang merupakan tokoh utama dalam sajak ini. Si pemuda gila adalah pengejawantahan dari Rodant Oi, sesuai dengan profile yang digambarkan oleh si Penyair sebagai seorang pemuda yang ditinggal cerai orang tuanya dan di asuh oleh saudara perempuan satu-satunya. Yang menonjol dari karakter tokoh utama ini adalah keadaannya yang penuh penderitaan atas kemiskinan, keterluntaan dan ketidak berdayaan sehingga memunculkan pemberontakan dalam dirinya, ia ingin terlepas dari keterkungkungan itu sehingga ia nekat menjual dirinya kepada iblis, hal ini mengingatkan saya pada kisah Dr. Faust dan Mephistopeles.

Di lihat dari strukturnya sajak ini adalah sajak naratif yang sedikit banyak mengingatkan kita pada balada ala WS Rendra pada awal-awal masa kepenyairannya di mana unsur romantis dan melankolis sangat menonjol sekali pun beberapa ungkapan keras muncul seperti 'memecahkan cermin-cermin berkarat' dan 'Pergilah ke Neraka!' tapi unsur melankolis itu terasa mendominasi keseluruhan sajak, hal lain yang menonjol adalah kemampuan penyair menyeret perasaan pembaca dan bahkan merebut simpati pembaca atas nasib tokoh utamanya sekali pun dia tersesat dalam perjanjian dengan iblis.

Sajak ini tersusun atas 5 bait 43 baris dalam pola bebas tidak terkekang oleh rima atau irama tertentu, hal ini memungkinkan penyair untuk lebih ekspresif mengungkapkan kesan puitiknya. Diksi yang di pilih sangat sugestif seperti beberapa ungkapan yang tadi saya sebutkan dan juga simbol-simbol seperti anggur, roti dan air suci serta tokoh-tokoh mitologi seperti Miacis, Anubis dan Bastet mampu memberikan pelukisan yang realistis sekaligus surealistis yang mampu mendukung suasana. Suasana yang tidak menyenangkan pun berhasil di bangun dengan banyaknya unsur bunyi cacophony seperti: membusuk, berkarat, kristal, lapuk, mencengkeram, berteriak, terisak, laknat, dll sesuai dengan kehendak si penyair. Sayang sekali saya tidak dapat memberikan ulasan atas tipografi orisinil dari sajak ini mengingat format dari media ini yang terbatas

Imaji penglihatan yang banyak diungkap saya rasa telah berhasil menciptakan suasana mencekam dalam sajak ini dan demikian pula dengan pengimajian secara pendengaran dalam bentuk dialog pendek lebih memperkuat suasana mencekam tersebut. Sedangkan majas yang muncul lebih banyak didominasi oleh metafora yaitu pada gambaran perceraian, kemiskinan, ketakutan yang diibaratkan dengan 'darah Aria yang patah', 'sampah membusuk di perut', dan 'hantu-hantu yang membawa bara api'. Kemarahan dan kesesatan di lukiskan dengan 'memecahkan cermin berkarat', dan 'mengucap mantera iblis'. Kita temui pula personifikasi pada 'tembok yang meratap', 'angin selatan yang membawa pesan', dan 'bulan muncul di atas air'. Kemudian Pars Pro Totto pada ungkapan 'anggur, roti dan air suci' yang melambangkan gereja dan Totem Pro Parte pada ungkapan 'Kaulah Mesiah itu' adalah ungkapan yang dibesar-besarkan untuk menunjuk pada arti sang penyelamat. Dari segi ini saja Penyair telah menunjukkan kepiawaiannya mengolah imaji, diksi dan kata.

Saya menilai bahwa sajak ini memiliki daya saran yang tinggi bukan semata-maata karena telah mampu menuturkan sebuah kisah pedih yang mendorong simpati pembaca tapi terlebih pada perenungan filosofisnya bahwa penderitaan yang teramat berat dapat menyebabkan seorang jauh tersesat dan bahkan menjadi gila sekali pun kegilaan itu adalah hasil dari suatu kondisi dan betapa kejamnya penghakiman orang lain atas 'dosa' itu. Harus diakui bahwa sang penyair telah berhasil membawa kita pada 'pathos' sebuah rasa simpati dan empati atas realitas yang menghunjam jauh ke dalam jiwa seseorang, seorang schizophrenia yang mati-matian mempertahankan harkat kemanusiaannya, di mana kitab suci tak lagi punya arti, di mana ajal justru mungkin menjadi jawaban yang lebih pasti. Jiwa manusia yang kesepian dan tak pernah mencapai katarsis karena yang ditemuinya adalah jalan buntu sampai kemudian setitik harapan datang, sebagai sebuah ending yang tetap menjanjikan. Saya kira saya tidak perlu memberikan paraphrase pada sajak ini mengingat terbatasnya ruang penulisan ini.

Saya kira ulasan di atas telah menunjukkan kedalaman wawasan dan bobot kepenyairan Sazano, lentik-lentik api itu sudah ada dalam dirinya dan menjadi tugas pribadinya untuk terus mempertahankan nyala api itu agar bara dalam dirinya tetap hangat dan mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Sekali lagi karya yang hidup, adalah karya yang mampu memberi makna, menyentuh, menyemangati dan memberi inspirasi. Dan dalam hal ini saya beranggapan 'Moksa' karya Saza telah berhasil mencapai tataran tersebut.

Kekurangan yang ada barangkali adalah pada pilihan ungkapan puitiknya yang cenderung berkesan terlampau feminin, romantis dan melankolis untuk menggambarkan sebuah pengolakan jiwa yang demikian dahsyat tetapi bagaimana pun saya dengan senang hati menyampaikan pujian saya atas karya ini seperti yang telah saya sampaikan langsung kepada penyairnya, bahwa karya-karyanya selalu mengingatkan saya pada Tagore dan lukisan-lukisan Mucha, dan selalu ia jawab dengan nada rendah,'Saya belum apa-apa Mas, bagi saya kerja belum lagi selesai.'

Kado ulang tahun buat Sazano
15 Oktober 2003

titon @ Friday, February 13, 2004

Wednesday, February 11, 2004

Hypogram, Pemahaman Sajak
Melalui Pendekatan Intertekstualitas

(Titon Rahmawan)

Membaca sebuah komentar yang cukup menggelitik atas sajak seseorang yang dipertanyakan orisinalitasnya membuat saya berpikir mengenai karya-karya yang terinspirasi oleh karya orang lain. Banyak orang pasti bertanya apakah karya semacam ini merupakan sebuah upaya penjiplakan atau suatu bentuk pengaruh, sehingga kita boleh memberi cap plagiator atau epigon pada orang yang bersangkutan.

Barangkali kita mesti mengkajinya lebih jauh pada karya itu sendiri, di mana saya beranggapan bahwa bentuk penjiplakan tentu saja berbeda dengan peniruan gaya. Tak ada sedikit pun unsur kreatifitas dalam sebuah karya hasil menjiplak sementara dalam peniruan gaya yang terjadi adalah kegagapan daya ungkap personal seorang penulis yang belum menemukan bentuknya sendiri sehingga merasa perlu untuk mengikuti gaya ungkap orang lain, dan gejala ini dapat kita jumpai di mana-mana. Segala bentuk penjiplakan tentu saja tidak dapat kita hargai, sementara bentuk epigonisme barangkali masih dapat diterima dalam konteks sebagai sebuah proses untuk menjadi diri sendiri.

Di luar permasalahan itu kita masih bisa mengkaji bagaimana pula dengan karya-karya yang lahir sebagai sebuah hasil inspirasi setelah membaca karya orang lain? Kita bisa melihatnya melalui pendekatan intertekstual yang mula-mula dikemukakan oleh Michael Riffaterre dalam bukunya 'Semiotics of Poetry' (1978) yang menyatakan bahwa karya sastra adalah merupakan a dialectic between text and reader, pembaca memiliki peranan untuk menemukan dan menafsirkan response yang terkandung dalam sajak. Dengan kata lain pembaca bertugas untuk menemukan makna atas unsur-unsur sebuah sajak yaitu di dalam kata-katanya. Riffaterre juga menyatakan bahwa sajak akan menemukan pemaknaannya yang penuh manakala dilihat posisinya dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya lain. Dari situ kita kenal istilah 'hypogram' yang menurut pandangan DR. A. Teeuw merupakan latar: tulisan yang menjadi dasar (yang eksplisit maupun yang tidak) bagi penciptaan (kreasi) karya baru lainnya. Sutardji Calzoum Bachri dalam esainya 'Hijau Kelon' pun pernah menyatakan bahwa sebuah karya seringkali di tulis di atas lembar kertas kerja orang lain.

Mengenai hypogram ini Teeuw telah memberi contoh yang sangat konkret yaitu sajak Amir Hamzah 'Berdiri Aku' sebagai hypogram karya Chairil Anwar 'Senja Di Pelabuhan Kecil', dalam kajiannya Teeuw menemukan bahwa sajak Chairil baru memperoleh pemaknaannya yang hakiki lewat hubungan intertekstualitasnya dalam kontrasnya dengan sajak Amir sebagai sebuah alternatif yang mutlak.

24 tahun setelah tulisan Teeuw dalam esainya 'Estetika, Semiotic dan Sejarah Sastra' tersebut, saya melihat semakin banyak bukti kebenaran teori Riffaterre via analisis Teeuw dalam perkembangan perpuisian Indonesia modern. Sebagaimana Teeuw saya sepakat bahwa prinsip intertekstualitas lebih jauh jangkauannya dari sekedar perkara pengaruh (epigonisme) atau penjiplakan. Pendekatan intertekstualitas akan sangat membantu pembaca untuk lebih jauh dalam memahami sebuah sajak, tanpa terlepas dari pemahaman atas strukturnya sehingga dapat diperoleh dimensi penghayatan yang lebih utuh dan lengkap atas karya-karya tersebut.

Harus kita pahami bahwa intertekstualitas seringkali bukan merupakan sebuah proses kesadaran atau kesengajaan dari seorang penyair, karena lintasan-lintasan peristiwa, pengalaman literer, perenungan seringkali merupakan potongan-potongan kejadian yang kabur hubungannya antara satu dengan lain, dan sebuah judul yang tiba-tiba terlintas dalam pikiran kita untuk kita jadikan judul sajak bisa saja merupakan potongan sebuah teks karya orang lain, siapa tahu? Namun gejala itu sebenarnya dapat ditelusuri kembali secara obyektif bila saja kita mau secara jujur melakukan pembongkaran atas lahirnya sebuah proses kreatif. Dan sesungguhnya pengkajian ini merupakan hal yang penting untuk dilakukan tidak saja untuk memahami sebuah karya tapi juga untuk lebih memahami sejarah sastra itu sendiri.

Dari beberapa temuan, saya tampilkan beberapa karya yang bisa kita kaji apakah merupakan sebuah hypogram atau bukan:

1/ karya Ani Sekarningsih (saya tampilkan keseluruhan di sini)

Perahu Nuh
(buat: c.m.)

Katamu 'ba' perahu Nuh
Mengapung
Bertopang sebongkah batu

Nun, berkayuh kasrah
Di samudra tak bertepi

Kukatakan,
'Ba' cekungan mata yang tungal
bernahkoda sirr yang mendayung kasrah
Menggulung gelombang,
menjerat badai
dengan nafasNya

Dan Jibril menganga
menambat perahu

Selamat datang, wahai rasulNya

(dari mimpiku, 13 Januari 2001)

2/ karya Candra Malik (hanya saya kutip 3 bait pertama)

Perahu Ba'

nuh mengetuk pintu Maha Samudera
di ujung lelangitan dia menegur,
:setelah burai nyawa kan'an
sesudah ngarai berubah lembah
dan perahu ba' dipikul sebongkah batu
'sekarang, apa lagi'

nuh mengetuk pintu Maha Air Bah
di mula purnama dia menawar,
setelah banjir bandang menguap
sesudah sapi-sapi melenguh
dan perahu ba' dipikul sebongkah batu
'haruskah kususun satu umat lagi'

nuh mengetuk jendela Maha Gila
:setelah direngkuh julukan gila
sesudah membiarkan diri diludah
dan perahu ba' dipikul sebongkah batu
'masihkah aku mesti di rekah mega-mega'

Ke dua karya di atas kebetulan sama-sama di muat dalam antologi puisi cyber 'Graffiti Gratitude'. Tak pelak lagi sajak Candra Malik merupakan sajak yang sangat bagus dan berhasil, saya bahkan menilai sajak tersebut merupakan salah satu sajak yang paling menonjol dalam kumpulan ini pertama-tama dari keberhasilannya sebagai sebuah karya interteks karena sajak ini jelas-jelas terinspirasi dari kitab suci Al Quran di ambil dari kisah Nabi Nuh. Sebagai sebuah karya interteks dengan mengacu pada karya besar yang memiliki nilai-nilai universal membuat sajak Candra memiliki beban psikologis dan filosofis yang tidak ringan.

Karya itu harus dimengerti dari konteksnya dengan kebenaran universal itu dan sekaligus dari kajian interteks yang sifatnya yang religius dan dogmatis. Dan di mana Candra ingin menampilkan kisah ini bukan dalam bentuk epik melainkan dalam bentuk lirik mengundang kesulitan tersendiri. Sajak ini tergolong pula sebagai sebuah sajak yang cukup panjang terdiri dari 13 bait dan seluruhnya 66 baris membutuhkan sebuah energi daya ungkap yang rumit dan pasti tidak gampang. Dan di sinilah keunggulan Candra dimana dia secara konsisten mampu merangkai kesatuan sajak itu sebagai sebuah karya yang utuh, runtutan kisah yang sanggup memikat pembaca hingga ke baris terakhir tanpa sedetik pun kita kehilangan pesona.

Sebuah sajak yang sarat dengan muatan filosofis, di mana manusia daif tengah menggugat kekuatan di luar dirinya, mempertanyakan alasan di balik sebuah kejadian fenomenal dalam sejarah kemanusiaan, dan secara tidak langsung mempertanyakan eksistensi kosmologi universal itu, mempertanyakan asasi ketuhanan dengan seluruh kuasaNya, bahkan seorang seperti Nuh masih harus bertanya… dan di setiap baris sajak kita dibawa pada perenungan itu sampai akhirnya kita dipertemukan dengan jawaban seluruh pencarian. Sajak yang sangat menyentuh, memukau, liris dan sangat puitis.

Misteri menyelubungi seluruh tubuh sajak seperti tabir sutera yang halus dan saya yakin karena sajak ini demikian memukau sehinga seorang Ani Sekarningsih pun turut tersentuh, terinspirasi untuk juga menulis 'Perahu Nuh'. Bukti pertama yang dapat kita tebak adalah bahwa sajak Ani ditujukan kepada c.m. sebuah inisial yang pasti merujuk pada nama Candra Malik.

Sajak Ani sepenuhnya merupakan responnya atas karya Chandra, di mulai dengan baris pertama: 'katamu 'ba' perahu nuh, Kalau dalam karya Candra kita merasakan sebuah 'style' ungkapan perasaan yang liris dalam rima dan iramanya, halus cara pengungkapannya dan banyak bertabur metafora berlapis-lapis dengan repetisi di beberapa barisnya maka pada sajak Ani terasa lebih lugas, ungkapan-ungkapan pendek langsung, sajak ini pun cuma 5 bait, bait pertama merupakan sebuah referensi dari sajak Candra sementara bait berikutnya yang di mulai dengan kata 'kataku' adalah sepenuhnya milik Ani.

Dalam proses kreatif lahirnya sajak 'Perahu Nuh' Ani telah memberikan tanggapannya atas pengalaman literer intertekstual, pertama respon atas sajak Candra ke dua dari pemahaman pribadinya atas Al Quran dan mungkin juga dari referensinya yang lain, di sinilah muncul lapisan-lapisan penafsiran itu, bahwa karya Ani tak mungkin dapat kita pahami semata-mata dari karya itu sendiri tanpa melihat hubungannya dengan sajak Candra, dan juga kita tak mungkin memahami karya Candra tanpa mengkaitkannya secara intertekstual dalam hubungannya dengan kisah Nabi Nuh sebagaimana kita pahami dari teks kitab suci Al Quran, hubungan intertekstual ini menjadikan kerja penafsiran menjadi semakin kompleks tapi keutuhan sebuah karya menjadi lebih dapat diterima setelah kita dapat memilah-milah hubungan antara unsur-unsurnya.

Setelah membaca kajian di atas saya yakin bahwa kerja kreatif secara intertekstual merupakan sebuah kerja yang layak dihargai sebagaimana kerja kreatif lainnya, dan bobot kepenyairan seseorang secara obyektif dapat kita nilai kembali dari karya-karya yang dihasilkannya.

Jakarta, Februari 2004


titon @ Wednesday, February 11, 2004